Jadi begini, kengerian di negeri ini menurut saya mengoyak kemerdekaan dan HUT ke-79 Tentara Nasional Republik Indonesia. Ndak tahu kalau menurut orang lain, karena orang lain berfikirnya tidak sama dengan saya.
Jadi begini, peristiwa pembunuhan Vina Dewi Arsita dan kekasihnya, Muhammad Rizky Rudiana alias Eki, pada 27 Agustus 2016 di Cirebon, Jawa Barat nyaris dlupakan. Mirisnya, Vina dan Eki, dibunuh oleh bromocorah. Belum puas komplotan geng motor membabi buta memerkosa jasad Vina.
Kejadian bermula saat Vina, Eki, dan seorang teman mengendarai sepeda motor dan diikuti oleh geng motor. Rombongan geng motor melempari korban dengan batu di depan SMPN 11 Kota Cirebon. Biadabnya, mayat Vina dan Eki dibuang di sebuah jalan.
Kasus yang nyaris lenyap ini kembali menjadi perbincangan publik setelah diangkat ke layar lebar dengan judul Vina.
Semoga kasusnya cepat kelar, tidak bertele-tele dan suprasi hukum mampu menjawab para pencari keadilan. Ini menurut saya, bukan menurut orang lain, karena ini asli dari pemikiran saya saja ya, jadi pemikiran saya tidak sama dengan pemikiran orang lain. Kalau pemikiran saya sama degan orang lain berarti orang lain berfikir sama dengan saya, iya kan.
Peristiwa menyedihkan juga datang dari Padang Pariaman, Sumatra Barat. Seorang gadis penjual gorengan, Nia Kurnia Sari (18), mati dibunuh. Sebelum dibunuh pelaku memperkosa gadis penjual gorengan.
Indra Septiarman alias IS, pria yang diduga kuat sebagai pelaku utama pembunuhan Nia gadis penjual gorengan itu, ditangkap pada Selasa (24/9/2024) setelah dilakukan pencarian intensif oleh tim buru sergap kepolisian dan masyarakat.
Sebelum tertangkap, tersangka sempat bersembunyi di atap rumah kosong milik salah satu warga. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan, dan pelaku diberi hukuman sepadan.
Teranyar datangnya dari Kendari Sulawesi Tenggara. Kasusnya begitu menyayat hatiku yang pernah mengenyam bangku sekolah hingga kuliah. Saya melihat murid-murid jaman sekarang pada cengeng. Berbeda dengan generasi era kolonial, generasi ini pernah mengalami teguran tegas dari guru, mulai dari dilempar kapur tulis pernah juga dicubit guru sampai lebam tetap berdiri tegak sekokoh batu karang di laut. Sebab murid-murid era kolonial tahu diri, kalau murid di sekolah melakukan kesalahan pasti ditegur guru.
Anak-anak sekarang tak ubahnya sebagai “Generasi Strowberi”. Menurut Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya dan dalam salah satu kesempatan kuliah online melalui streaming youtube beliau, strawberry generation adalah generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati.
Mereka penuh gagasan kreatif, namun begitu ditegur hati mereka mudah hancur, nampak begitu cengeng dan langsung mengadu ke orang tua apabila ditegur guru tanpa menjelaskan penyebabnya mengapa dirinya di tegur guru, sehingga tidak terjadi salah paham antara orang tua, guru dan murid itu sendiri. Memang diakui ada beberapa guru berlebihan menghukum muridnya, namun hal tersebut hanya hitungan jari.
Seperti kasus kriminalisasi terhadap seorang guru honorer SDN 4 Baito, Konawe Selatan, bernama Supriyani dilaporkan orang tua murid atas dugaan penganiayaan ke Polsek Baito pada 25 April 2024 lalu.
Diketahui orang tua murid yang melaporkan merupakan anggota polisi bernama Aipda Wibowo Hasyim dan memiliki jabatan penting. Selang beberapa bulan kasus tersebut terus bergulir di meja kepolisian, hingga dinyatakan lengkap dan dilimpahkan ke kejaksaan atau P21.
Saya ndak mau melanjutkan kisah memalukan ini. Dunia pendidika sekarang, ibarat dunia kriminal saja. Ketika guru sebagai wali kelas di sekolah menegur atau mengingatkan muridnya yang bengal, kok malah kena “begal” orang tua murid yang tercatat sebagai pengayom masyarakat. Sepertinya, pak polisi ini lupa, bahwa sebelum beliau menjadi seorang polisi, pernah merasakan kerasnya bangku sekolah. Tapi mengapa, nasib guru Supriyani seperti dikebiri.
Innalilahi wa inna ilaihi raaji’uun. Kabar duka kian menyelimuti para pahlawan tanpa tanda jasa (di Wonosobo) Jawa Timur. Dimana seorang guru olahraga di SD Negeri 1 Wonosobo Jawa Timur, berinisia M dilaporkan oleh AS orang tua murid. Celakanya, orang tua murid ini melaporkan guru olahraga ke polisi atas dugaan kekerasan. Kasusnya pun viral di media sosial, pasalnya selain di polisikan, oleh orang tua murid, guru ini diminta sejumlah uang damai.
Dalam cerita yang beredar di medsos dinarasikan, guru tersebut diminta membayar yang awalnya Rp70 juta hingga turun menjadi Rp30 juta agar kasus tidak berlanjut.
Jadi ya begitulah, bahwa fikiran saya tidak sama dengan orang lain, apa yang orang lain fikirkan belum tentu sama dengan saya.
Jangan disamakan ya, saya berfikir begini belum tentu sama dengan orang lain.
Ya, sudahi saja dulu kisah mengharukan juga memalukan dunia pendidikan ini, semoga pada masa transisi Kabinet Merah putih 2024-2029, tidak ada lagi kriminalisasi terhadap pahlawan tanpa tanda jasa, dan para guru ini merdeka mengajar tanpa intimidasi dari pihak manapun. Andai ada guru-guru yang bermasalah, biarlah diselesaikan secara intenal dengan pihak-pihak yang berkompeten di bidangnya, jangan lagi ada intervensi dari para orang tua murid.
Ini kan menurut saya bukan menurut orang lain. Harus digaris bawahi bahwa ini cuma pemikiran saya sendiri. Karena menurut saya tidak ada yang perlu saya sampaikan, jadi menurut saya, akhiri saja pembahasan ini.
Selamat Hari Guru Sedunia, tanggal 5 Oktober yang ditetapkan oleh UNESCO. Dan tanggal 25 November dirayakan sebagai Hari Guru Nasional (HGN) yang sejarahnya berkaitan dengan berdirinya organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Meski begitu, keduanya tetaplah hari untuk memberi apresiasi kepada para guru atas jasa mereka dalam memajukan pendidikan.