Oleh: Tammasse Balla
Allah menciptakan manusia dengan keseimbangan yang menakjubkan. Ada siang dan malam, ada langit dan bumi, ada tangan kanan dan tangan kiri. Keduanya diciptakan bukan untuk bersaing, tapi untuk saling melengkapi. Namun manusia sering kali hanya menganggap kanan itu utama, kiri itu sekadar pembantu. Padahal Tuhan tak pernah menciptakan sesuatu tanpa hikmah. Begitu pula dengan tangan kidal—yang sering dipandang ganjil, tapi sesungguhnya menyimpan rahasia keindahan ciptaan.
Sejak kecil, penulis sudah menyadari bahwa tangan kirinya lebih gesit, lebih tanggap, lebih hidup. Saat teman-teman sibuk makan dengan tangan kanan, penulis justru makam dari sisi seberang (menggunakan sendok/garpu). Banyak orang heran, ada pula yang menertawakan. Namun bagi penulis, tangan kiri bukanlah keanehan—ia adalah anugerah. Ia menjadi tanda bahwa Tuhan mencintai keberagaman, bahkan dalam hal sekecil arah gerak jari.
Kata orang, kidal itu aneh, tapi bukankah keanehan sering kali hanyalah cara dunia melindungi diri dari hal yang belum dimengerti? Penulis tak pernah merasa minder. Justru dari tangan kiri itulah lahir banyak hal yang membuat hidup terasa berarti. Saat raket badminton dipegang dengan tangan kiri, lawan kerap tak siap. Arah bola sulit ditebak. Di lapangan bulutangkis itulah, penulis belajar bahwa kekuatan bukan hanya di tangan, tetapi terletak pada cara kita menerima keunikan yang Allah berikan.
Ayah penulis juga kidal. Begitu pula ibu. Suatu hari terlintas dalam pikiran, barangkali ini bukan kebetulan. Mungkin tangan kidal diwariskan dalam darah, dalam gen, dalam rahasia kecil yang disisipkan Tuhan di dalam tubuh keluarga kami. Teori genetik itu pun tidak mutlak. Dua adik penulis justru bertangan kanan. Dari situ penulis belajar: bahkan dalam hal gen pun, Allah tetap berdaulat sepenuhnya. Tak ada yang bisa memastikan rencana-Nya.
Tangan kiri menjadi simbol keseimbangan dalam diri. Ketika sesuatu harus dilakukan dengan kekuatan, dengan ketegasan, tangan kiri mengambil alih. Ketika sesuatu butuh kelembutan—menulis, menyentuh, membelai—tangan kanan yang bergerak. Keduanya seperti dua sahabat yang saling memahami peran. Tidak perlu berebut panggung, sebab masing-masing tahu kapan harus maju dan kapan harus diam.
Dalam setiap gerak, penulis sering merenungi betapa ajaibnya tubuh manusia. Tangan kiri dan tangan kanan diciptakan dengan otot yang serupa, tapi diberi karakter berbeda. Tangan kiri seperti simbol keberanian—menempuh jalan yang tak biasa, menantang kebiasaan umum. Adapun tangan kanan seperti simbol ketenangan—menjaga keseimbangan dan harmoni. Bila keduanya bekerja bersama, terciptalah kehidupan yang utuh.
Dalam pandangan dunia, banyak hal diasosiasikan pada kanan—tangan kanan Tuhan, jalan kanan, arah kanan. Siapa yang mengatakan bahwa kiri berarti salah? Dalam diri manusia, ada hati di sisi kiri. Dari sanalah kasih, empati, dan keikhlasan berpusat. Kidal bukanlah penyimpangan, melainkan pengingat bahwa kasih sayang Tuhan juga bersemayam di sisi kiri manusia.
Kini, setelah usia tak lagi muda, penulis menyadari bahwa tangan kidal bukan cuma soal fisik. Ia adalah simbol dari keberanian menjadi diri sendiri di tengah standar yang ditentukan orang lain. Dunia sering memaksa manusia menjadi “kanan” agar tampak benar. Namun, kidal mengajarkan: tak perlu jadi seperti kebanyakan, cukup jadilah diri sendiri dengan sebaik-baiknya. Nillai seseorang tak ditentukan oleh tangan mana yang lebih kuat, tapi oleh hati mana yang lebih tulus.
Penulis tersenyum sendiri saat mengenang masa muda. Lawan di lapangan bulutangkis dulu segan bukan karena tubuh penulis jangkung dan lincah, tapi karena arah smash kidal sulit ditebak. Ada kekuatan yang tak selalu bisa dijelaskan logika—semacam keunikan yang memberi warna. Kini tangan kiri itu mungkin tak lagi selincah dan secepat dulu, tapi kenangannya tetap hidup: bahwa kekuatan sejati bukan di otot, melainkan pada semangat yang tak mau menyerah.
Setiap kali menatap kedua tangan, penulis teringat bahwa hidup ini adalah kerja sama. Kiri dan kanan saling memahami. Yang satu kuat, yang satu halus. Yang satu menahan, yang satu memberi. Tangan kidal bukan keanehan—ia hanya cara Tuhan menunjukkan bahwa keseimbangan tak harus seragam. Dunia mungkin memuliakan tangan kanan, tapi Tuhan memuliakan semua tangan yang bekerja dengan ikhlas. Itulah makna sejati dari ciptaan yang seimbang: bukan siapa yang dominan, tapi siapa yang bermanfaat.
Ada saatnya tangan kanan berhenti menulis, dan tangan kiri menepuk dada, mengingatkan: “Jangan sombong, semua kekuatan hanyalah titipan.”
Ada saatnya pula tangan kiri menua, bergetar, lalu tangan kanan memapahnya agar tetap tegar. Di sanalah kita memahami bahwa hidup sejatinya bukan tentang dominasi, melainkan tentang saling meneguhkan.
Allah menciptakan kanan dan kiri agar manusia belajar adil—antara keras dan lembut, antara bekerja dan berdoa, antara dunia dan akhirat. Sapa pun Sahabat—kanan atau kidal—selama tanganmu digunakan untuk menolong, menulis kebaikan, dan mengusap air mata orang lain, keduanya sama mulianya di hadapan Tuhan.
“Yang membedakan tangan kanan dan tangan kiri bukan kekuatannya, melainkan untuk apa ia digunakan.”
— HTB-JT
29 Oktober 2025
Pk. 09.24 Waktu Salamanca
(……… dalam.perjalanan menuju Sevillla)
