Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sejak Juli. PP tersebut merupakan aturan Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023. Salah satu poin yang diatur dalam PP itu adalah penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja. Aturan ini sempat mendapat pro dan kontra dari masyarakat. Banyak yang mendukung aturan ini efektif mencegah kehamilan dini dan kehamilan tak disengaja. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa aturan PP Kesehatan yang baru ini mendukung seks bebas.
Sebelum membahas lebih lanjut, ada baiknya kita runut dulu pasal demi pasal terkait sebagai berikut.
Pasal 101
(1) Upaya Kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf a meliputi:
a. Kesehatan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah;
b. Kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja;
c. Kesehatan sistem reproduksi dewasa;
d. Kesehatan sistem reproduksi calon pengantin; dan
e. Kesehatan sistem reproduksi lanjut usia.
(2) Upaya Kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pencegahan dan pelindungan organ dan fungsi reproduksi agar terbebas dari gangguan, penyakit, atau kedisabilitasan. (3) Upaya Kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan hal spesifik dan tahapan perkembangan pada masing-masing sistem reproduksi perempuan dan laki-laki.
Pasal 103
(1) Upaya Kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf b paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta Pelayanan Kesehatan reproduksi.
(2) Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mengenai:
a. sistem, fungsi, dan proses reproduksi;
b. menjaga Kesehatan reproduksi;
c. perilaku seksual berisiko dan akibatnya;
d. keluarga berencana;
e. melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual; dan
f. pemilihan media hiburan sesuai usia anak.
(3) Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan melalui bahan ajar atau kegiatan belajar mengajar di sekolah dan kegiatan lain di luar sekolah.
(4) Pelayanan Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. deteksi dini penyakit atau skrining;
b. pengobatan;
c. rehabilitasi;
d. konseling; dan
e. penyediaan alat kontrasepsi.
(5) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d dilaksanakan dengan memperhatikan privasi dan kerahasiaan, serta dilakukan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, konselor, dan/atau konselor sebaya yang memiliki kompetensi sesuai dengan kewenangannya.
Penulis melihat bahwa isi PP Nomor 28 Tahun 2024 ini sangat panjang. Terdiri atas 13 bab dan 1172 pasal, tentunya proses pembuatan PP ini sangatlah berat. Dengan munculnya kontroversi tentang Pasal 103 Ayat (4) huruf e, rasa ingin tahu menggerakkan penulis untuk membuka bagian penjelasan atas PP tersebut. Alangkah terkejutnya penulis ketika di bagian penjelasan tersebut dicantumkan bahwa Pasal 103 Ayat (4) huruf e “cukup jelas”.
What? Cukup jelas gemana maksud lo? Justru ketika dinyatakan “cukup jelas” atau dengan kata lain “tanpa ada penjelasan apa pun”, inilah yang membuat Pasal 103 Ayat (4) huruf e menjadi multitafsir.
Penyediaan alat kontrasepsi dalam teori kesehatan
Penyediaan alat kontrasepsi dalam upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja, sebagaimana tercantum dalam Pasal 103 Ayat (4) huruf e, memainkan peran yang sangat penting.
Remaja dan siswa usia sekolah berada pada tahap perkembangan di mana mereka mulai menjelajahi aspek seksualitas. Tanpa pengetahuan yang memadai dan akses ke kontrasepsi, mereka berisiko mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Penyediaan alat kontrasepsi membantu mengurangi risiko ini dan memberikan mereka kontrol lebih besar atas keputusan reproduksi mereka.
Alat kontrasepsi, terutama kondom, bukan hanya berfungsi untuk mencegah kehamilan tetapi juga sangat efektif dalam mengurangi risiko penularan PMS, termasuk HIV/AIDS. Edukasi dan akses ke kontrasepsi dapat membantu melindungi remaja dari risiko kesehatan yang serius.
Dengan menyediakan alat kontrasepsi, ini juga membuka ruang untuk memberikan edukasi yang lebih komprehensif tentang kesehatan reproduksi. Remaja dapat diajarkan tentang cara menggunakan alat kontrasepsi dengan benar, serta pentingnya perencanaan keluarga dan kesehatan seksual secara umum.
Memberikan akses ke alat kontrasepsi dapat mendorong remaja untuk lebih bertanggung jawab terhadap kesehatan reproduksi mereka. Ini juga dapat membantu mengurangi angka aborsi yang tidak aman dan komplikasi medis yang berkaitan dengan kehamilan yang tidak direncanakan.
Kehamilan pada usia remaja sering kali membawa dampak negatif yang signifikan, baik dari segi sosial maupun ekonomi. Penyediaan kontrasepsi sebagai bagian dari pelayanan kesehatan reproduksi membantu mengurangi beban ini, baik bagi remaja tersebut maupun bagi masyarakat secara keseluruhan.
Penyediaan alat kontrasepsi juga sejalan dengan hak asasi manusia dalam hal akses ke kesehatan reproduksi yang aman dan terjangkau. Ini merupakan bagian dari hak setiap individu untuk menentukan kapan dan berapa banyak anak yang mereka inginkan, sesuai dengan perencanaan keluarga yang mereka anggap sesuai.
Namun pada praktiknya, apakah penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja bisa “segampang” itu, terutama di Indonesia?
Masalah yang mungkin timbul
Penyediaan alat kontrasepsi dalam upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja yang disebutkan dalam Pasal 103 Ayat (4) huruf e tanpa penjelasan lebih lanjut dalam dokumen PP 28/2024 memang menimbulkan beberapa masalah dan kekhawatiran yang perlu ditangani dengan hati-hati.
Tanpa penjelasan yang “clear” mengenai konteks dan tujuan penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja, ada risiko kebingungan atau salah interpretasi baik dari pihak pelaksana (misalnya, tenaga kesehatan atau pendidik) maupun dari masyarakat luas. Ini bisa menyebabkan ketidakpastian dalam implementasi kebijakan tersebut. Kurangnya penjelasan bisa memicu spekulasi negatif dari masyarakat, yang mungkin menganggap bahwa kebijakan ini mendorong aktivitas seksual di kalangan remaja, daripada memahami niat aslinya yang mungkin untuk pencegahan kehamilan tidak diinginkan dan perlindungan terhadap PMS.
Penyediaan alat kontrasepsi untuk remaja adalah isu yang sangat sensitif dan memerlukan panduan yang jelas tentang bagaimana, kapan, dan kepada siapa alat tersebut harus diberikan. Tanpa panduan yang memadai, pelaksanaan di lapangan bisa tidak konsisten atau bahkan kontraproduktif. Penjelasan lebih lanjut seharusnya melibatkan stakeholder, seperti tenaga kesehatan, pendidik, dan orang tua, untuk memastikan bahwa penyediaan kontrasepsi disertai dengan edukasi yang memadai dan dilakukan dengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama masyarakat setempat.
Dalam konteks budaya dan agama tertentu, penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja bisa menjadi isu yang kontroversial. Tanpa penjelasan, kebijakan ini bisa dianggap bertentangan dengan norma-norma moral yang dianut oleh sebagian masyarakat, yang bisa menimbulkan resistensi atau penolakan. Penting untuk menyeimbangkan antara kebutuhan kesehatan reproduksi remaja dan sensitivitas nilai-nilai moral dan budaya. Penjelasan lebih lanjut dalam PP tersebut bisa membantu menjelaskan bahwa penyediaan alat kontrasepsi bukanlah untuk mendorong aktivitas seksual, melainkan sebagai upaya pencegahan terhadap risiko kesehatan yang serius.
Penyediaan alat kontrasepsi harus selalu disertai dengan edukasi yang komprehensif mengenai seksualitas, kesehatan reproduksi, dan risiko yang terlibat dalam aktivitas seksual dini. Tanpa edukasi ini, alat kontrasepsi bisa disalahgunakan atau tidak dimanfaatkan secara benar. Remaja yang diberi akses ke alat kontrasepsi juga harus mendapatkan dukungan psikososial, termasuk konseling, agar mereka dapat membuat keputusan yang tepat dan memahami konsekuensi dari tindakan mereka.
Pada kondisi tertentu, tidak tertutup kemungkinan untuk revisi PP 28/2024 atau setidaknya penerbitan panduan teknis yang memperjelas tujuan dan metode penyediaan alat kontrasepsi untuk remaja. Panduan ini bisa mencakup kriteria pemberian, penjelasan mengenai prosedur, dan hubungan dengan edukasi kesehatan reproduksi. Pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi dan diskusi publik tentang kebijakan ini, untuk memastikan pemahaman yang lebih baik dan menerima umpan balik dari berbagai pihak terkait.
Hanya copas?
Ada kemungkinan bahwa Pasal 103 Ayat (4) huruf e, yang menyebutkan penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja, mungkin diadopsi atau terinspirasi dari regulasi di luar negeri. Hal ini bisa terjadi dalam proses penyusunan peraturan, di mana pembuat kebijakan mungkin mencari contoh dari negara lain yang telah menerapkan kebijakan serupa sebagai referensi.
Dalam penyusunan regulasi, sering kali tim perumus hukum akan melihat praktik-praktik terbaik (best practices) dari negara lain, terutama dalam bidang kesehatan publik, termasuk kesehatan reproduksi. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diadopsi berdasarkan bukti dan telah terbukti efektif di tempat lain.
Sebagai contoh, beberapa negara, terutama di Eropa dan Amerika Utara, memiliki kebijakan yang progresif dalam hal kesehatan reproduksi, termasuk penyediaan kontrasepsi untuk remaja. Jika Indonesia mengadopsi bagian dari regulasi tersebut tanpa penyesuaian, ini bisa menimbulkan ketidaksesuaian dengan norma dan nilai yang ada di Indonesia. Adaptasi dari kebijakan luar negeri harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Perlu ada analisis mendalam untuk memastikan bahwa elemen yang diadopsi sesuai dengan konteks dan kebutuhan lokal, serta ada mekanisme untuk mengatasi potensi dampak negatif.
Jadi, meskipun suatu kebijakan mungkin terinspirasi dari regulasi di luar negeri, biasanya ada penyesuaian yang dilakukan agar sesuai dengan konteks lokal, termasuk budaya, nilai-nilai, dan kebutuhan masyarakat. Jika ada indikasi bahwa penyesuaian ini kurang diperhatikan, maka ada kemungkinan bahwa bagian dari regulasi tersebut kurang relevan atau bahkan kontroversial di konteks lokal.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, ketiadaan penjelasan lebih lanjut mengenai penyediaan alat kontrasepsi ini bisa menunjukkan bahwa pasal tersebut mungkin diambil dari sumber lain tanpa pertimbangan mendalam mengenai penerapannya di Indonesia. Jika pasal ini diadopsi dari regulasi luar negeri, dan konteks sosial-budaya atau etika di negara asal sangat berbeda dari Indonesia, maka bisa jadi perumusan kebijakan ini tidak sepenuhnya mempertimbangkan norma dan nilai lokal, yang dapat menimbulkan resistensi.
Jika proses legislasi kurang transparan atau tidak melibatkan konsultasi publik yang luas, maka ada kemungkinan bahwa pasal-pasal tertentu bisa saja diadopsi secara langsung tanpa penyesuaian yang memadai. Hal ini bisa menyebabkan kebijakan yang dihasilkan tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat setempat.
Pemerintah yang responsif biasanya akan membuka ruang untuk revisi atau klarifikasi jika suatu pasal dianggap kontroversial atau tidak jelas. Jika ada kekhawatiran bahwa pasal ini merupakan hasil “copy-paste,” maka dorongan untuk revisi atau penjelasan lebih lanjut seharusnya dapat diajukan melalui mekanisme yang tersedia.
Remaja menjelajahi aspek seksualitas
Mengupayakan agar remaja dan siswa usia sekolah tidak melakukan aktivitas seksual di luar nikah merupakan tantangan yang kompleks, memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan pendidikan, dukungan dari keluarga, dan peran aktif komunitas.
Remaja dan siswa usia sekolah perlu mendapatkan pendidikan seksual yang komprehensif sejak dini yang mencakup pengetahuan tentang anatomi, fungsi tubuh, reproduksi, dan risiko yang terkait dengan aktivitas seksual. Pendidikan ini harus disesuaikan dengan usia dan disampaikan secara bertahap. Selain pengetahuan teknis, pendidikan seksual harus mengajarkan nilai-nilai, moral, dan etika tentang pentingnya menunda hubungan seksual sampai menikah, serta konsekuensi emosional dan sosial dari aktivitas seksual dini. Remaja pun harus dibekali dengan keterampilan untuk mengambil keputusan yang tepat, mengatasi tekanan teman sebaya, dan menolak aktivitas seksual yang tidak diinginkan.
Kita perlu mendorong dialog terbuka antara orang tua dan anak-anak tentang seksualitas, hubungan, dan nilai-nilai keluarga. Orang tua perlu menjadi sumber informasi yang terpercaya dan mendukung anak-anak mereka dalam memahami perubahan yang mereka alami selama masa pubertas. Orang tua dapat menanamkan nilai-nilai moral yang kuat, menjelaskan mengapa menunggu hingga pernikahan untuk berhubungan seksual merupakan pilihan yang bijaksana, dan bagaimana hal ini sesuai dengan keyakinan budaya atau agama keluarga.
Sekolah dapat menerapkan program pendidikan yang berbasis karakter, yang mengajarkan tanggung jawab, respek, dan pengendalian diri. Program ini dapat mengintegrasikan pendidikan seksual dengan fokus pada pentingnya menghormati diri sendiri dan orang lain. Menyediakan layanan konseling di sekolah pun memungkinkan siswa untuk berbicara tentang masalah yang mereka hadapi terkait dengan seksualitas, hubungan, atau tekanan sosial. Konselor dapat membantu siswa mengembangkan strategi untuk menolak aktivitas seksual di luar nikah.
Mengadakan kampanye yang melibatkan tokoh masyarakat, organisasi agama, dan LSM untuk mempromosikan pentingnya menunda hubungan seksual sampai menikah juga penting. Kampanye ini dapat menggunakan media sosial, seminar, dan lokakarya untuk menjangkau remaja. Menyediakan alternatif yang sehat dan positif untuk mengisi waktu luang remaja, seperti kegiatan ekstrakurikuler, olahraga, seni, dan sukarelawan akan membantu mengurangi kesempatan dan keinginan untuk terlibat dalam aktivitas seksual di luar nikah.
Pendidikan agama yang kuat dapat menjadi landasan bagi remaja dalam memahami pentingnya menjaga diri dari aktivitas seksual di luar nikah. Nilai-nilai agama yang diajarkan secara konsisten dapat memperkuat keyakinan mereka untuk menunggu hingga pernikahan. Lembaga keagamaan pun dapat berperan penting dalam memberikan bimbingan dan dukungan kepada remaja, mengadakan kegiatan yang mempromosikan kehidupan yang sehat dan sesuai dengan ajaran agama.
Menggunakan platform media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan positif tentang pentingnya menunggu hingga menikah untuk berhubungan seksual, serta menawarkan saran dan dukungan bagi remaja yang mungkin merasa tertekan untuk melakukan aktivitas seksual juga perlu diprioritaskan. Pengembangan aplikasi atau program digital yang memberikan informasi yang benar dan mendukung keputusan sehat dalam hal seksualitas, dengan menekankan aspek-aspek positif dari menunda hubungan seksual tentu akan sangat bermanfaat.
Program yang fokus pada pengembangan kepercayaan diri dan kemandirian dapat membantu remaja untuk memahami nilai diri mereka dan merasa mampu membuat keputusan yang tepat mengenai tubuh dan kehidupan mereka. Termasuk di dalamnya mengajarkan apa yang dimaksud dengan hubungan yang sehat dan tidak sehat, bagaimana mengenali tanda-tanda hubungan yang penuh tekanan atau beracun, serta bagaimana menetapkan batasan yang sehat dalam hubungan.
Nah, kalau semua jelas kan enak? []