Indonesia, sebuah negeri yang kaya akan sumber daya alam, kini menghadapi dilema eksistensial yang diabadikan dalam frasa pedih, Hutang ngumpul, hutan gundul, perekonomian mandul, lapangan pekerjaan tumpul. Ungkapan ini bukan sekadar rima yang enak didengar, melainkan cerminan sistematis dari kebijakan pembangunan yang sering kali menomorsatukan keuntungan jangka pendek bagi segelintir korporasi, mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan rakyat.
Hutang Ngumpul: Beban yang Kian Membengkak
Masalah bermula dari “hutang ngumpul” atau akumulasi utang negara yang terus membengkak, baik domestik maupun luar negeri. Utang, pada dasarnya, adalah instrumen yang sah untuk membiayai defisit anggaran dan pembangunan infrastruktur. Namun, ketika pengelolaannya tidak efisien, transparan, dan produktif, utang tersebut berubah menjadi belenggu.
Beban pembayaran pokok dan bunga utang yang tinggi membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menyerap dana yang seharusnya dialokasikan untuk sektor-sektor esensial seperti kesehatan, pendidikan, dan penciptaan lapangan kerja. Dorongan untuk membayar utang ini sering kali memicu pemerintah untuk mencari sumber pendapatan cepat, salah satunya dengan cara membuka keran eksploitasi sumber daya alam.
Hutan Gundul: Konversi dan Eksploitasi Tanpa Henti
Di sinilah korelasi antara utang dan lingkungan menjadi nyata: “Hutan gundul.” Dalam upaya mendongkrak devisa dan pertumbuhan ekonomi instan seringkali untuk menambal defisit atau membiayai proyek besar pemerintah melonggarkan izin untuk industri ekstraktif. Penebangan hutan skala besar untuk perkebunan monokultur (terutama sawit), pertambangan, dan pembangunan infrastruktur tanpa perencanaan ekologis yang matang menjadi pemandangan umum.
Dampak dari hutan yang gundul atau “hutang ekologis” yang terkumpul ini jauh lebih mencekik daripada utang finansial:
Bencana Hidrometeorologi: Hutan adalah spons raksasa. Ketika ia hilang, kemampuan tanah menyerap dan menahan air berkurang drastis. Akibatnya, frekuensi dan intensitas banjir bandang dan tanah longsor meningkat, menyebabkan kerugian material, infrastruktur rusak, bahkan korban jiwa.
Krisis Iklim dan Keanekaragaman Hayati: Penebangan hutan melepaskan karbon dalam jumlah besar, memperburuk krisis iklim. Hilangnya habitat juga mengancam ribuan spesies flora dan fauna endemik, merusak aset alam yang tidak ternilai.
Kerugian ekonomi akibat bencana ini, mulai dari kerusakan pertanian hingga biaya perbaikan infrastruktur, sering kali jauh melampaui keuntungan sesaat dari penebangan. Ini adalah harga mahal sebuah keserakahan.
Perekonomian Mandul dan Lapangan Pekerjaan Tumpul
Dua konsekuensi berikutnya adalah “perekonomian mandul” dan “lapangan pekerjaan tumpul.”
Perekonomian yang didominasi oleh eksploitasi sumber daya alam dan ketergantungan pada utang cenderung “mandul” dalam arti gagal menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan dan merata. Model ekonomi ekstraktif ini menghasilkan pertumbuhan yang rapuh karena. Harga Komoditas Volatil: Ekonomi menjadi sangat rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global.
Kurangnya Diversifikasi: Inovasi dan industri berbasis pengetahuan terabaikan.
Capital Intensive: Industri ekstraktif seringkali padat modal (menggunakan banyak mesin), bukan padat karya.
Hal ini secara langsung bermuara pada masalah “lapangan pekerjaan tumpul.” Meskipun proyek-proyek besar diiklankan sebagai pencipta lapangan kerja, sebagian besar pekerjaan yang tercipta bersifat sementara, rendah keterampilan, dan tidak sebanding dengan jumlah penduduk usia produktif.
Alih-alih melahirkan jutaan lapangan kerja yang stabil dan bermartabat, ekonomi yang bergantung pada eksploitasi sumber daya malah mendorong kemiskinan struktural dan ketidakadilan, terutama di pedesaan yang hutannya telah dikorbankan.
Jalan Keluar: Memutus Rantai Keserakahan
Siklus berbahaya “Hutang ngumpul, hutan gundul, perekonomian mandul, lapangan pekerjaan tumpul” harus segera diputus. Melunasi hutang kepada alam dan rakyat membutuhkan perubahan paradigma, bukan sekadar penambalan kebijakan:
Tata Kelola Utang yang Produktif: Prioritaskan utang hanya untuk investasi yang menghasilkan nilai tambah tinggi, berkelanjutan, dan menciptakan lapangan kerja berkualitas, serta pastikan transparansi dan akuntabilitas.
Ekonomi Hijau dan Biru: Beralih ke model pembangunan yang berpihak pada keberlanjutan, memberdayakan masyarakat lokal, dan mengedepankan industri berbasis jasa lingkungan dan inovasi teknologi.
Penegakan Hukum Lingkungan yang Tegas: Hentikan moratorium atau pelonggaran izin eksploitasi, dan tindak tegas pelaku illegal logging dan land clearing.
Menjaga hutan bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga investasi esensial untuk keselamatan dan kesejahteraan di masa depan. Kita harus berhenti menumpuk hutang kepada alam sebelum bencana yang datang benar-benar tak mampu kita tanggung lagi. Sudah saatnya kesejahteraan rakyat tidak lagi ditebus dengan kerusakan alam.
Sumber: AI
