Kuliah adalah proses pembelajaran tingkat lanjut dimana kita telah menentukan pilihan atas jurusan atau program studi di universitas. Untuk memulai kuliah pengorbanan tidak sedikit, mulai dari menghabiskan banyak waktu, biaya, tenaga, dll. Tentu di balik suatu impian yang kita ingin capai melalui kuliah adalah harga yang harus dibayar. Kuliah itu bukan sekedar rutinitas saja, kuliah adalah proses, proses pembentukan diri kita menjadi apa yang kita inginkan di masa mendatang yang kita akan hadapkan antara idealis dan ketatnya dunia kerja.
Bingung, kesal dan pasrah mungkin itu sebagian kata yang dapat mendeskripsikan suasana hatiku ketika menjadi mahasiswa baru di Universitas Nusa Cendana Kupang pada tahun 2018 silang. Saat di mana aku harus merasakan fase sebelum berangkat ke Indonesia untuk kuliah yang biasa disebut mahasiswa Internasional. Segala persiapan memulai dari kesediaan biaya untuk kuliah, pengurusan dokumen seperti paspor, surat ijin dari Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan, pengantar dari KBRI, Visa Belajar, dan lainnya yang berkaitan dengan kebutuhan kuliah biaya mandiri perguruan tinggi di luar negeri.
Suasana ini akan mempunyai kisah tersendiri nantinya, kisahku yang menemukan sahabat-sahabat baru diawali karena rasa senasib seperjuangan yang kami rasakan ketika menjalani kehidupan baru sebagai mahasiswa baru. Mereka sudah lebih dari sekadar sahabat bagiku, mereka adalah saudara, mereka adalah keluargaku.
Kami datang kuliah di Prodi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Nusa Cendana Kupang dari berbagai penjuru provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), ada yang dari Sulawesi (Makasar), Jawa (Semarang) bahkan aku sendiri dari negara Timor Leste. Bukan karena tanpa alasan selain rasa senasib seperjuangan, selama menuntut ilmu di dunia perkuliahan kami tinggal di kos-kosan dan sebagian tinggal di rumah sendiri.
Jika diingat 2018 yang lalu ketika kami masih awal bertemu masih canggung, masih jaim, bila bertemu hanya bertukar senyum. Setelah itu mulai berani menyapa, mengajak makan bersama, kerja tugas bersama di kos maupun di rumah, bahkan mengajak nongkrong bersama di Cafe saat malam minggu tiba. Kamar kostku yang terletak di RT 015/RW 006 di Kelurahan Oesapa Selatan Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang bukan hanya milikku, tetapi setiap saat mereka datang untuk bekerja tugas bersama. Jika, hari-hari free mereka datang duduk bercerita sambil berbagi pengalaman.
Ekspektasiku tentang dunia kuliah dan dunia rantauan pun berubah karena mereka. Di awal akan menjadi anak rantau aku merasa akan sangat berat untuk meninggalkan rumah, jauh dari ibu dan saudara-saudaraku di Timor Leste, aku harus hidup sendiri dengan keadaan yang seadanya.
Tapi ternyata aku malah menemukan keluarga keduaku, pernah suatu saat aku membayangkan akan menjalani tiga tahun enam bulan kehidupan yang sangat membosankan, tapi ternyata ekspektasiku salah. Kehidupanku selama tiga tahun enam bulan itu justru menjadi hari-hari paling berwarna.
Jujur saja, aku bukan sosok mahasiswa yang hidup mewah seperti rekan-rekan mahasiswa lain. Aku anak petani miskin dari sebuah dusun terpencil di wilayah selatan negeri Timor Leste. Aku sudah tak punya ayah akibat perang. Ibuku menyimpan uang bantuan lanjut usianya dibantu oleh saudariku yang memelihara ayam kampung yang dijual lalu di kirim untuk biaya kuliah. Lima puluh Dolar untuk satu bulan, tukar uang Rupiah untuk bayar kos, uang makan dan sedikit irit untuk foto copy dan keperluan lain.
Aku sempat merasa kalau aku tak punya uang, tiap hari makan mie di campur daun kelor. Berat di awal, entah rindu, atau harus berjuang keras sendirian, harus dilewati. Karena aku percaya pada setiap orang di satu titik pasti harus merasakan perjuangan dalam menghadapi kerasnya hidup, apapun bentuknya. Dan aku yakin hal itulah yang membuat kita dapat berdiri di kaki sendiri. Suatu saat bisa jadi cerita dalam pengalaman hidup. Nikmati saja sakitnya berjuang di awal.
Aku tidak pernah mencurahkan keluh kesahku tetapi mereka tahu dan menguatkanku, karena aku responsif terhadap perubahan. Maksudnya, aku harus bisa merespon perubahan atmosfir sekelilingku dan beradaptasi dengan sahabat-sahabatku, keterbukaan, empatiku, akrab bergaul, menghormati sesama dan menghargai orang tua mereka.
Karena dunia perantauan itu jauh berbeda dengan dunia asal kita. Pernah suatu ketika orang tua dari teman kelasku, Delfi Natalia Jostenz dan Klementino Kamilo mengajak aku datang ke rumah, aku menolaknya karena perasaan dengan perbedaan keadaan hidup tapi mereka datang menjemputku dan juga orang tua dari Sandy Bullu.
Mereka telah banyak membantu selama masa perkualiahan, mereka sering menitipkan beras, mie, kue, dan amplop yang mereka pesan “isinya untuk uang bensin”. Tak lebih dari itu, kakak Joakim Reo dan kakak Diana dari Bajawa (Flores) menitipkan satu unit motor Verza yang digunakan selama masa perkuliahan. Sudah menganggap sebagai saudara, selalu mengirim kopi asli Bajawa yang di tumbuk halus yang aroma khasnya kopi organik, Orang tua Olga Desy Cardoso, dari Malaka selalu membagi beras, pisang dan buah-buahan.
Aku tidak membayangkan semuanya ini akan terjadi, aku tidak bisa membalas apa yang telah mereka lakukan pada diriku. Aku menyadari bahwa semua kebaikan mereka adalah imbalan atas kebaikan orang tuaku yang biasanya suka menolong orang lain. Dengan pasrah, aku serahkan pada Tuhan lewat permohonan dan doa.
Pagi hari dan sore hari selalu saja terjadi kehebohan. Saat kami akan berangkat kuliah, kami selalu saling menunggu, saling jemput dan berangkat bersama. Di kampus pun kami selalu memilih tempat duduk berjejer. Di kos ketemu, di kampus ketemu mereka lagi, hang out juga selalu sama mereka walaupun tidak selalu lengkap dikarenakan kami juga disibukkan dengan tugas individu dan tugas kelompok yang dibagikan dengan kelas lain yang berbeda-beda. Aku tak pernah bosan bersama mereka.
Di tahun-tahun pertama perkuliahan walaupun berat tapi dapat kami lewati, tidak akan ada beban yang terlalu berat jika kita hadapi bersama. Entahlah harus aku mulai dari mana memulai? Terlalu banyak hal yang telah aku lewati bersama mereka mulai dari kuliah tatap muka di kelas (Luring) dan tahun 2020 ketika muncul Pandemi Covid-19, saat itu kami merasakan cara kuliah Online (Daring).
Pemanfaatan aplikasi “classroom, zoom, google meet”, semua kegiatan akademik dilakukan dengan sistem digitalisasi. Tiga tahun dan enam bulan yang begitu indah, hingga pada akhirnya tujuan awal kami kuliah pun sudah di depan mata yang akhirnya aku menyelesaikan lebih awal dari sahabat-sahabatku, memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) dalam tujuh semester…
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa dukungan dari orang tua dan sahabat sangat krusial dalam membantu aku selama merantau dan kuliah di pendidikan tinggi. Dengan adanya dukungan tersebut, aku dapat merasa lebih percaya diri, termotivasi, dan mampu menghadapi berbagai tantangan dalam perkuliahan.
Aku hanya ingin menyampaikan terima kasih sahabat-sahabatku atas kebersamaan kita. Saat ini kita tidak punya kesempatan, membagi waktu untuk bertemu dan berkumpul bersama karena kesibukan kita masing-masing. Akan tetapi, kalau sukses jangan pernah lupakan setiap kisah yang pernah kita jalani bersama. Juga, jangan lupa kenangilah aku jika kalian menemukan sahabat yang berasal dari sebuah negara tetangga, negara Timor Leste.
Terima kasih, kalian telah menjadi bagian dari cerita hidupku. Sangat bersyukur punya sahabat-sahabat seperti kalian. Kita sama-sama berjuang dari semester satu (1) sampai dengan selesainya masa perkuliahan ini. Canda dan tawa tidak bisa dilupakan. Kak Kim, kak Sinta, kak Devi, Klef, Delfy, Elvi, Clara, Marlin, Ghege, Ino, Alfred, Dilla, Sandy, Lila, Charles, Arlyn, Narto, Desy, Megha, Dita, Ratih, Helaena, dan tak terlupakan teman almarhumah Elmayanti Maria Ceumfin, yang telah mengisi hari-hari baik di kampus maupun di luar kampus dalam Keseruan Nongkrong untuk dapat berbagi Problematika Kehidupan baik suka maupun duka. Tetap dan selalu menjadi Sahabat Sepanjang Masa.
SALAM SEJAHTERA, semoga kita semua dalam keadaan sehat. Tuhan Yesus dan Bunda Maria senatiasa Memberkati.
By Mariano Pinto Amaral