Oleh: Ruslan Ismail Mage*
Tanpa terasa perjalanan umat Islam sudah memasuki tahap-tahap akhir bulan suci ramadan 1444 hijriah. Bulan yang penuh keistimewaan dan kemuliaan dibanding bulan-bulan lain. Dua di antara sekian banyak keistimewaan dan kemuliaan bulan suci ramadan adalah disebut, “Bulan membaca dan bulan memberi makan”.
Disebut bulan membaca, karena pada bulan suci ramadan firman pertama Tuhan diturunkan yang berisi perintah membaca. Disebut bulan memberi makan, karena pada bulan suci ramadan semua umat muslim berlomba-lomba menyiapkan makanan untuk berbuka puasa bersama kepada saudara-saudara muslimnya.
Minimal memiliki lima keutamaan memberi makan di bulan puasa. Pertama, pahalanya setara dengan orang yang berpuasa. Kedua, diampuni dosa-dosanya. Ketiga, dijanjikan Surga bagi yang memberi makan. Keempat, didoakan oleh malaikat. Kelima, termasuk bagian dari sedekah.
Dikisahkan Nabi Musa AS rela berjalan bermil-mil jauhnya hanya untuk mencari orang untuk menemaninya makan. Sementara Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, mengatakan, “Sesuap makanan untuk perut orang yang lapar adalah lebih baik daripada membangun seribu masjid”. Pernyataan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani ini membuatku harus mencari alasan pembenar kenapa memberi makan lebih mulia nilainya dibanding segalanya.
Dalam pengembaraan literatur, saya menemukan dua alasan pembenar. Pertama, ketika Tuhan menegur Nabi Musa AS, “Hai Musa, kenapa Aku sakit engkau tidak menjenguk Aku?” Mendengar teguran itu, Nabi Musa AS berpikir keras kenapa bisa Tuhan sakit, katanya membatin. Dalam kebingungan Nabi Musa itulah Tuhan menjelaskan, “Buktinya tetanggamu sakit engkau tidak menjenguknya”.
Alasan pembenar kedua. Sekitar tahun 1994 ketika saya hendak merantau meninggalkan kampung halaman di Allimbangeng Cabenge Kabupaten Soppeng, orang tua berpesan, “Hai anakku, aku akan melepaskanmu merantau menembus batas-batas kota bahkan negara, kalau engkau sudah memahami di mana rumah Tuhan”. Seketika saya langsung menjawabnya masjid, mushallah, atau rumah ibadah. Mendengar jawabanku itu, dengan bijak orang tua melanjutkan nasihatnya. Selain masjid dan mushallah yang dipahami secara umum sebagai rumah Tuhan, sesungguhnya ada rumah khusus Tuhan, yaitu di hatimu.
Dari dua alasan pembenar ini, rasanya pertanyaan judul tulisan di atas sudah terjawab meyakinkan tak terbantahkan. Betapa tidak! Memberi makan perut yang lapar berarti mengalirkan energi penggerak, memberi kehidupan dan kekuatan kepada tubuh untuk tetap merawat dan membersihkan rumah Tuhan dalam hati seseorang.
Keyakinanku ini kemudian mendapat justivikasi dari ayat 32 surat Al-Maidah yang artinya, “Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memeliharan kehidupan seluruh umat manusia”. Pesan yang terkandung di dalamnya, “Semangat memberi makan kepada sesama manusia, sesungguhnya jangan hanya ketika bulan suci ramadan, tetapi setiap saat sejatinya kita perlu berbagi kepada sesama”.
*Akademisi, inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi