Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Sebuah pertanyaan klasik menarik dikedepankan dalam mengikuti perkembangan terbaru kasus guru honorer Supriyani di Konawe Selatan. Apa perbedaan politisi dengan ilmuwan? Politisi boleh berbohong tidak boleh salah, sebaliknya ilmuwan boleh salah tidak boleh berbohong. Kenapa begitu? Berikut alasan pembenarnya.

Kalau politisi bohong itu lumrah karena sejarah kelahiran politisi sampai akhir zaman sebagian besarnya tidak bisa dipisahkan dari kebohongan. Tengoklah pernyataan Emma Goldman seorang penulis dan aktivis yang memainkan peranan penting dalam perkembangan filsafat politik anarkis di Amerika Utara dan Eropa pada awal abad ke-20 yang mengatakan, “Politisi akan menjanjikan surga sebelum pemilu dan memberikan neraka setelahnya.” Itu artinya sah-sah saja kalau politisi berbohong, namun sekali politisi atau pemimpin salah, bisa berdampak besar pada kelangsungan kepemimpinannya.

Lalu apa hubungan dengan kasus ibu guru Suriyani? Adalah Bupati Konawe Selatan Surunuddin Dangga telah melakukan tindakan yang salah dengan mencopot Camat Baito buntut kasus guru honorer Supriyani. Begitu pentingnya pemimpin tidak boleh melakukan tindakan yang salah, karena sekali melakukan kesalahan, bisa berakhir menjadi tokoh kartun.

Pencopotan Sudarsono sebagai Camat Baito yang begitu banyak mendapatkan apresiasi, simpati, dan dukungan publik karena mendampingi dan membela warganya ibu guru honorer Suriyani yang cenderung dikriminalisasi adalah tindakan yang salah dari segi elektabilitas sang bupati. Apa pun alasan sang bupati dalam pencopotan Camat Baito, akan mendapat antipati dari publik.

Tindakan sang bupati ini secara langsung membantah konsep kepemimpinan elegan Presiden Prabowo yang mengatakan, “Jika anak buah basah, maka pemimpin harus basah juga. Begitu pula jika anak buah kepanasan, pemimpin harus ikut kepanasan.”

Sebaliknya, sikap kepemimpinan sejati diperlihatkan oleh Camat Baito Sudarsono. Sang camat memahami benar makna konsep kepemimpinan Presiden Prabawo yang tidak membiarkan ada warganya mendapat ketidakadilan. Turun langsung mendampingi dalam menyelesaikan kejanggalan hukum yang dialami warganya. Inilah pemimpin satu rasa dengan warganya yang dimpikan rakyat.

Begitulah efek kalau seorang pemimpin melakukan tindakan yang salah di ruang publik. Salah satunya bisa memicu sebagian besar rakyat Konawe Selatan merasa mendapat hikmah dari kasus Ibu Suriyani, yaitu: “Telah menemukan pemimpin sejati bernama Sudarsono di Konawe Selatan.” Bukankah Allah Swt akan mengangkat derajatnya orang benar yang disingkirkan? []

*Akademisi, inspirator dan penulis buku-buku motivasi kepemimpinan

(Visited 38 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.