Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Pada acara puncak hari ulang tahun ke-56 Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Muslim Indonesia (KAHMI) di Hotel Kartika Chandra Jakarta beberapa waktu lalu, Menko Polhukam Mahfud MD membeberkan hasil perhitungan bahwa 84% kepala daerah di Indonesia dibiayai cukong untuk maju Pilkada. Imbasnya setelah terpilih, para calon kepala daerah ini akan memberi imbalan balik kepada cukong yang membiayainya tersebut.

Kondisi transaksi minta jatah proyek para cukong ini tidak bisa dihindari pasca Pilkada, karena tidak ada cukong yang ingin mengeluarkan dananya sampai miliaran kalau tidak ada balasannya yang menggiurkan. Hampir tidak ada cukong yang sudah pasti pebisnis menggunakan pendekatan sosial, tetapi semuanya menggunakan perhitungan keuntungan.

Efek dari keterlibatan cukung dalam pemilihan kepala daerah ini biasanya melahirkan pemimpin bermental korup. Dengan alasan balas jasa, pimpinan daerah yang terpilih biasanya tanpa disadari langsung menabur benih-benih korupsi melalui cara suap atau sogok-menyogok, dan penyalahgunaan wewenang untuk mengakomodir kepentingan cukung sponsornya.

Jika ditelusuri lebih jauh, akan menemukan data bahwa cukong besar bermain di Pilkada yang daerahnya memiliki kekayaan alam melimpah. Menjanjikan keuntungan berlipat-lipat dari dana yang dikeluarkan mendanai Pilkada. Jika ditelusuri lebih jauh lagi, cukong besar ini adalah para oligarki yang akan mencengkram Indonesia dari pusat sampai daerah melalui kekuatan modal. Pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD di atas cukup untuk membenarkannya.

Lalu siapa oligarki dan efeknya apa bagi rakyat? Dari beberapa sumber dijelaskan, oligarki berasal dari bahasa Yunani yaitu oligarchia yang berarti pemerintahan oleh yang sedikit. Oligo berarti sedikit dan archein berarti memerintah. Dalam versi tulisan ini oligarki adalah perselingkuhan tingkat tinggi antara penguasa dan pengusaha dalam menjalankan pemerintahan suatu negara atau daerah.

Dikatakan perselingkuhan karena kalau pengusaha tidak memiliki jalan dengan berbagai pertimbangan menjadi pemimpin di suatu negara atau daerah, sang pengusaha akan membiayai orang lain yang bisa diterima rakyat sebagai pimpinan. Sebaliknya, calon penguasa membutuhkan pengusaha untuk memberi modal besar dalam membiayai kontestasi kepemimpinan.

Hubungan perselingkuhan yang melahirkan anak bernama oligarki politik ini berusaha mencapai puncak kekuasaan melalui cara yang beragam untuk melipatgandakan kekayaan dan kekuasaannya. Itulah kenapa pada akhirnya hak-hak milik rakyat kecil menjadi dikesampingkan, bahkan tidak dipedulikan.

Artinya kehadiran oligarki dalam pemerintahan dan ekonomi hampir tidak membawa dampak perbaikan bagi rakyat. Laporan detik.com yang mengutip situs komnasham.go.id, menjelaskan sistem oligarki ini memberikan minimal dua dampak yang cukup signifikan bagi rakyat dan negara yang bersangkutan. Pertama, menghilangkan hak partisipasi warga negara. Kondisi ini bisa saja terjadi karena masuknya pengaruh oligarki ke dalam proses politik negara tersebut. Hasilnya, kekuasan dipegang secara penuh oleh kelompok tertentu yang berkuasa. Efeknya rakyat kecil kehilangan hak partisipasinya sebagai warga negara. Kedua, terancamnya kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini bisa saja terjadi akibat pengaruh ikut campur tangan orang-orang berkuasa yang ingin melestarikan kekayaannya.

Pertanyaan yang perlu dikedepankan, “Kalau kehadiran oligarki berdampak menghilangkan partisipasi rakyat dan mengancam kesejahteraan masyarakat, apakah kita hanya diam? Kalau aktivis hanya menggerutu, orang terdidik lebih memilih menjadi bagian dari propaganda politik atas nama kapital, pihak kampus tidak turun gunung, dan pers tengkurap, lalu kepada siapa rakyat berharap?”

Untuk menemukan harapan rakyat, perlu melihat dan memaknai kehadiran sosok pembawa suara perubahan berikut.

Simbol Perlawanan Oligarki

Sejarah mencatat pemimpin yang pernah membuat oligarki bertekuk lutut di republik ini bisa jadi hanya seorang Anies Rasyid Baswedan. Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, kebijakannya menghentikan proses reklamasi Teluk Jakarta oleh para pengusaha raksasa di Indonesia yang dimanjakan pemerintahan sebelumnya adalah kebijakan seorang pemimpin pemberani yang tidak memilih-milih lawan yang tidak taat aturan.

Kata Anies, “Berapa pun besarnya ukuran Anda, bila tidak taat aturan, saya akan hadapi dan disiplinkan.” Sikap pemberani, tidak kompromi, dan ketegasannya itu membuatnya disebut sebagai simbol perlawanan terhadap oligarki.

Menurut Anies, kalau ditekan pengusaha, harus ditekan balik. Jadi tidak usah repot-repot, kalau ada yang tekan maka tekan balik. Pemerintah yang memiliki otoritas tidak semestinya ditekan oleh siapa pun, termasuk pengusaha. Kalau pemerintah ditekan, mestinya tekan balik. Kita yang menjadi pemerintah jangan disandera. Bergeraklah dengan policy yang ada dengan landasan konstitusi, dan berusahalah hadapi siapa saja yang akan mengubah dari jalur-jalur konstitusional, siapa pun itu, termasuk kepada pengusaha.

Mungkin maksudnya pengusaha sudah membantu dan mendukung yang lain-lain, nanti sesudah itu dimintai balik. Karena menurut Anies, “Caranya untuk bisa terbebas dari tekanan-tekanan seperti itu adalah memperbanyak dukungan dari relawan-relawan yang bekerja tidak berdasarkan bayaran rupiah, tetapi berdasarkan kepercayaan.”

Anies menjelaskan pengalaman dan observasinya, pengusaha sekarang apalagi pengusaha besar tidak lagi berada di level memberi untuk berharap diberi. Hari ini yang dibutuhkan pengusaha adalah perlakuan yang adil dan fair, dimana pemerintah tidak memberikan fasilitas kepada satu atau dua kelompok, tetapi memberikan kesempatan mereka berkompetisi. Karena itu. Anies mempertahankan agar negara menjamin munculnya kompetisi yang fair di antara pelaku-pelaku pasar.

Dari sikap Anies yang tegas menghadapi oligarki yang tidak taat aturan itu, dapat disimpulkan bahwa Anies menggunakan minimal dua tameng sekaligus senjata. Pertama, konsisten berpijak kepada konstitusi Pembukaan UUD 1945 yang ingin menciptakan kesejahteraan dan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua, ingin mengimplementasi lima sila Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua tameng itu hanya bisa digunakan oleh pemimpin yang jujur dan amanah menjalankan tanggung jawab. []

*Inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi dan politik

(Visited 12 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.