Oleh : Soni Putra

Menjadi seorang pemimpin itu memang harus banyak memiliki kemampuan. Menurut John C. Maxwell dalam bukunya : 21 Hukum Kepemimpinan Sejati, “Pemimpin itu harus melihat lebih jauh, mendengar lebih duluan, dan merasakan lebih dalam”. 

Kalau kemudian mengacu pendapat pakar kepemimpinan dunia di atas, saya mengatakan bahwa salah satu kemampuan utama yang harus dimiliki pemimpin adalah kemampuan menguasai diri sendiri. Hal ini dipertegas lagi dalam tulisan founder Sipil Institute Indonesia bapak Ruslan Ismail Mage bahwa, “Musuh terbesar adalah diri kita sendiri”.

Alhamdulillah, waktu terus berjalan hingga tidak terasa sudah empat (4) tahun saya menjabat sebagai wali nagari/kepala desa. Tentu suka dan duka sudah pasti mewarnai dalam perjalanan kepemimpinan itu. Walaupun banyak duka daripada suka, terlebih di tengah badai pandemi virus covid-19 kemarin, namun saya tidak akan menyerah untuk mengurus kehidupan.

Masa jabatan wali nagari/kepala desa sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 39 UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, bahwa : Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Perkembangan kemudian menunjukkan ada wacana yang disuarakan untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa. Apakah wacana itu diterima atau tidaknya belum bisa dipastikan. Namun, yang pasti perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam (6) tahun menjadi sembilan (9) tahun memiliki sisi positif dan negatif.

Sisi positifnya, program yang terkendala selama musim pandemi virus covid-19 kemarin bisa diselesaikan. Artinya, visi dan misi kepemimpinan bisa dituntaskan. Selama kurang lebih tiga (3) tahun pandemi, aktivitas nagari/desa benar-benar lumpuh, terutama perekonomian masyarakat.

Sementara sisi negatifnya minimal ada dua. Pertama, perpanjangan masa jabatan setiap kepemimpinan apa pun tingkatannya akan menghambat terjadinya sirkulasi kepemimpinan. Kedua, secara teoritis kekuasaan yang lama cenderung disalahgunakan atau korup.

Dengan mempertimbangan kedua sisi itu, maka menurut saya sebaiknya kita semua sebagai warga negara harus konsisten dengan konstitusi yang berlaku. Kalau konstitusi mengatakan A kita ikuti A, kalau mengatakan B kita ikuti B. Hal ini menjadi penting agar kepemimpinan apa pun bentuknya tidak cacat konstitusi yang bisa berefek hukum.

*Wali nagari dan penikmat literasi menulis

(Visited 51 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.