Oleh : Ruslan Ismail Mage
Setiap orang melihat gambar berbagai ekspresi bisa muncul. Ada tersenyum, mengkerutkan kening, termenung, atau menganggukkan kepala. Hal ini berkaitan dengan teori yang menyatakan, “80 persen pikiran bekerja berdasarkan gambar”. Teori itu pun mengalir masuk dalam pikiranku, sehingga sudah kurang lebih setahun melihat gambar di atas, tetapi terasa baru kemarin. Sudah lama tetapi baru. Maksudnya apa?
Secara visual sudah kurang lebih setahun melihat gambar itu, tetapi sejak pertama melihatnya ada pertanyaan batinku yang belum terjawab sampai saat ini. Pertanyaan itu, “Kenapa Bupati Pesisir Selatan Drs. Rusma Yul Anwar, M.Pd menenteng sendiri sepatunya?” Bukankah banyak orang di sekitarnya yang bisa jadi berebut ingin membawakan sepatunya. Bahkan ada ajudan siap 24 jam menunggu perintahnya.
Saking penasaran, terpaksa mencari pembenaran di mesin raksasa penyimpan data google. Namun tidak menemukan data ada pemimpin daerah yang menenteng sendiri sepatunya ketika berjalan di lahan yang becek dan berair. Satu-satunya data yang menyajikan kisah sepatu dan pemimpin hanya kisah Bung Hatta yang terobsesi membeli sepatu bally yang tidak kesampaian karena tidak memiliki uang berlebih. Maaf sampai titik ini penaku berhenti sejenak, karena ada bahasa emosi yang bisa memicu butiran kristal jatuh di sudut mataku.
Pada aplikasi instagram tempat gambar ini, sang bupati hanya menulis, “Berbekal amanahmu yang kau titipkan di pundakku, aku berjalan menelusuri jalan setapak yang licin karena habis diguyur hujan. Berpayung daun pisang menikmati turunnya rahmat Allah Swt. Hari ini kami datang mengunjungimu (rakyat), tak peduli melintasi sungai, melompati batu sambil menjinjing sepatu, agar dapat menyapa dan menjengukmu meskipun di pelosok terjauh. Semuanya itu untuk menjaga rasa ragumu”. Artinya catatan singkat bupati ini belum menjawab pertanyaan batinku.
Untuk merekontruksi jawaban memuaskan rasa penasaran, saya kemudian mencoba berdialog secara imajiner dengan sang bupati rendah hati yang merakyat ini. Bupati menjawab, “Ruslan, sepatu itu adalah alas kaki, tempatnya di bawah paling rendah diinjak-injak. Tidak etis kalau meminta tolong orang lain siapa pun itu membawanya, sementara saya bisa sendiri”.
Jawaban imajiner bupati yang bernuansa filosofi ini membuatku merenung sejenak. Betapa mulia dan rendah hati pemimpin seperti ini. Lama pikiranku mengembara mencari pemimpin yang pernah melakukan hal yang sama, tetapi tidak kutemukan dalam jagad literasi terlebih di dunia nyata. Imajinasi dan pikiranku terus berjalan, sampai menemukan kesimpulan. Inilah pemimpin yang memanusiakan manusia, pemimpin yang tidak ingin merendahkan sesamanya, pemimpin yang melebur egonya “aku” menjadi “kita”. Pemimpin yang menyadari benar hakekat kepemimpinan, “Bahwasanya pemimpin apa pun itu kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di depan Rabb-Nya”. Sebuah dialog imajiner yang telah mengobati rasa penasaranku.
*Inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi dan kepemimpinan