Oleh: Ruslan Ismail Mage*
Sejak terbentuknya suatu negara, sudah terjadi tarik menarik antara dua kekuatan dalam pengelolaan negara. Satu kutub yang ingin mengelola negara disetiap elemennya dengan profesionalisme berdasarkan keahlian dan kemampuan personal yang diberi tanggung jawab. Ini yang disebut aliran “Meritocracy”. Kutub satunya ingin mengelola negara berdasarkan pendekatan, atau relasi keluarga, pertemanan, hubungan emosional lainnya, tanpa melihat keahlian dan kemampuan personal yang diberi tanggungjawab. Ini yang disebut “Kakistocracy”.
Dari beberapa catatan sejarah pembangunan suatu bangsa, prinsip Meritokrasi telah menjadi kisah sukses negara-negara maju. Singapura negara kecil yang hampir tidak memiliki sumber daya alam, kini menjelma menjadi negara maju dengan kemampuan sumber daya manusia dan sistem pengelolaan negara yang kuat dan disiplin, adalah salah satu contoh negara yang mengelola negaranya dengan sistem Meritokrasi. Tidak ada data yang bisa membantah kalau kemajuan negara Singapura bukan karena tangan dingin Lee Kuan Yew yang secara sistematis membangun semua elemen dengan metode Meritokrasi.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Gerakan reformasi birokrasi yang didengungkan pasca reformasi, nampaknya tidak memberi cukup energi pemimpin disegala tingkatan untuk menerapkan sistem Meritokrasi. Dikutip dari kompas.com pada 23 Desember 2019, pengamat kepolisian dari institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai sistem meritokrasi di Polri semakin pudar. Hal yang sama tidak jauh beda dengan di institusi TNI. Dalam laporannya kompas.tv pada 12 Januari 2022, anggota Komisi 1 Dewan Perwakilan Rakyat Effendi Simbolon menilai penunjukan perwira menduduki jabatan strategis di TNI berdasarkan sejarah kedekatan dengan Presiden Joko Widodo bukanlah hal yang sehat bagi organisasi TNI. Artinya Meritokrasi juga diabaikan dalam menguatkan tubuh TNI.
Sementara birokrasi pemerintahan baik pusat dan daerah banyak juga data dan fakta terkuak tidak sehat karena mengabaikan sistem Meritokrasi dalam mengelola pemerintahan. Fenomena pengangkatan relawan dalam menduduki jabatan startegis di departemen dan di perusahaan milik negara BUMN berdasarkan kedekatan dan balas jasa jelas mengabaikan Meritokrasi. Sebelas dua belas dengan birokrasi di daerah, dan salah satu penyebabnya adalah pemilihan kepala daerah langsung. Pimpinan daerah yang terpilih menarik masuk pendukungnya bergabung menjalankan pemerintahan dengan kecenderungan mengabaikan spesifikasi keahlian dan kemampuannya.
Tulisan Asisten Komisioner ASN Dr. Sumardi SE, M.Si menarik dijadikan alat pembenar. Disebutkan dengan bahasa analogi ada “Pasar imajiner jabatan” yang merusak birokrasi. Menurutnya pasar imajiner jabatan komponennya lengkap sebagaimana pasar tradisional yang kita kenal selama ini. Ada musimnya, ada juga penjual dan pembeli. Barang yang diperdagangkan juga ada, yaitu jabatan yang direpresentasikan melalui kursi, meja, fungsi, tugas, wewenang, serta atribut yang melekat pada jabatan tersebut. Berlaku juga hukum pasar penawaran dan permintaan atau supply and demand. Karena rupiah yang berbicara, sudah pasti nilai-nilai Meritokrasi tidak berlaku lagi. Kondisi ini tidak boleh didiamkan. Harus ada pemimpin yang berani mengembalikan meritokrasi dalam pengelolaan pemerintahan.
Membangun Bangsa dengan Meritokrasi
Sebelum bangsa besar ini semakin terjerumus dalam pusaran Kakistocracy yang ditandai dengan kepemimpinan tidak kompeten dan sarat penyimpangan moral di semua lini penyelenggaraan negara, melalui politik transaksional, nepotisme, senioritas, kolega, konflik kepentingan, penyalahgunaan kekuasaan, dan jaringan mafia, Indonesia harus dibangun dengan sistem Meritokrasi dihampir semua elemen berbangsa dan bernegara.
Untuk mewujudkan Meritokrasi dalam membangun bangsa sebagaimana yang dicontohkan oleh negara maju Singapura, perlu pemimpin yang tangguh dan visioner, serta memiliki komitmen dan jejak konsistensi penerapan Meritokrasi. Salah satunya kalau tidak bisa dikatakan satu-satunya pemimpin yang memiliki jejak dan visi pentingnya menggunakan sistem Meritokrasi dalam membangun bangsa adalah Anies Rasyid Baswedan.
Dikutip dari kemendikbud.go.id yang menjelaskan bahwa Anies Rasyid Baswedan ketika menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) menerapkan tiga strategi untuk memajukan pendidikan dan kebudayaan, yaitu penguatan pelaku pendidikan, perbaikan mutu dan akses, dan perbaikan tata kelola birokrasi pendidikan. Pada strategi ketiga menjadi perhatian khusus dengan menerapkan sistem Meritokrasi sebagai bagian dari reformasi tata kelola Kemendikbud.
Anies menilai waktu itu para pegawai di Kemendikbud yang memulai karirnya dari bawah dan berprestasi, serta memahami tugas dan fungsi dari pekerjaannya dapat menuai prestasi. Dengan sistem ini dapat tumbuh suasana kerja yang baik, dan memberikan harapan kepada seluruh pegawai yang berprestasi meraih penghargaan. Bagi Anies, begitu bicara ke depan dan menerapkan prinsip yang baik, Insya Allah perjalanan akan baik juga.
Dalam acara Kick Andy di MetroTV, Anies menjelaskan untuk membangun pemerintahan yang baik harus kembali ke sistem Meritokrasi sebagai prioritas utama. Jadi di tubuh TNI, Polri, dan ASN, meritokrasi dikembalikkan. Jangan sampai karier dari yang berseragam, baik TNI, Polri, dan ASN, itu kariernya tidak mencerminkan prestasinya.
Harus kariernya mencerminkan prestasinya, bukan mencerminkan koneksinya. Kenapa? Supaya negara bisa deliveree terbaik bagi rakyat. Bagian keamanan Polri dan TNI melaksanakan tupoksinya dengan baik, bagian pelayanan ASN juga begitu. Ketika prestasi berakhir di karier, maka yang terbaik akan mendapatkan kesempatan. Kalau yang terbaik mendapat kesempatan, rakyat juga akan mendapatkan kebaikan.
Jadi pemerintahan harus pemerintahan yang menganut sistem Meritokrasi. Hal ini yang akan membuat kita melihat pemimpin Polri, pemimpin TNI, dan pemimpin ASN, adalah komandan-komandan dan kepala-kepala yang memang melalui jalur meritokrasi. Dengan seperti itu, bangsa kita akan berdiri tegak di republik ini di mana masalah ketimpangan bisa terselesaikan, kesejahteraan kita tingkatkan, negaranya berjalan dengan pemerintahan Meritokrasi, lalu demokrasi dihormati dan kebebasan berpendapat dilindungi, pemerintahan aturan pemilu tidak di gonta-ganti hingga memberikan kepastian. Apa yang terjadi kemudian? Kita akan merasakan republik ini dalam suasana yang sehat dan berjalan dengan baik.
Jadi tidak salah kalau harapan penuh rakyat tercurah kepada Anies Rasyid Baswedan, sang pembawa perubahan untuk kembali menata negeri ini dengan sistem Meritocracy dengan menyingkirkan penganut Kakistocracy.
*Inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi dan politik