Oleh : Tammasse Balla
Di tepi Pantai Bira, aku pernah berjalan seorang diri. Angin laut menyapu wajahku, membawa bisikan yang terdengar seperti rahasia waktu. Pasir putih terhampar luas, menjadi kanvas sunyi tempat setiap langkahku terukir. Aku tahu, jejak-jejak itu hanya akan singgah sebentar. Ombak akan datang, dan dengan lembut menghapusnya seolah-olah aku tak pernah melewati jalan ini. Namun justru di situlah keindahannya: segala yang sementara selalu meninggalkan renungan dalam hati.
Aku berhenti sejenak, menoleh ke belakang. Ada jejak yang jelas, dalam, dan kokoh. Ada pula yang samar-samar, hampir hilang bahkan sebelum ombak menyentuhnya. Seperti perjalanan manusia, tidak semua langkah meninggalkan bekas yang sama. Ada langkah yang tercatat dalam sejarah, ada yang hanya singgah dalam ingatan sekejap. Namun, setiap langkah, sekecil apa pun, tetap memiliki makna bagi jiwa yang menapakkannya.
Ombak pertama datang, menjilat perlahan-lahan, menyapu sebagian jejak itu. Bekas-bekas yang tadi begitu nyata kini lenyap tanpa sisa. Hanya garis samar yang tersisa, menunggu gilirannya. Dari sana aku belajar: hidup mengajarkan kita tentang kefanaan. Tidak ada yang benar-benar kekal di hadapan waktu, kecuali makna yang ditinggalkan.
Aku pun menatap ke langitbjru. Burung camar berputar, melengking, seakan menertawakan jejak yang baru saja sirna. Namun aku sadar, burung itu tidak memerlukan pasir untuk mengenang jalannya. Ia selalu ingat arah pulang. Aku mengerti, mungkin yang sementara bukan untuk disimpan oleh pasir, melainkan oleh hati.
Aku melanjutkan langkahku, kali ini dengan lebih perlahan lagi. Pasir yang lembut memeluk kakiku, menorehkan garis-garis rapuh yang segera hilang. Meski sebentar, ia menjadi saksi bahwa aku pernah ada. Hidup tidak menuntut kita untuk bertahan selamanya, melainkan untuk hadir dengan penuh makna meski sesaat.
Aku lalu berjongkok, menggenggam segenggam pasir, lalu melepaskannya perlahan. Butiran itu jatuh, berserak, lalu menyatu kembali dengan tanahnya. Begitulah manusia: pada akhirnya kita akan pulang, kembali menjadi bagian dari bumi. Hidup, ternyata, hanyalah perjalanan singkat menuju kepulangan panjang.
Ketika matahari mulai merendah, cahaya senja melukis laut dengan warna emas. Ombak berlari ke pantai, membawa serta aroma asin yang akrab. Dalam keindahan itu, aku menyadari satu hal: jejak kaki mungkin hilang, tetapi cahaya senja yang memantul di mataku akan bertahan lebih lama. Kehidupan selalu memberi ganti: yang lenyap di satu tempat, akan lahir kembali di tempat lain.
Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: apakah yang benar-benar abadi? Bukanlah tubuh, bukan pula langkah. Keabadian ternyata terletak pada rasa kasih sayang yang kita tinggalkan, pada doa yang kita panjatkan, pada kebaikan yang telah kita taburkan. Semua itu tidak pernah bisa dihapus oleh ombak, karena ia terukir di dalam hati manusia lain.
Aku berjalan lebih jauh, meninggalkan jejak baru di pasir yang belum tersentuh. Dalam setiap langkah, aku merasa sedang menulis bait-bait kehidupan. Aku tahu, meski tulisan itu rapuh dan sebentar lagi hilang, namun proses menuliskannya membuatku lebih sadar pada arti kehadiran.
Di kejauhan, aku melihat seorang anak kecil berlari-lari di tepi air, meninggalkan jejak-jejak kecil yang segera lenyap. Ia tertawa, seakan-akan tak peduli bahwa langkahnya akan hilang dalam sekejap. Dari tawa polos itu aku belajar: hidup tidak selalu harus khawatir akan hilangnya jejak, tetapi harus dijalani dengan sukacita, sebab kebahagiaan pun bisa menjadi bentuk keabadian.
Lalu aku menatap lebih jauh ke laut lepas. Ombak datang silih berganti, tanpa lelah, tanpa henti. Di balik gerakannya, aku membaca pesan: keabadian adalah kesetiaan untuk terus hadir, meski bentuknya selalu berubah. Ombak tidak pernah sama, namun ia selalu kembali. Begitu pula manusia, meski tubuhnya pergi, nilai dan maknanya tetap kembali dalam ingatan mereka yang mencintainya.
Aku berhenti lagi, kali ini lebih lama. Aku menutup mata, membiarkan suara laut berbicara dalam sunyi. Dalam keheningan itu, aku mendengar bisikan halus: “Segala yang kau lihat hanyalah pinjaman. Bahkan jejakmu sendiri tidak kau miliki. Yang benar-benar milikmu hanyalah cinta dan amal yang kau tinggalkan.”
Ketika malam mulai turun, langit berganti warna, dari jingga ke ungu, lalu menjadi kelam dengan bintang-bintang bertebaran. Pasir kini dingin, dan jejakku benar-benar telah hilang. Namun anehnya, aku tidak merasa kehilangan. Karena aku tahu, jejak itu tidak benar-benar hilang, melainkan berpindah ke dalam diriku sebagai pelajaran.
Aku tersenyum, karena akhirnya aku mengerti. Hidup bukan tentang mengukir jejak agar abadi di tanah, melainkan menorehkan makna agar abadi di hati. Tubuh boleh sirna, langkah boleh hilang, tetapi kasih akan tetap hidup. Demikianlah rahasia antara sementara dan keabadian.
Aku pun melangkah pulang, membiarkan Pantai Bira kembali pada kesunyiannya. Laut tetap bergemuruh, angin tetap berhembus, dan malam tetap bernaung di atasnya. Aku meninggalkan pantai dengan hati yang lebih ringan, sebab aku tahu: jejak kakiku mungkin hilang, tetapi pantai, laut, dan langit telah menyimpannya dalam cara mereka sendiri.
Refleksi Penutup
Dari jejak kaki di pasir pantai, kita belajar bahwa kehidupan hanyalah persinggahan sejenak. Segala yang tampak akan hilang, sebagaimana ombak menghapus langkah kita. Namun kebaikan, cinta, dan doa yang kita titipkan tidak pernah musnah. Manusia tidak diingat karena berapa lama ia berjalan, melainkan karena jejak kebaikan yang ia tinggalkan dalam hati orang lain.
Ketika semua jejak telah sirna, hanya kasih dan amal yang akan tetap bercahaya, menjadi penuntun menuju keabadian sejati. [HTB]