Timor Leste sejak meraih kemerdekaannya pada tanggal 20 mei 2002 hingga kini telah berumur 23 tahun, tetapi pembangunan belum merata dari bagian timur hingga bagian barat. Namun para pejabat Negara sudah berfoya-foya di atas penderitaan rakyatnya sendiri.
Hal ini dianggap bahwa, kita telah merdeka dari penjajah luar, tapi kini muncul lagi penjajah baru dalam negeri yang menjajah rakyatnya sendiri, dengan gap yang dalam, para pejabat hidupnya telah melambung tinggi, sedangkan rakyatnya miskin melarat, menderita, susah mencari pekerjaan, sekolah morat-marit, jalan raya gaya jalan motor cross, tapi para pejabat sudah membeli mobil mewah, rumah mewah, dsb…
Hal ini yang membuat para mahasiswa yang dinamakan Persatuan Mahasiswa Timor Leste (EUTL) melakukan demonstrasi di depan gedung parlemen menuntut keadilan untuk mencabut tunjangan pensium seumur hidup dan membeli mobil mewah bagi anggota parlemen.
Ditetapkannya Dekrit Parlemen Nasional No. 21/2025 tentang pencabutan pensiun seumur hidup, menurut Juru Bicara EUTL, Caetano da Cruz, merupakan hasil aksi massa yang diorganisir oleh EUTL melalui pertumpahan darah, penderitaan, pengorbanan, dan upaya rakyat yang merdeka, bukan atas dasar kebaikan rakyat.
EUTL adalah gerakan ekstra-parlementer yang menyalurkan ketidakpuasan rakyat terhadap sistem neoliberal dan parlementerisme yang telah runtuh. Gerakan ini hadir dengan empat tuntutan utama:
- Batalkan pembelian mobil untuk 65 anggota DPR, dan hentikan tradisi membeli mobil mewah;
- Hapuskan undang-undang pensiun seumur hidup bulanan;
- Amandemen Undang-Undang Kebebasan Berkumpul dan Berdemonstrasi yang menghalangi rakyat untuk menyampaikan gagasan yang menentang kekuasaan publik;
- Alokasi anggaran untuk sektor-sektor strategis.
Kemenangan ini tidak diraih oleh kaum elit, juga bukan oleh orang baik hati yang memberikannya kepada rakyat kita yang merdeka. Namun, kemenangan ini adalah hasil aksi massa yang diorganisir oleh EUTL. Tanpa aksi massa, perubahan ini tidak akan terjadi.
Aksi massa yang telah mengakibatkan pertumpahan darah, luka, penderitaan, dan kesulitan. Kita tidak menuntut secara moral, tetapi menghadapinya dengan disiplin perjuangan. Oleh karena itu, massalah yang membuat sejarah. Bukan kebaikan hati dari ke-5 partai di parlemen, “CNRT, FRETILIN, PD, PLP, KHUNTO”, atau partai mana pun yang datang untuk membebaskan kita. Kemenangan ini adalah hasil konsolidasi, mobilisasi, dan aksi massa.
Juru bicara EUTL, Caetano da Cruz, mengatakan di Kampus Pusat UNTL, 30/09/2025, bahwa RUU No. 11 yang diajukan dalam Sidang Paripurna PN disahkan dengan suara bulat, 62 suara mendukung, abstain, dan nol suara menentang. Isi rancangan undang-undang ini adalah untuk mencabut atau menghapuskan sepenuhnya, tanpa kecuali, pensiun seumur hidup bagi mantan anggota parlemen dan mantan pemegang jabatan berdaulat.
Akhirnya, PR telah mengumumkan undang-undang baru ini untuk menghapuskan sepenuhnya pensiun seumur hidup bulanan dan hak-hak royalti lainnya, dan telah dipublikasikan di Jornal da República melalui Undang-Undang No. 7/2025, 29 September, diumumkan oleh Presiden Republik Timor Leste.
EUTL ingin mengucapkan terima kasih kepada masyarakat dan kaum intelektual yang telah mengorganisir diri. Terima kasih atas semangat para seniman, penyandang disabilitas, LSM, dan masyarakat umum yang telah bersolidaritas dengan memberikan air, makanan, uang, dll., baik dari dalam maupun luar negeri.
Ucapan terima kasih ini, di sisi lain, dimaksudkan untuk menegaskan solidaritas antar-masyarakat. Karena aksi massa ini juga menunjukkan bagaimana kita dapat menunjukkan solidaritas satu sama lain untuk menyelamatkan masa depan kita, dan melindungi Timor-Leste dari kehancuran. Rasa solidaritas ini sangat mendalam, dan sangat penting untuk memperkuatnya agar perlawanan kita dapat terus berlanjut.
Ketika rakyat mengorganisir diri dan bersolidaritas satu sama lain, para penguasa atau elit tidak akan merasa damai. Kemenangan ini belum final, dan tidak ada kemenangan mutlak dalam hidup ini. Karena kemenangan selalu datang dengan kualitas yang berbeda. Setiap langkah menghadirkan kontradiksi baru. Hasil aksi massa selama ini kita anggap sebagai kemenangan dalam proses.
“Kita harus terus mengorganisir diri untuk mengawal kemenangan ini hingga mencapai kemenangan sejati. Kemenangan sejati adalah menghilangkan segala privilese dan membangun demokrasi rakyat melalui negara inklusif di mana semua orang berpartisipasi dalam pengambilan keputusan”. Tutur Jubir EUTL

“Kita harus terus berjuang untuk menghapuskan sepenuhnya tradisi membeli mobil mewah untuk menghukum mereka; kita terus berjuang untuk menghapuskan LPV (Lei Pensaun Vitalisia = Undang-undang Pensiunan Seumur Hidup) secara total dan membersihkan berbagai hak istimewa politik; kita terus berjuang untuk terus merevisi Undang-Undang Kebebasan Berkumpul dan Berdemonstrasi; dan kita terus memastikan bahwa anggaran dialokasikan untuk sektor-sektor strategis. Karena belum final, maka kita menganggap kemenangan ini masih dalam proses.” Tegas Jubir EUTL.
Pasca aksi massa, muncul dua narasi yang berbicara tentang moralitas dan etika. Pertama, perspektif moral yang menilai demonstrasi EUTL bersifat anarkis dan vandalisme. Di sisi lain, perspektif moral yang mengatakan bahwa para mantan pemegang dan mantan wakil rakyat ini adalah veteran dan telah banyak menderita bagi negara ini, sehingga mereka tidak dapat kehilangan hak atas pensiun dan regalia (tanda kebesaran) seperti [uang, mobil, tempat tinggal, dll].
Presiden Republik juga meminta Pemerintah untuk mempertimbangkan transisi yang rasional dan adil ketika undang-undang tersebut diterapkan guna memastikan solusi yang bermartabat bagi mereka yang terdampak.
Dalam persiapan pengesahan undang-undang tersebut, Presiden menegaskan bahwa beliau telah membahas masalah tersebut dengan Perdana Menteri, Ketua Pengadilan Banding, Jaksa Agung, Ombudsman untuk Hak Asasi Manusia dan Keadilan, Menteri Urusan Veteran, Komando F-FDTL, mahasiswa, dan elemen-elemen perlawanan.
“Jalan demokrasi dengan pilihan-pilihan sulit, kebesaran suatu bangsa tidak hanya terletak pada keberanian untuk melakukan reformasi, tetapi juga pada kemanusiaan yang ia perlakukan terhadap warga negaranya, termasuk mereka yang mengabdi kepada Negara,” tegas Presiden.
Sebelum menutup pidatonya, Presiden menutup pidatonya dengan menegaskan kembali keyakinannya terhadap kematangan politik rakyat Timor-Leste dan kapasitas kolektif mereka untuk menghadapi tantangan di setiap tahap.
Keputusan politik dan demokratis ini berawal dari protes mahasiswa dan lapisan masyarakat Timor-Leste pada 15-17 September 2025, sehingga Parlemen Nasional memutuskan untuk mengadakan sidang paripurna untuk menyetujui secara bulat (62 suara mendukung) pada 26 September 2025.
Dalam konferensi pers tersebut, para mahasiswa juga menulis pamflet tentang kondisi jalan yang buruk di wilayah Lautem (Lautem, Lore, Luro & Iliomar), Ermera (Letefoho, Atsabe, Hatulia A dan Hatulia B), Ainaro dan Viqueque (Ossu Villa).
Setelah Presiden menandatangani dan mengesahkan undang-undang pensiunan bagi para veteran pejabat Negara, ada beberapa pejabat yang mulai berkemas-kemas meninggalkan kediaman dan fasilitas yang selama ini Negara memberikan pada mereka untuk menfasilitasi mereka untuk melakukan tugas Negara, seperti Taur Matan Ruak (mantan Presiden dan PM), Mari Alkatiri (mantan PM), Deolindo (mantan Kejaksaan Agung), dst…
Kini seluruh masyarakat mulai bernafas lega, karena kini meraih lagi kemerdekaan kedua kalinya, atas perjuangan kelompok aliansi mahasiswa EUTL (Estudante Universitariu Timor Leste) atau Perhimpunan Mahasiswa Timor Leste atas Demonstrasinya selama tiga hari di depan gedung Parlemen Timor Leste.
Ternyata selama ini setiap tahun negara membiayai para pensiunan pejabat 5 juta U$ pertahun, dana ini kalau digunakan baik, mungkin bisa memperbaiki sekolah yang rusak, jalan raya yang rusak atau membantu masyarakat yang miskin, karena kekurangan makanan. Diharapkan agar dana mereka dapat dialihkan pada sektor-sektor yang membutuhkannya.
By prof. EdoSantos’25