Oleh: Gugun Gunardi*
Pengantar:
Indonesia, selain memiliki bahasa nasional (bahasa Indonesia) yang menjadi simbol persatuan, juga memiliki bahasa daerah yang jumlahnya banyak. Bahasa-bahasa daerah tersebut menjadi bahasa pertama dan mungkin menjadi bahasa ibu bagi para penuturnya, terutama pada masyarakat etnik dengan latar budaya etnik yang berbeda.
Salah satu bahasa daerah adalah Bahasa Sunda. Bahasa Sunda merupakan bahasa dengan jumlah penutur ketiga terbesar setelah bahasa Indonesia, kemudian bahasa Jawa, lalu bahasa Sunda.
Apa sajakah keunikan yang ditemukan dalam bahasa Sunda akan dipaparkan pada pembahasan.
Pembahasan:
Di bawah ini adalah paparan hal-hal unik yang ditemukan dalam bahasa Sunda sebagai berikut:
- Merupakan Salah Satu Bahasa Tua di Indonesia
Dari hasil penelitian para ilmuwan bahasa, dapat disimpulkan bahwa bahasa Sunda merupakan salah satu bahasa daerah tua yang ada di Indonesia. Alasannya, karena Bahasa Sunda merupakan cabang dari Bahasa Melayu-Polinesia, yang termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.
Memang belum ada penegasan kapan Bahasa Sunda lahir, akan tetapi bahasa Sunda sudah minimal digunakan dalam prasasti pada abad ke-14, yang ditemukan di kompleks Astana Gede, Kawali, Ciamis.
- Memiliki Penutur Terbesar Ketiga di Indonesia
Pada umumnya bahasa Sunda dituturkan oleh masyarakat Etnis Sunda. Mengingat jumlah populasi Etnis Sunda yang besar, maka penutur Bahasa Sunda juga diperkirakan besar juga.
Berdasarkan data kependudukan tahun 2018, tercatat ada sekitar 42 juta dari penduduk Indonesia yang menggunakan Bahasa Sunda dalam tuturan sehari-hari. Dengan bukti tersebut, maka bahasa Sunda menjadi bahasa dengan jumlah penutur terbesar ketiga di Indonesia, setelah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Jika ditelaah berdasarkan posisi bahasa daerah, maka Bahasa Sunda merupakan terbesar penuturnya kedua setelah bahasa Jawa.
- Memiliki Aksara Sunda
Seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda pun memiliki aksara Sunda. Aksara Sunda yang digunakan termasuk rumpun aksara Brahmi yang diturunkan dari aksara Pallawa melalui aksara Kawi. Aksara Sunda Kuno sudah digunakan oleh masyarakat Sunda dari abad ke-14 hingga abad ke-18 masehi. Aksara Sunda mulai ditinggalkan sejak sekitar 3 abad yang lalu.
Untuk kembali meningkatkan minat masyarakat serta menghidupkan kembali Aksara Sunda, Pemerintah Daerah (Pemda) Jawa Barat pun mengeluarkan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah. Perda tersebut kemudian diikuti dengan petunjuk pelaksanaan dalam SK Gubernur Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2004.

Ejaan bahasa Sunda memiliki 7 vokal, yaitu, a, i, u, e, dan o, juga ada é (e pepet), dan eu.
Aksara Ngalagena, merupakan aspek pokok aksara Sunda. Aksara Ngalagena ini merupakan bentuk dasar dari pembentukan kata dan kalimat. Aksara Ngalagena terdiri atas ka, ga, nga, ca, ja, nya, ta, da, na, pa, ba, ma, ya, ra, la, wa, sa, ha, fa, va, qa, xa, za, kha, dan sya.
Aksara Ngalagena yang berasal dari aksara Sunda Kuno, dimodifikasi menjadi 18 jenis aksara yang susunannya disesuaikan dengan sistem alat ucap. Adapun huruf konsonan aksara tersebut yaitu: ka, ca, ta, pa, ya, wa, ga, ja, da, ba, ra,sa, nga, nya, na, ma, la, dan ha.
- Memiliki Dua Dialek (berfonem repleksif -h dan non-fonem repleksif -h)
Bahasa Sunda memiliki dua dialek berfonem repleksif -h, yaitu yang berfonem repleksif -h dan non-fonem repleksif -h. Di antara kedua dialek tersebut, terdapat perbedaan yang mencolok. Dialek yang berfonem repleksif -h, pada umumnya dituturkan oleh hampir seluruh orang Sunda di Jawa Barat, seperti Majalengka, Bogor, Tasikmalaya, Kuningan, Bekasi, Garut. Kemudian Ciamis, Sukabumi, Subang, Purwakarta, Sumedang, Cianjur, Karawang, Bandung, Bandung Barat, dan Cirebon. Sementara dialek non-fonem repleksif -h, pada umumnya dituturkan oleh masyarakat Sunda di Desa Pareangirang, Kecamatan Kadang Haur, Indramayu, serta di daerah pesisir utara.
- Jati Diri Etnis Sunda
Bahasa Sunda bukan hanya sekadar alat komunikasi. Lebih dari itu, bahasa Sunda juga merupakan jati diri masyarakat etnis Sunda. Menurut Prof. Mikihiro, bahasa Sunda merupakan identitas etnis Sunda, karena bahasa Sunda tidak dapat dipisahkan dari budaya Sunda. Bahasa Sunda menjadi salah satu ciri khas etnis Sunda di Indonesia, dengan berbagai aspek budayanya yang unik. Aspek budaya tersebut adalah; bahasa, seni, peralatan, pekerjaan, pengetahuan, organisasi sosial, dan kepercayaan (religi).
- Memiliki kata antar (kecap anteuran) kata kerja
Hampir semua kata kerja di dalam bahasa Sunda, pada penggunaannya sering diawali kata antar (aspek inkhoatif/kecap anteuran) kata kerja. Jadi, ketika mengucapkan kata kerja tertentu bagi penutur bahasa Sunda yang hari-hari di dalam komunikasinya menggunakan bahasa Sunda. Biasanya diawali dengan kecap anteuran kata kerja. Akan tetapi, bentuk ini tidak ada padanannya di dalam bahasa Nasional Indonesia.
Sebagai contoh umpamanya beberapa kata kerja penulis paparkan di sini;
(1) cèr kiih = kencinglah,
(2) berebet lumpat = berlarilah,
(3) geuleuyeung leumpang = jalanlah,
(4) gèk diuk = duduklah,
(5) jung nangtung = berdirilah,
(6) golèhè sarè = tidurlah,
(7) golèdak nangkarak = telentanglah,
(8) trèt nulis = menulislah,
(9) rot nginum = minumlah,
(10) am dahar = makanlah,
Akan tetapi di dalam tuturan tertentu, kecap anteuran ini, juga bisa bertransformasi menjadi jenis kata lain dengan bantuan imbuhan tertentu.
Umpamanya; -am – bisa berubah menjadi; saameun = untuk sekali makan. Lalu, disaamkeun = dimakan satu kali nelen. Lalu, saamkeun = ditelan bulat-bulat. Boleh dikatakan kata antar kata kerja di dalam bahasa Sunda bisa berubah jenis menjadi kata lain.
- Memiliki Sisindiran (ungkapan untuk menyindir)
Di dalam khasanah sastra tradisionil Sunda, ada yang disebut dengan sisindiran. Sisindiran ini terdiri dari paparikan, rarakitan, dan wawasalan. Paparikan dan rarakitan memiliki bentuk yang hampir sama, hanya akhir dari baris ungkapan yang membedakannya. Baik paparikan, rarakitan, maupun wawangsalan adalah sama-sama jenis sisindiran atau pantun Sunda. Sedangkan perbedaan di antara ketiganya sebagai berikut;
Sisindiran adalah bentuk puisi Sunda tradisionil yang terikat oleh aturan baris dan suku kata. Sisindiran asalnya dari kata sindir yang berarti kiasan.
Paparikan
Satu bait paparikan jumlah padalisannya (barisnya) genap (jangkep), misalnya 4, 6, 8 dan seterusnya. Namun umumnya terdiri atas 4 padalisan. Sapadalisan jumlah engangnya (suku kata) ada 8.
Setengah bait pertama merupakan sindir, cangkang, atau kulitnya. Setengahnya lagi merupakan eusi atau isi. Misalnya paparikan 4 baris; maka baris 1 dan 2 merupakan kulit, baris 3 dan 4 adalah isinya.
Setiap tungtung (akhir) padalisan atau ujung baris paparikan harus murwakanti laraswekas (ada kesamaan bunyi pada suku kata akhir). Purwakantinya bersilang; baris 1 murwakanti dengan baris 3, baris 2 murwakanti dengan baris 4.
Ciri paparikan adalah tidak ada pengulangan kata dari baris cangkang ke eusi. Artinya tidak ada kata yang sama dari baris 1 dan 2 dengan baris 3 dan 4. Di lihat dari isinya, paparikan dibagi menjadi 3 yaitu paparikan piwuruk (nasihat), paparikan silih asih (cinta), dan paparikan sesebred (lelucon atau kritik).
Rarakitan
Rarakitan sama persis dengan paparikan. Isi rarakitan juga tidak beda dengan paparikan, yaitu ada rarakitan piwuruk, rarakitan silih asih, dan rarakitan sesebred.
Bedanya rarakitan dan paparikan adalah rarakitan ada pengulangan satu atau beberapa kata dari baris cangkang ke baris isi. Sedangkan paparikan tidak ada pengulangan kata.
Wawangsalan
Wawangsalan berbeda dengan rarakitan dan paparikan. Wawangsalan hanya terdiri atas 2 baris. Baris pertama berisi sindir dan wangsal (semacam tebak-tebakan), baris kedua tentang isi. Masing-masing baris terdiri dari 8 suku kata. Wangsal adalah hal yang disembunyikan dan harus kita cari maksudnya. Wangsal disembunyikan dalam kata yang murkawanti ujung kosakatanya.
- Memiliki Tingkat tutur (undak-usuk)
Tingkat tutur atau undak-usuk ( Sunda) adalah pengetahuan yang bersangkut dengan menghaluskan tuturan. Undak-usuk, berasal dari pengaruh bahasa Jawa.
Dalam konteks sejarah kemunculan Undak-Usuk Basa atau hirarki bahasa pada kebudayaan Sunda, tak dapat dipisahkan dari perubahan mode produksi di sepanjang periode sejarah masyarakat Sunda. Pada periode Kerajaan Salakanagara hingga Kerajaan Islam Banten, mode produksinya masih berpola ladang berpindah atau ngahuma. Pola produksi ngahuma ini cenderung menghasilkan sistem sosial yang egaliter, karena pola penggarapan huma atau ladang dilakukan dengan berbasiskan pada sistem kekeluargaan tanpa menggunakan buruh serta tidak mengenal kelas sosial mandor atau badega (bodyguard). Artinya, tidak ada stratifikasi sosial yang ketat ketika itu. Hal ini berpengaruh pula pada bahasa yang digunakan, di mana stratifikasi bahasa berdasarkan kelas sosial dan usia belum dikenal pada periode ngahuma tersebut.
Sistem sosial masyarakat Sunda berubah ketika Kerajaan Mataram Jawa di bawah pimpinan Sultan Agung melakukan invasi ke wilayah Priangan (daerah Provinsi Jawa Barat bagian tengah dan selatan kini) pada pertengahan abad ke 17. Ketika masa pengaruh Mataram di tatar Sunda inilah mode produksi bersawah menetap atau pertanian intensif mulai diperkenalkan kepada masyarakat Sunda. Penguasa Mataram mengubah secara radikal mode produksi ngahuma menjadi pola pertanian bersawah. Perubahan mode produksi ini juga berdampak pada aspek-aspek budaya lainnya dalam kebudayaan Sunda, salah satunya ialah perubahan struktur bahasa yang digunakan orang Sunda. Bahasa Sunda yang sebelumnya tidak mengenal stratifikasi, menjadi terbagi dalam tiga strata yakni halus, sedang dan kasar. Bahasa Sunda yang halus dan sedang biasa dipakai dalam percakapan sehari-hari kalangan ningrat atau menak. Sementara bahasa Sunda kasar digunakan oleh para petani penggarap atau buruh tani. Perubahan pola bahasa ini juga dipengaruhi oleh budaya Mataram Jawa yang memang telah mengenal tingkatan bahasa sejak lama (Unggah-ungguh Basa Jawi).
Penutup:
Upaya untuk melestarikan Bahasa Sunda terus dilakukan, salah satunya dengan pengajaran Bahasa Sunda di sekolah. Tercatat, sejak abad ke-20, sudah ada 2.200 buku pengajaran Bahasa Sunda yang dipublikasikan. Bahkan penerbit besar Balai Pustaka, sejak periode 1920-an, lebih banyak menerbitkan buku pengajaran Bahasa Sunda ketimbang bahasa daerah lain.
Begitu pula penerbit Kiblat tetap setia dengan lebih banyak menerbitkan buku-buku berbahasa Sunda baik fiksi (novel dan roman), maupun non-fiksi (terutama buku pelajaran bahasa Sunda).
*Penulis: Dosen Tetap Universitas Al Ghifari.