Dikala aku masih berusia 7 tahun, pada tahun 1976, aku mulai melibatkan diri dalam perjuangan kemerdekaan Timor Leste. Dimana kala itu aku sedang menjaga kebun bersama keluargaku, ketika adiku ke-empat John Bosco lahir disitu, masih pagi-pagi buta, aku mulai mendengar tembakan meriam dari kapal perang TNI (Tentara Nasional Indonesia) di ujung timur pulau Timor, tepatnya di perairan pantai Loré. Tembakan meriam itu mulai menggema menghantam kami di daerah terpencil desa Fuat, di kebun kecil dusun Vataomar.

Maka kami memutuskan untuk melarikan diri bersama keluargaku ke hutan belantara, bersama dengan para pejuang Falintil lain, yang telah diorganisir oleh pemerintahan sementara post kemerdekaan Timor Leste secara sepihak oleh partai Fretilin, selang 9 hari saja TNI langsung datang menginvasi. Karena bapakku terlibat dalam aktivitas politik partai Fretilin, maka kami mengikuti arahan yang diberikan oleh atasan dan pimpinan Fretilin untuk mengungsi ke hutan-hutan, guna menghindari inflitrasi dan serangan dari TNI yang mulai masuk wilayah territori kami.

Sampai di hutan kami langsung membentuk dusun-dusun kecil, menurut jumlah penduduk yang ada, dusun kami bernama Ramahana. Disitulah saya memperoleh pendidikan dari seorang guru bernama Mateus de Oliveira (almarhum), seorang alumni D.Bosco Fuiloro, yang mengajar kami ala kadarnya, sesuai dengan sikon kami di hutan. Kami menggunakan pelepah bambu dan arang kayu untuk proses belajar mengajar di kelas, karena tidak ada pulpen, pensil dan buku tulis di hutan. Namun berkat jasa bapakku yang mantan eks-militer portu, ia telah mengajariku pengetahuan dasar di rumah sehingga aku sudah bisa membaca dan menulis, baru melanjutkan lagi sekolah di hutan, jadi bagiku tidak ada masalah, dan menjadi asisten sekretaris pribadi papiku.

Kala itu kami kedatangan tamu dari Dili, yakni seorang Menteri, entah menteri apa gue udah lupa, tapi saat kami menyebutnya Menteri Serakey. Dia datang ke tempat kami untuk memonitor keadaan kami di hutan. Kala itu kami menerimanya di suatu daerah pelataran bernama “Amahoban”, dan saya ditunjuk untuk membawakan sebuah puisi pada sang menteri. Puisi itu berjudul “Sete de Desembro” atau “Tujuh Desember”, mengingat invasi TNI ke Timor Leste kala itu. Saya bersama beberapa kawan saya bernama Cristina Lourdes, membawakannya dengan bagus, karena puisinya kami hafal di luar kepala. Dalam puisi itu mengisahkan tentang bagaimana Presiden Soeharto mengirim pasukannya untuk menyerang dan menginvasi negeri kami Timor Leste.

Setelah setahun berlalu, bapakku mendapat tugas baru untuk pindah ke Aldeia/dusun Foholulik sebagai Utusan Khusus Fretilin (Delegado Fretilin) karena disana vakum pimpinan. Maka kami pindah lagi dari aldeia Ramahana ke aldeia Foholuik. Sesampai di sana, suatu malam saya bersama bapakku menghadiri rapat di aldeia bersama para masyarakat, sekembalinya dari sana di tengah jalan saya digigit ular samodok (ular kuning) di kakiku. Lalu bapakku menggendonku sampai di rumah, dan dia segera mencari obat alamiah untuk mengobatiku.

Setelah enam bulan kemudian kami mulai mengungsi lagi ke gunung Matebian, melewati Atelari, Laga, Baguia menuju gunung Matebian, selama 6 bulan perjalanan baru tiba disana. Karena menurut mereka, sampai disana baru memperoleh kemerdekaan yang sesungguhnya, ternyata sampai disana bukan kemerdekaan yang didapat, melainkan kematian yang didapat. Kenapa tidak? Karena sesampainya disana kami dibombadir oleh empat pesawat jet di udara, kapal perang dari laut, dan serangan tentara darat dari TNI.

Kala itu kami serba kekurangan, terlebih kekurangan makanan dan minuman. Maka ketika sampai di suatu daerah bernama Haekoni, kami beristirahat disitu masing-masing menggali tanah dan memperoleh air minum dari hasil galian kami, meskipun airnya kotor dan bau amis, tapi kami terpaksa meminumnya karena tidak ada mata air bersih untuk ratusan dan ribuan pengungsi ke gunung Matebian. Saat itu kami dibombardir, dan salah seorang bapak bernama Henrique terkena serpihan bom dari pesawat jet, dia berteriak minta tolong, tapi kami semua lari berlindung di semak-semak dan gua-gua batu di kaki gunung Matebian.

Tapi bapakku sebagai seorang religius selalu berdoa pada Tuhan agar kami terhindar dari serangan ganas peluru atau bom dari pesawat maupun kapal perang dari laut. Kala itu kami tidak pernah diberi waktu sedikit pun untuk mencari nafkah dan berlindung diri, dimana siang kami dibombadir oleh 4 pesawat jet saling bergantian, malam harinya kami ditembaki oleh kapal perang di laut. Jadi siapa yang imannya kuat dan percaya penuh pada Tuhan dia yang selamat.

Di keluarga kami, semuanya terkena penyakit Frambusia (borok di sekujur tubuh), sehingga kami tak berbuat banyak, kecuali berdoa meminta pertolongan Tuhan, dan hal itu benar-benar terjadi pada keluarga kami. Maka keluarga kami tidak ada yang mendapat masalah disana.  Adikku nomor 4 yang masih menyusui ibunya sering nangis karena kehabisan asi. Sedangkan adik perempuanku kedua dia lari bersama pamanku di tempat lain. Dan sekembalinya dari gunung matebian baru kami bertemu di kecamatan Iliomar.

Kami terus berjuang mengungsi dari satu tempat ke tempat lain, menuju puncak gunung Matebian, tapi karena keluarga kami sakit semua jadi kami tidak sampai ke puncak, dan hanya sampai di kaki gunung saja. Disana banyak gua-gua batu besar seperti rumah, sehingga kami berlindung disitu. Kami mendapat makanan sisa dari orang-orang yang tinggalkan di tempat itu. Setiap hari saya yang bertugas untuk mengambil air dari kaki gunung hingga ke lembah, namun itupun sangat beresiko, karena di jalan dibombardir dari udara, sampai di mata air, kami ditembaki dari darat. Jadi kami selalu waspada dan berhati-hati.

Selama tiga tahun mengungsi dari hutan ke gunung matebian, akhirnya kamipun menyerah karena tujuan kami untuk mencari kemerdekaan tidak tercapai. Setelah pasukan Falintil gagal dan menyerah pada pasukan Indonesia, kamipun memutuskan untuk turun dari gunung Matebian dan kembali ke kota kecamatan kami Iliomar. Ketika kami turun dari gunung Matebian, orang-orang pada turun semua duluan. Keluarga saya semuanya sakit, jadi kami turun belakangan. Sampai di kecamatan Baguia, semua orang diperiksa, namun karena keluarga kami sakit semua jadi kami lolos dari pemeriksaan, dan biarkan kami berlalu oleh tentara Indonesia.

Sesampainya di kota kecamatan Iliomar, saya melihat banyak masyakat yang telah mendirikan tenda darurat untuk berteduh. Kami yang baru datang tidak ada tempat bagi kami, karena keluarga kami semuanya sakit, maka kami terpaksa tinggal dengan paman saya yang memelihara adik perempuanku. Kala itu sekitar bulan November tahun 1978, maka menerima tahun baru 1979 di kota kecamatan kami Iliomar, tapi kami tetap dijaga ketat oleh pasukan TNI, supaya kami tidak boleh kontak lagi dengan pasukan Falintil yang bersembunyi di hutan.

Jika mau ke kebun untuk mengambil makanan atau berkebun, harus membuat surat jalan dan disetujui oleh Kepala TNI baru dijinkan ke kebun untuk mengambil makanan dan berkebun. Sehingga kami seperti tawanan perang yang selalu dibatasi hak-hak kami untuk bebas mengambil makanan di kebun, pergi ke gereja untuk berdoa, mengambil air, dsb…semuanya dibatasi, dan diatur oleh atasan TNI baru kami melakukannya.

Bersambung….

Pesawat OV Bronco inilah yang membombardir kami di gunung Matebian

Versaun Tetum

Hau Nia Istoria iha Funu Timor-Leste, 1a – parte

Momentu hau sei iha tinan 7, iha tinan 1976, hau hahú involve-an iha funu Timor Leste atu hetan ukun-an. Momentu ne’eba hau sei hein hela to’os hamutuk ho hau hau nia familia, wainhira hau nia alin numeru haat João Bosco moris iha ne’eba, sei nakukun hela , ami hahú rona morteiru nia lian husi ró funu nian husi TNI (Tentara Nasional Indonesia) iha illa Timor nia rohan, iha tasi parte Loré nian. Morteiru ne’e nia lian hahu tarutu hodi ataka ami iha rai kikoan ida Suco Fuat, to’os kikoan ida iha Aldeia Vataomar.

Tan ne’e ami deside atu halai hamutuk ho familia sira iha ailaran, hodi ba hamutuk ho assuwain Falintil sira, ne’ebe organiza husi estadu provizoriu Timor Leste hafoin deklara ninia Independensia unilateralmente husi partidu Fretilin, liu deit loron sia Indonesia mai invade kedas. Tamba hau nia aman involve-an iha atividade politika Partidu Fretilin, tan ne’e ami tuir deit ninia ordem ne’ebe fo sai husi Lideransa Fretilin nian, atu halai (refujiu) ba ailaran, hodi hasees-an husi inflistrasaun no atakasaun husi TNI nebe hahu tama dadaun ami nia rai.

To’o iha ailaran ami forma kedas aldeia kikoan sira tuir total populasaun nebe iha, ami nia aldeia mak naran Ramahana. Iha ne’eba mak ami hetan edukasaun husi mestre ida naran Mateus de Oliveira (matebian), estudante finalista ida husi D.Bosco Fuiloro, nebe mak hanorin ami tuir kondisaun nebe iha, tuir ami nia sikon (situasaun & kondisaun) iha ailaran. Ami uza au betun ninia kulit no ahi klaak metan hodi uza ba prosesu aprendizajen, tamba iha ailaran laiha lapis, lapiseira no kadernu atu uza. Maibe tamba hau nia apa nu’udar eis-militar portu ninia esforsu, nebe hanorin ona hau kona ba siensia baziku iha uma, tan ne’e hau hatene ona leeh no hakerek, foin mak kontinua tan tuir eskola iha ailaran, nebe bah au laiha problema, no ikus mai sai assistente privadu apa nian.

Momentu ne’eba ami hetan vizita Ministru ida husi Dili, nia ministru saida hau mos haluha ona, maibe momentu ne’e ami temi deit nia naran Ministru Serakey. Nia mai ami nia fatin atu monitoriza ami iha ailaran. Momentu ne’eba ami simu nia iha fatin ida naran “Amahoban”, no indika hau atu lori poesia ida ba ministru. Poesia ne’e ho títulu, “Sete de Dezembru” ou “Loron hitu fulan dezembru”, hodi relembra invazaun TNI tama Timor iha momentu ne’eba. Hau ho hau nia kolega ida naran Cristina Lourdes, lori poesia ne’e ho diak, tamba ami dekor mos iha ami nia kakutak. Iha poesia ne’e nia laran konta kona ba oinsa Presidente Soeharto haruka nia militar sira mai ataka no invade ami nia rai Timor Leste.

Liu tiha tinan ida, hau nia aman hetan kargu foun nu’udar Delegadu, hodi muda ba Aldeia Foholulik nudar Delegadu Espesial husi Fretilin tamba iha neba laiha lideransa. Tan ne’e ami muda husi aldeia Ramahana ba fali aldeia Foholulik. To’o iha ne’eba, iha kalan ida hau ba hamutuk ho apa atu tuir enkontru ida hamutuk ho komunidade sira iha aldeia, wainhira fila husi ne’eba mai iha dalan klaran samodok tata hau nia ain. Hafoin hau nia apa kous hau to’o uma, no nia ba buka lalais buka aimoruk natural hodi kura hau.

Liu tiha fulan ne’en hanesan ne’e, ami hahu halai ba foho matebian, liu Atelari, Laga, Baguia atu ba foho Matebian, para tutuir dalan durante fulan neen mak to’o iha ne’eba. Tamba tuir sira katak, to’o iha ne’eba mak hetan ukun-an lolós, maibe to’o iha ne’eba la’os hetan ukun-an, maibe hetan fali matebian iha iha foho neba. Tamba sa mak sai nune’e? Tamba to’o iha ne’eba ami hetan bombardeamentu husi aviaun jet haat, roo funu iha tasi, no atakasaun raimaran husi militar Indonesia.   

 Momentu ne’eba ami falta buat hotu, liu-liu menus aihan no bee. Tan ne’e wainhira to’o iha fatin ida naran Haekoni, ami para uitoan iha ne’eba, ida-idak kee rai kuak hodi hetan be’e husi ami nia kolen, maski bee nee fo’er no i’is, maibe tenki dezenraska hodi hemu tamba laiha bee matan ida hodi fornese bee ba ema rihun ba rihun nebe halai ba matebian. Momentu ne’eba ami hetan bombardeamentu, no  apa ida naran Henrique hetan istilas bomba husi aviaun jet, nia hakilar hodi husu ajuda, maibe ami hotu halai ba subar-an iha aihun, duut no fatuk kuak sira iha foho Matebian nia hun.

Maibe hau nia apa, nu’udar relijiozu ida nebe reza nafatin ba Nai atu ami bele sees husi atakasaun kilat musan sira ou bomba husi aviaun ka ró funu husi tasi. Momentu ne’eba nunka fo tempu uitoan mai ami atu ami bele buka aihan ruma no subar-an, iha ne’ebe loron hetan bombardeamentu husi aviaun 4 nebe troka malu mai tiru ami, kalan hetan tiru husi roo funu nian iha tasi. Tan ne’e se mak nia fiar forti no entrega totalmente ba Nai nia mak hetan moris.

Iha ami nia familia, ema hotu hetan moras “Kaki/Frambusia” (isin tomak kanek htu), tan ne’e ami la halo buat barak, exeptu harohan deit ba Nai hodi hetan tulun husi Na’i, no buat ne’e akontese duni iha ami nia familia. Tan ne’e grasas a Deus ami nia familia laiha ema ida mak hetan susar ruma iha ne’eba. Hau nia alin nomor 4 ne’ebe sei  susu mak dala barak tanis tamba susuben maran. Maibe hau nai alin feto segundu nia halai hamutuk ho hau nia tiu sira iha fatin seluk. No wainhira fila husi Matebian mak ami foin hetan malu iha postu Iliomar.

Ami funu nafatin hodi halai husi fatin ida ba fatin seluk, atu ba Matebian nia foho tutun, maibe tamba ami nia familia sira hotu hetan moras tan ne’e ma kami la to’o iha foho tutun, no to’o deit iha foho hun. Iha ne’eba iha fatuk kuak bo-boot hanesan uma, tan ne’e ami subar-an iha ne’eba. Ami hetan hahan restu husi ema sira ne’ebe husik hela iha fatin ne’eba. Lor-loron hau ba kuru be’e husi foho hun ba bee matan iha rai klean, maibe ida ne’e mos risku liu, tamba iha dalan hetan bombardeamentu husi lalehan, to’o iha bee matan, ami hetan tiru husi rai maran. Tan ne’e ami sempre vijilansia no kuidadu-an.

Durante tinan tolu halai (refujiu) husi ailaran to’o foho Matebian, ikus mai ami mos rende tamba ami nia objetivu atu buka ukun-an ne’e seidauk atinji. Hafoin forsa Falintil sira laiha kbiit no rende ba forsa Indonesia, ami mos desidi atu tun husi foho Matebian no fila fali ba ami nia postu Iliomar. Wainhira ami tun husi foho Matebian, ema sira tuun uluk hotu ona. Hau nia familia moras hotu, tan ne’e ma kami tun ikus. To’o iha postu Baguia, ema hotu hetan pasa rebista, maibe tamba ami nia famila moras hotu tan ne’e ma kami sees husi pasa rebista, no forsa Indonesia sira haruka ami liu deit.

To’o iha postu Iliomar, hau hare’e komunidade barak mak harii ona sira nia tenda provisoriu hodi hamahan-an. Ami hirak ne’ebe foin to’o mai la hetan fatin ida, tamba ami nia membru familia moras hotu, tan ne’e mak ami dezenraska hela ho ami nia tiu sira ne’ebe hakiak hau nia alin feto ne’e. momentu ne’eba iha fulan Novembro tinan 1978, tan ne’e ami simu tinan 1979 iha ami nia postu Iliomar, maibe ami sempre kontrola maka’as husi forsa TNI, atu nune’e ami labele kontaktu tan ho forsa Falintil sira ne’ebe subar iha ailaran.

Se hakarak ba to’os atu foti aihan ka halo to’os, tenki halo guia de marsa no hetan lisensa husi TNI nia boot fo lisensa mak bele ba to’os hodi foti aihan no halo to’os. Tan ne’e mak ami hanesan eskapadu husi funu ne’ebe fo limitasaun ba ami nia direitu hodi livre foti aihan iha to’os, ba reza iha igreja, kuru be’e, nsst…buat hotu limita, no regula husi TNI nia boot mak foin ami bele hala’o.

Kontinuasaun…

by prof. EdoSantos’25

(Visited 24 times, 12 visits today)
Avatar photo

By Aldo Jlm

Elemen KPKers-Lospalos,Timor Leste, Penulis, Editor & Kontributor Bengkel Narasi sejak 2021 hingga kini telah menyumbangkan lebih dari 100 tulisan ke BN, berupa cerpen, puisi, opini, dan berita, dari negeri Buaya ke negeri Pancasila, dengan motonya 3S-Santai, Serius dan Sukses. Sebagai penulis, pianis dan guru, selalu bergumul dengan literasi dunia keabadian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.