Indonesia, dengan segala keindahannya, merupakan cerminan dari konsep harmoni dalam keberagaman. Sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 270 juta penduduk dari berbagai suku, agama, dan bahasa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) (2021), luas wilayah Indonesia mencapai 1.916.906 kilometer persegi, menjadikannya salah satu negara terluas di dunia. Kekayaan budaya dan keragaman ini telah menjadi daya tarik global. Banyak negara memandang Indonesia sebagai contoh toleransi, keberagaman, dan kohesi sosial. Namun, di balik kekaguman itu, terdapat ancaman laten yang berpotensi menggerus fondasi persatuan bangsa, yaitu intoleransi dan diskriminasi.
Keberagaman yang Tidak Terkelola
Indonesia menempati urutan 15 negara terluas di dunia. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia (2021), luas negara Indonesia adalah 1.916.906 kilometer persegi untuk wilayah daratannya dan terdapat 17.000 pulau. Dengan luas seperti itu, Indonesia dianugerahi keberagaman yang tinggi. Mulai dari suku, bahasa, dan agama yang sangat beragam, menjadi keindahan dan identitas bangsa. Banyak negara luar terkesima dengan keberagaman tingkat tinggi yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia.
Namun, keberagaman yang tinggi itu jika tidak dikemas dengan baik atau didesain dengan indah, bisa berubah dari anugerah menjadi bencana. Ancaman dari keberagaman itu adalah intoleransi dan diskriminasi yang sudah mulai muncul di tengah kehidupan masyarakat. Menurut Hunsberger (1995), intoleransi adalah tindakan negatif yang dilatari oleh simplifikasi-palsu, atau “prasangka yang berlebihan” (over generalized beliefs). Fakta ini juga didukung oleh survei Setara Institute (2022), yang mencatat bahwa intoleransi meningkat sebesar 13% dalam lima tahun terakhir di wilayah perkotaan Indonesia, terutama terkait dengan isu agama dan politik.
Kalau intoleransi ini dijabarkan lebih jauh, dapat dikatakan sebagai “sikap tidak menghargai atau menerima perbedaan yang ada, baik dari segi agama, budaya, ras, pandangan politik, atau hal lainnya.” Intoleransi dapat berujung pada diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan. Salah satu contohnya adalah insiden pembubaran rumah ibadah tertentu di beberapa daerah Indonesia, yang menunjukkan ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk menerima keberagaman agama. Data Komnas HAM (2020) mencatat sebanyak 47 laporan pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia hanya dalam satu tahun.
Intoleransi ini akan lebih berbahaya ketika sudah menjadi suatu paham dalam kehidupan masyarakat, karena sudah menjadi bentuk pengingkaran terhadap kebinekaan dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila maupun norma-norma agama yang berlaku. Hal ini tampak dalam kasus diskriminasi terhadap kelompok etnis tertentu di wilayah tertentu, yang sering kali dibiarkan atau bahkan didukung oleh aktor-aktor tertentu dalam pemerintahan lokal. Penelitian oleh Subagyo et al. (2021) menunjukkan bahwa intoleransi berbasis agama dan etnis tidak hanya merusak kohesi sosial tetapi juga berdampak langsung pada stabilitas ekonomi wilayah tersebut.
Intoleransi Pasca-Orde Baru
Pada masa Orde Baru, sikap intoleransi antar individu maupun antar kelompok semaksimal mungkin dipersempit pertumbuhannya, karena bisa memengaruhi stabilitas nasional yang mengganggu program pembangunan. Pemerintahan saat itu menggunakan pendekatan represif untuk menjaga harmoni sosial, meskipun sering kali mengorbankan kebebasan berpendapat. Namun, pasca reformasi yang ditandai dengan kebebasan yang cenderung tanpa batas, benih intoleransi mulai menemukan ruang geraknya, muncul dan tumbuh di tengah kehidupan masyarakat. Hal ini diperparah dengan minimnya regulasi dan pengawasan terhadap isu-isu yang dapat memecah belah masyarakat, terutama dalam konteks kebebasan berekspresi di media sosial.
Pengusiran kelompok pengajian dan penutupan rumah ibadah adalah contoh nyata sikap intoleransi. Berdasarkan laporan Setara Institute (2022), terdapat setidaknya 57 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang tahun tersebut. Sebagian besar kasus tersebut melibatkan pembubaran aktivitas ibadah atau penutupan rumah ibadah oleh kelompok masyarakat tertentu dengan alasan yang beragam. Di beberapa wilayah, seperti Jawa Barat dan Aceh, penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah juga menjadi isu yang kerap muncul. Hal ini menunjukkan bahwa intoleransi semakin terstruktur dan sering kali dibiarkan tanpa penanganan yang memadai dari aparat penegak hukum.
Di samping itu, penolakan untuk menghargai pendapat atau keyakinan yang bertentangan dengan pendapat atau keyakinannya sendiri tidak susah lagi ditemukan di tengah masyarakat. Fenomena ini semakin terlihat dalam polarisasi politik yang tajam sejak Pemilu 2014 dan 2019. Narasi kebencian berbasis agama dan etnis kerap menjadi alat politik yang digunakan untuk memenangkan suara, meskipun efek jangka panjangnya sangat merusak kohesi sosial bangsa. Misalnya, survei dari Lembaga Survei Indonesia (2020) menunjukkan bahwa 55% responden merasa keberagaman agama di Indonesia mulai menjadi sumber konflik dibandingkan dengan satu dekade sebelumnya.
Begitu pun kurang menghargai orang-orang dari kelompok sosial yang berbeda, terutama anggota kelompok minoritas, sudah biasa ditemukan. Diskriminasi berbasis gender, etnis, atau agama sering kali terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia kerja. Sebuah studi oleh World Economic Forum (2021) menemukan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-101 dari 156 negara dalam Indeks Kesenjangan Gender Global, yang mencerminkan ketidaksetaraan yang signifikan dalam akses pendidikan, pekerjaan, dan representasi politik. Semua ini adalah potret nyata ancaman terhadap kebhinekaan bangsa jika tidak diantisipasi lebih awal. Perlu langkah konkret untuk mendorong pendidikan toleransi sejak dini dan memperkuat kebijakan yang melindungi hak-hak kelompok minoritas. []