Oleh: Gusnawati, S.Pd.,M.Pd*

Kapal Dharma Kencana VII membelah lautan luas, membawa kami dalam perjalanan panjang penuh harapan menuju Yogyakarta, kota yang memancarkan pesona budaya dan sejarahnya. Kami berangkat bersama rombongan, mengarungi perairan dengan irama ombak yang setia mengiringi, seolah turut menyambut setiap cerita yang menanti. Di tengah perjalanan, kami singgah di Surabaya dan Solo, dua kota dengan keramahan khas yang menyimpan nuansa sejarah dan keagungan, membuka lembaran baru di setiap persinggahan.

Ketika akhirnya tiba di Yogyakarta, jiwa terasa begitu penuh. Kami segera menapaki jalan setapak menuju Borobudur, candi megah yang berdiri anggun di bawah langit biru. Setiap stupa dan ukiran terasa begitu sakral, menyimpan doa-doa dari masa lampau dalam keheningan yang tenang. Di tengah ketenangan itu, Borobudur mengajarkan kami arti kedamaian dan kekuatan batin. Tak perlu kata-kata, hanya harmoni antara alam dan diri yang terjalin begitu erat.

Di Candi Prambanan, keindahan dan keagungan kembali menyambut. Sinar matahari yang menyentuh dinding candi membuat setiap relief tampak hidup, menyampaikan kisah cinta antara Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso. Legenda itu hidup dalam hati kami, seolah setiap sudut candi berbisik tentang keabadian, tentang cinta yang mengakar dalam budaya Jawa. Di sini, sejarah, seni, dan budaya menyatu, memberikan pengalaman yang begitu dalam dan bermakna.

Lalu, tibalah kami di Malioboro. Di tengah hiruk-pikuknya, ada kehangatan yang sulit dijelaskan—diiringi suara tawa, senyum para pedagang, dan aroma khas sate yang membumbung di udara. Malioboro adalah tempat di mana kami merasa hidup, di mana kami larut dalam suasana yang meriah namun penuh dengan jiwa Yogyakarta. Di sini, kami menjadi bagian dari lukisan hidup, setiap warna dan suara bersatu dalam harmoni yang khas, mengundang kami untuk menikmati setiap detik perjalanan.

Dan pada momen itu, alunan lagu “Yogyakarta” dari Kla Project seolah terdengar di kepala kami, mengiringi setiap langkah dengan lirik yang menyentuh. Lagu itu seperti melodi rindu yang tersimpan lama, menghadirkan gambaran tentang cinta, kota, dan kerinduan. Liriknya yang berkata, “Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu…” seperti merangkum semua rasa yang mengalir dalam hati kami—tentang kota ini, tentang perjalanan ini, dan tentang semua kenangan yang kami torehkan di sepanjang jalan.

Sekarang, Yogyakarta adalah bagian dari hidup kami. Sebuah kenangan yang berubah menjadi rindu, rindu yang tak pernah pudar. Setiap bait lagu “Yogyakarta” yang terdengar kembali mengingatkan kami pada keindahan dan kesederhanaan kota ini, mengajak kami untuk suatu saat kembali, menyusuri jejak yang pernah kami tinggalkan, dan menemukan kembali kenangan yang selalu hidup dalam sanubari.

Kini, semua itu menjadi kenangan yang menggema di dalam hati, mengendap menjadi rindu yang selalu ingin kami kunjungi kembali. Yogyakarta, dengan segala keanggunan dan kesederhanaannya, telah menorehkan jejak yang dalam, seolah mengundang kami untuk kembali suatu hari nanti. Dalam diam, kami menyadari bahwa Yogyakarta adalah tempat yang tak hanya dikunjungi, tetapi juga dirasakan dan dirindukan. Rindu yang tak pernah selesai, rindu yang akan selalu hidup di hati, menanti untuk dirajut kembali dalam perjalanan yang penuh kenangan.

*Penulis adalah Guru SMP Negeri 1 Watansoppeng

(Visited 12 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.