Oleh: Ruslan Ismail Mage

Karakter itu permanen yang bertumbuh sejak lahir dari lingkungan keluarga dan sosialn, yang kemudian mengakar menjadi tabiat yang melekat pada jiwa seseorang. Jadi, karakter yang sudah terbentuk itu tidak akan berubah di posisi mana pun berada. Kalau karakter alaminya rendah hati, memeluk kemanusiaan, dan merangkul perbedaan status, posisi ditingkatan kepemimpinan mana pun berada, tidak akan berubah karakter itu. Sebaliknya, kalau karakternya potensi tinggi hati, arogan, mau menang sendiri, cenderung abai nilai humanisme, lebih mengedepankan ke”aku”annya, itu juga yang akan mewarnai tindakannya ketika menduduki posisi kepemimpinan.

Hal inilah yang disebut karakter merakyat tidak bisa dicitrakan, karena di situ zona konsistensi sikap, integritas, tanggung jawab, moralitas, ketulusan, dan keikhlasan. Bukan zona spontanitas, kepentingan, target, apalagi politik. Terlebih satu dasawarsa terakhir rakyat banyak mengalami proses pencerdasan secara alami lewat guru pengalamannya, sehingga bisa membedakan mana karakter alami dan mana karakter pura-pura.

Untuk menjustifikasi ini, kita pinjam “Teori Solidaritas Masyarakat” Ibnu Khaldun yang merupakan pengembangan dari “Teori Harmoni” yang mengajarkan, “Kelaziman saling melindungi dan mengembangkan potensi serta saling mengisi dan membantu di antara sesama.” Kalau memperhatikan teori solidaritas masyarakat ini, hanya bisa dimaksimalkan pengejawantahannya dalam kehidupan masyarakat oleh pemimpin yang memiliki karakter alami merakyat memeluk dan merangkul sesama tanpa melihat status dan latar belakangnya.

Bahasa nonverbal yang ditampilkan Bupati Pesisir Selatan Drs. Rusma Yul Anwar, M.Pd. dalam gambar di atas sesungguhnya menyampaikan pesan, “Pemimpin merakyat itu tidak bisa dicitrakan, butuh konsistensi membuang jarak dengan rakyat, tidak menempatkan rakyat sebagai objek untuk diceramahi, tetapi sebagai sahabat untuk didengarkan keluhannya, masukannya, dengan bahasa rakyat sendiri.”

Gambar sang bupati memeluk sambil bercanda meninju perut sahabatnya ini terjadi ketika monitoring sawah di Mudiak Kecamatan Ranah Pesisir Kenagarian Pelangai. Sahabat bupati itu bercerita tentang harga pupuk dan obat untuk pertanian dan sawah tadah hujan. Ia meminta pemerintah jangan pernah lupa rakyat kecil dan memperhatikan kebutuhannya, khususnya para petani. Bupati menjawab siap sambil bercanda, “Lai alun kempes paruik uda do, mamantun tinju ambo dibueknyo.”

Begitulah karakter, gaya, dan bahasa sederhana seorang pemimpin yang tulus dan konsisten merakyat memasuki ruang-ruang jiwa rakyatnya, dan menghilangkan jarak dengan rakyatnya. Inilah bagian yang dimaksud teori solidaritas masyarakat Ibnu Khaldun. Benar kata Mahatma Gandhi, “Kepemimpinan berarti merangkul orang-orang.” Bahasa tubuh sang bupati kepada sahabatnya itu juga mendapat pembenaran dari Stephen R. Covey, penulis buku best seller asal Amerika Serikat yang mengatakan, “Apa yang dilakukan secara sederhana memiliki dampak jauh lebih besar daripada apa yang dikatakan.” []

*Inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi dan kepeminpinan.

(Visited 248 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.