Karya Dev Seixas
Aku adalah seorang putri yang berimpian menjadi penulis sejak masih berusia lima tahun. Hal yang membuatku termotivasi menjadi penulis adalah karena berangan-angan ingin melanjutkan kuliah di UGM Yogyakarta agar usai kuliah aku membawa dua kado special untuk ayah dan ibu, yakni Ijasah untuk ibu dan sebuah novel yang ingin ku tuliskan dengan jemariku sendiri dan ku hadiahkan untuk ayah.
Hal itulah yang membuatku giat belajar karena tempat tinggalku jauh dari ibu kota kabupaten. Cita-citaku terus mengajak aku belajar nama ibu kota Indonesia khususnya Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta letak Universitas Gadjah Mada (UGM).
Terkadang imajinasi itu membuatku bertindak di luar nalar. Hanya karena ingin jadi wartawan dan penulis membuatku sering mengikuti ajakan teman-teman untuk memanjat pohon pisang juga jeruk, hanya demi ingin melihat ibu kota Indonesia Jakarta.
Ternyata semua itu pada akhirnya terus membuat aku tak kehilangan harapan. Belajar dari hal-hal di luar nalar, aku akhirnya mendapatkan kesempatan sekolah pada tahun 1991 di zaman Indonesia.
Aku mulai merasa bahwa Jakarta sudah dekat melalui ingatanku ketika aku pertama kali belajar membaca dan menulis serta berbicara. Ketika mulai berliterasi hal pertama yang aku belajar selain abjad adalah Pancasila.
Waktu wali kelas mengajari kami untuk menghafal Pancasila aku justru melihat semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Belum tahu artinya namun gambar itu selalu saja terlintas di benakku. Pada saat di bangku SD kelas dua aku baru tahu artinya.
Terlintas dalam pikiranku, kok burung bisa memegang huruf itu ya! Tapi apa artinya, lalu dijelaskan oleh guru Bhineka Tunggal Ika yang berarti “Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu“. Yang di tuliskan dalam karangan kitab SUTASOMA karangan Mpu Tantular pada Jaman Majapahit sekitar abad ke-14.
Aku fokus pada setiap pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Mulai muncul ide, ah berarti aku bisa mewujudkan impianku karena arti Semboyan yang tertulis pada lambang Burung Garuda sudah jelas meskipun aku tinggal di Timor-Timur. namun aku pasti mampu mewujudkan impianku apabila aku belajar dengan sungguh-sungguh serta rajin dan giat ke sekolah.
Waktu terus berjalan aku mulai menyadari bahwa aku hanya putri dari orang tua yang tidak berpendidikan formal meskipun ayahku seorang yang memiliki karier sebagai anggota ABRI pada era itu. Setiap hari ayah harus bekerja keras demi kami juga kakek nenek juga saudara/i ibu yang tinggal sama kami.
Terkadang aku merasa sedih melihat kondisi ayahku, mengapa orang sebanyak ini hanya ayah yang kasih makan? Terus bepikir tapi mau gimana lagi karena mereka semua adalah keluarga.
Akhirnya suatu hari aku benar-benar bertekad untuk giat belajar, biar kelak mencapai impian masa kecil dan kata ayah kunci mau jadi wartawan harus lancar berbahasa Indonesia juga Inggris.
Dalam hati aku pikir aku telah jatuh cinta sama kata “Bhineka Tunggal Ika” bahwa meskipun aku tinggal di Timor-Timur aku pasti bisa menjadi penulis apabila aku lancar berbahasa Indonesia.
Tekad itulah yang mampu membuatku belajar dan terus belajar, meskipun aku harus dihadapkan pada ribuan tantangan karena aku menganalisis bahwa bahasa Indonesia begitu berfaedah di mana Bahasa Indonesia yang telah membuka pola pikirku, untuk terus bejuang belajar dari hal-hal yang tidak aku tahu menjadi tahu, bahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan alam dan sekitarnya bermula dari ABJAD.
Huruf-hutuf itu telah membuat diriku menyusun kata demi kata dari apa yang aku belajar di sekolah, di rumah, di lingkungan masyarakat maupun negara.
Saat aku mendengar, melihat aku selalu menyusun kata-kata agar dari kata itu, aku belajar artinya apa, tujuannya apa dan mau bawa kemana.
Sedikit ganjil tapi itulah kenyataan hidup mengapa aku tidak pernah ke Ibu Kota Negara Indonesia (Jakarta) tapi aku suka belajar bahkan menulis karya-karyaku dalam bahasa Indonesia, alasannya karena aku jatuh cinta pada Semboyan Bhineka Tunggal Ika kala itu.
Argumentasi aku mengapa hingga detik ini karena cinta itu tidak ada akhir, dan ada macam-macam objek cinta jadi sesuatu yang sudah melekat bermula dari proses pengamatan, belajar hingga mengerti akan sulit bagi saya untuk melupakannya.
Karena saya sadar Timor-Leste adalah negara saya, tanah kelahiran saya, tanah tumpah darah saya tapi saya jatuh cinta dengan bahasa Indonesia itu juga tidak salah, karena saya mampu menulis dan membaca berawal dari bahasa Indonesia.
Karena alasan saya meskipun kita beda tetapi kita tetap satu, yakni sesama manusia yang memiliki akal budi serta sebagai negara tetangga, dan saya sadar bahwa bahasa menujukkan bangsa, jadi apabila saya menulis karya saya dalam bahasa Indonesia akan tetapi pembaca akan mengetahui asal muasal karya seorang, dan tentu nama negara saya Timor-Leste, akan disebut bahwa saya, adalah Dev Seixas generasi Timor-Leste yang suka menulis dalam bahasa Indonesia.
Sesungguhnya ketika kita berbicara bahwa kita sekarang hidup di era Milenial maka kita harus memiliki kemampuan dasar yang pada akhirnya orang-orang dari negara lain mengakui negara kita bahwa kita sesungguhnya telah menjadi diri kita sendiri.
Mampu mendedikasikan sengala upaya jadi apapun itu yang kita lakukan tentu akan berdampak pada masa depan kita. Jika di masa lalu kita mengikuti proses dengan cermat karena percaya dan tidaknya kita semua akan mencapai apa yang kita tergetkan dalam hidup, pasti akan tercapai apabila kita sungguh-sungguh percaya pada kemampuan dasar kita, tanpa berpikir kita anak siapa, dari mana keluarga kita berasal, bahkan apa kelas ekonomi orang tua kita, atau latar belakang keluarga kita, itu sebenarnya bukan jaminan, melainkan motivasi, karena tidak semua orang yang mencapai kesuksesan berlatar-belakang dari keluarga yang berpendidikan formal, serta keluarga kaya, tapi kesungguhan mereka dalam mengikuti proses awal hingga akhir.
Pengalaman inilah yang membuatku membisu di negara tercintaku dan menulis, terus menulis mengusik cacian dan hinaan orang dan terus menulis, sesuatu yang menyangkut peradaban serta budaya dan tradisi kehidupan melalui tulisan fiksi dan non-fiksi dalam bahasa Indonesia. Karena aku tak mampu memisahkan diri dari cinta yang sudah melekat di kalbuku sebagai sebuah fondasi yang telah mendidik MINDSETKU agar menulis apa yang aku lihat, aku dengar, aku rasakan, karena dengan menulis aku mencari ilmu, aku mampu berbagi ilmu dan mampu dikenang sebagai orang berilmu.
Aku berharap kepada generasi muda jangan terus mengadili orang lain tanpa kita berpikir akan kemampuan kita sendiri sebab semua orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda layakannya manusia.
Jadi aku mampu merangkai kata karena awal jatuh cinta dari makna Bhineka Tunggal Ika bahwa kita berbeda-beda tetapi tetap satu yakni umat manusia.
Meskipun beda negara yakni Timor-Leste dengan Indonesia akan tetapi Ideologi seseorang itu mahal dan mampu diartikan menurut jutaan manusia di planet bumi ini, maka teruslah berkarya agar suatu hari kita akan kehilangan raga, tapi jiwa kita selalu terpatri di hati para pembaca.
Pada akhirnya perjuanganku takut ketinggian namun demi cita-cita terpaksa memanjat pohon pisang juga jeruk untuk melihat Ibukota Indonesia yakni Jakarta dan daerah istimewa Yogyakarta letak UGM bisa tercapai, di negara aku lahir dan tumbuh pun terwujud sesuai dengan kemampuanku, sebagai generasi muda Timor-Leste yang mampu berkiprah dengan bahasa Indonesia agar karyaku dibaca dan para pembaca mampu mengenanku bahwa aku sesungguhnya anak Timor-Leste yang eksis berbagi melalui tulisan lewat bahasa Indonesia yakni bahasa yang jadi fondasi MINDSETKU.
Untuk menulis, membaca, berbicara, menghitung serta memahami informasi oleh guru-guruku yang luar biasa yang tinggal di kampung halamanku, di Kecamatan Iliomar, Kabupaten Lautem Negara Timor-Leste daerah terpencilku yang aku cintai.
by Bu Dev’25