“Kita semua dilahirkan untuk suatu alasan, tetapi tidak semua Kita menemukan sebabnya. Keberhasilan dalam kehidupan tidak ada hubungannya dengan apa yang Anda capai sendiri. Keberhasilan adalah apa yang Anda lakukan bagi orang lain” –Danny Thomas
Dalam sebuah edisinya pada akhir tahun 1980-an, majalah Time memasang sebuah pertanyaan pada sampulnya, “Sudah matikah Pemerintahan?” Pertanyaan singkat ini memicu perbincangan hangat seputar pemerintahan, dan berujung pada dilakukannya perubahan drastis pada model organisasi birokrasi. Untuk menjawab tantangan zamannya, birokrasi mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sendi-sendi organisasi publik.
Pengalaman di Amerika Serikat tersebut menjadi bukti bahwa birokrasi harus mampu bertransformasi diri untuk bisa tetap eksis, karena realitas masyarakat yang menjadi ruang bekerjanya birokrasi juga senantiasa berubah. Di saat sarana komunikasi menjadi kian mobile, transformasi informasi juga semakin murah, maka wawasan masyarakat juga menjadi luas, terciptalah masyarakat informasi dengan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi dibanding sebelum-sebelumnya.
Bilamana masyarakat dunia sudah bertransformasi sedemikian rupa menjadi makin intelek –termasuk para pekerja, maka organisasi yang melayani dan memperkerjakan para intelek, harus bisa menjadi organisasi pembelajar. Birokrasi sebagai organisasi publik yang melayani dan memperkerjakan manusia-manusia yang sudah semakin intelek, mau tidak mau harus menyesuaikan diri.
Kondisi Pegawai Negeri Sipil dewasa ini juga mengalami proses transformasi demikian, rata-rata sudah berpendidikan sarjana, bahkan magister. Ini berimplikasi pada berbagai hal yang terkait dengan dunia birokrasi. Birokrasi harus menjelma menjadi organisasi pembelajar (organizational learning) sebagai karakter utama organisasi publik yang bisa bertahan ke masa depan.
Setidaknya, ada tiga karakter organisasi masa depan menurut Gede Prama, yaitu: (a) Organisasinya bertumpu pada new ideas intensive; (b) mempekerjakan pekerja-pekerja intelektual; dan (c) kepemimpinannya bercorak heart based of leadership. Ketiga hal inilah yang menjadi sendi utama bagi sebuah organisasi untuk bisa menjadi organisasi publik masa depan, termasuk birokrasi. Berikut ulasan singkat tentang birokrasi sebagai organisasi masa depan.
Baca juga: Belajar Asertif Pada Gajah
Sebagai organisasi yang bertumpu pada new ideas intensive, maka inti dari gerak birokrasi terletak pada bagaimana mengelola manusia yang memungkinkan munculnya ide kreatif, serta terkelolanya ide tersebut secara memadai. Hal ini menuntut tersedianya Pegawai Negeri Sipil yang open mindedness dan bukan pegawai pengikut kawanan kerbau.
Selain kualitas pegawainya juga penting untuk memperhatikan penciptaan lingkungan organisasi yang mendukung proses penciptaan dan pengolahan ide secara kontinu. Untuk itu, penyiapan suasana yang fun dalam rangka berjalannya proses belajar sambil bekerja dengan mengintegralkan councelling, coaching, dan mentoring dapat berlangsung dalam organisasi.
Para pemimpin birokrasi masa depan juga harus lihai dalam mempekerjakan pekerja-pekerja intelektual. Istilah pekerja intelektual sendiri, pertama kali diperkenalkan oleh Peter Drucker dalam bukunya, Landmarks of Tomorrow. Pekerja intelektual (sering pula disebut pekerja pikiran atau pekerja pengetahuan) bagi Peter Durcker adalah seseorang yang dipekerjakan berdasarkan pengetahuannya tentang subyek tertentu.
Mempekerjakan pekerja intelektual memiliki tantangan tersendiri, karena pekerja intelektual cenderung lebih susah diatur dan berkeinginan menentukan sendiri pada bagian mana di dalam organisasi dia mau bekerja. Tentu saja, keinginan mereka itu berdasarkan pada kompetensi dan keahlian yang mereka miliki.
Situasi ini memendam potensi konflik besar yang kalau tidak dikelola dengan baik, bisa berakibat negatif dari organisasi. Sangat dibutuhkan kematangan dalam mengelola perbedaan agar menjadi kekuatan besar bagi kemajuan organisasi. Tentu juga penting mempersiapkan daya tahan atas berbagai benturan dan dialektika yang tajam dalam organisasi.
Baca juga: Renungan Di Depan Pasar Pattirobajo
Untuk menghadapi pekerja intelektual, pimpinan di birokrasi dituntut memiliki pemahaman yang memadai akan knowledge management, manajemen pengetahuan. Sebuah ilmu terapan tentang bagaimana cara cepat dan tepat dalam mengumpulkan dan menyebarkan informasi atau pengetahuan, serta bagaimana cara memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi proses belajar dalam organisasi melalui pengelolaan pengetahuan dan informasi yang memadai.
Setidaknya, ada tiga proses yang menjadi proses kunci knowledge management, yaitu: (a) proses yang dilaksanakan organisasi untuk memperoleh informasi dan pengetahuan (organizational learning); (b) proses transformasi dan mengintegrasikan informasi ke dalam pengetahuan yang akan berguna untuk mengatasi persoalan organisasi (knowledge production); dan (c) proses yang memungkinkan anggota organisasi memiliki akses dan menggunakan pengetahuan kolektif yang dimiliki organisasi (knowledge distribution).
Hal terakhir yang perlu dimiliki oleh organisasi masa depan dan memperkerjakan pekerja intelektual, yaitu kepemimpinannya yang bercorak heart based of leadership: memimpin dengan empati, kasih sayang, dan hormat. Tiga sekawan, David L. Doltich, Peter C. Cairo, dan Stephen H. Rhinesmith dalam bukunya yang berjudul Head, Heart, & Guts menjelaskan bahwa kepemimpinan berbasis hati memprioritaskan faktor kepekaan dalam jiwa.
Kepemimpinan berbasis hati ditandai dengan kemampuan untuk menyeimbangkan kebutuhan organisasi dan manusia; menciptakan kepercayaan antara pegawai dengan stakeholders; mengembangkan simpati sejati di berbagai tempat; menciptakan lingkungan yang membuat orang-orang dapat berkomitmen sungguh-sungguh; mengetahui apa yang penting; serta memahami dan mengatasi hambatan potensial dalam diri.
Seorang atasan yang memberdayakan adalah seorang yang senantiasa belajar dengan prinsip –meminjam prinsip Gede Prama, 3C yaitu coba, coba dan coba. Inilah tipe pemimpin yang baik sebagaimana dikatakan Rick Warren, “Ketika anda berhenti belajar, anda berhenti memimpin”. Sudahkah pejabat struktural di tempat kerja kita mampu mempekerjakan pekerja intelektual dengan baik? Atau kalau kita sedang mendapat amanah menjadi seorang pejabat struktural, sudahkah kita memimpin dengan heart based of leadership? Bila belum, tak ada kata terlambat untuk memulai!
Muhammad Kasman, Pengasuh blog MakassarBuku
[…] Baca juga: Mempekerjakan Pekerja Intelektual […]
[…] Baca juga: Memimpin Pekerja Intelektual […]