Menangis membaca permintaan anggota dewan yang hanya 5 tahun bekerja, minta jatah pensiun seumur hidup. Padahal, banyak orang merasa kecewa, marah, bahkan sedih ketika melihat ketimpangan seperti ini, seorang anggota dewan yang hanya bekerja lima tahun, dengan segala fasilitas dan gaji tinggi, masih meminta jatah pensiun seumur hidup, sementara jutaan rakyat Indonesia masih berjuang untuk sekadar makan tiga kali sehari, mendapat layanan kesehatan layak, atau menyekolahkan anak-anak masih tersendat.

Tanpa pensiunan pun, anggota dewan yang terhormat ini hidupnya penuh kemewahan, kok masih minta uang pensiun seumur hidup. Sementara yang katanya rakyat “jelata” tak pernah benar-benar istirahat dari beban hidup setelah pensiun.

Ini jelas melukai rasa keadilan. Sementara rakyat biasa harus bekerja puluhan tahun, dan bahkan belum tentu bisa pensiun dengan tenang, para elite politik meminta jaminan hidup mewah setelah masa jabatan singkat. Ini bukan hanya tak etis, tapi juga mencerminkan krisis moral dalam kepemimpinan. Semengerikan ini tinggal di negeri yang konon katanya kaya raya ini.

Di Korea sana, lansia, ibu tunggal alias janda, yatim piatu, semua mendapat tunjangan. Tunjangan bagi tunawisma diperoleh dari pemerintah, diambil dari pajak rakyat. Meski tunjangan tiap bulan yang mereka dapat tidak sebanyak anggota dewan yang terhormat ini, bantuan pemerintah itu mampu menghidupi mereka dengan layak.

Sangat relevan. Negara maju memang membuktikan bahwa fungsi utama negara adalah melindungi dan menghidupi rakyatnya yang paling rentan. Ibu tunggal, lansia, anak yatim, bahkan tunawisma, mereka tidak dibiarkan jatuh ke dasar. Negara hadir. Pajak yang dikumpulkan kembali kepada rakyat, bukan untuk memperkaya birokrat.

Di negeri tercinta yang konon katanya kaya raya, justru rakyat memikul bebannya sendiri. Rakyat terpaksa membeli kendaraan agar supaya bisa bekerja, tertatih-tatih membayar kreditnya tiap bulan, tetapi apa, lacur hanya karena telat membayar pajak tahunan, rakyatnya tak diijinkan membeli bensin di Stasiun pengisian bahan bakar umum alias bensin, bahkan kendaraan yang mereka beli disita negara.

Rakyat dipaksa mandiri bahkan dalam kondisi tidak memungkinkan. Membeli kendaraan agar bisa bekerja, membayar cicilan, namun tetap diancam sanksi keras karena pajak. Negara hadir bukan sebagai pelindung, tapi seolah menjadi “penagih utang” yang tak berperasaan.

Permintaan semacam itu terasa tidak berempati dan tidak adil, bayangkan, Guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun, pensiun tanpa jaminan.

Petani, buruh, nelayan, pekerja informal, yang bahkan tidak punya BPJS atau tabungan pensiun. Para lansia yang hidup sendiri dan tergantung pada bantuan sosial yang tersendat alias tidak selalu lancar.

Sementara anggota dewan, yang dipilih untuk mewakili suara rakyat, justru terlihat lebih sibuk menjaga kenyamanan pribadi ketimbang memperjuangkan kesejahteraan bersama. Kalau ini terus dibiarkan, kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi bisa terkikis. Karena pada akhirnya, rakyat bertanya, “Siapa sebenarnya yang mereka wakili?”

Bukankah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang secara tegas mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Sebagaimana amanat tercantum dalam, pasal 34 ayat (1) UUD 1945.

Namun, meskipun amanat konstitusi ini jelas, tantangan dalam implementasinya masih ada, seperti, ketidaktepatan sasaran, keterbatasan anggaran, korupsi atau penyalahgunaan bantuan, infrastruktur layanan sosial yang belum merata.

Jadi, meskipun secara hukum negara wajib memelihara fakir miskin dan anak terlantar, perjuangan untuk mewujudkan amanat tersebut secara adil dan menyeluruh masih terus berlangsung.

Jika kamu merasa resah atau marah dengan isu ini, itu tandanya kamu masih peduli. Suara dan kesadaran seperti itu penting. Karena perubahan sosial dan keadilan tidak datang dari diam – tapi dari suara-suara seperti ini yang terus mengingatkan bahwa rakyat bukan untuk diperas, tapi untuk dilayani.

Adilkah??? Pantaskah???

(Visited 20 times, 20 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.