Oleh : Tammasse Balla
Aku sedang berdiri di tepi waktu, di mana angin membawa kabar tentang mereka yang telah mendaki puncak-puncak tinggi bernama gelar dan jabatan. Mereka, teman seperjalanan dalam usia dan jejak. Ada yang kini sudah menyandang Profesor, ada yang mendapat sanjungan setinggi langit, dan aku menatap pantulan bayangku di jendela pagi dan berbisik, “Aku juga unik.” Bukan karena gelar yang menempel di pundak, tetapi karena luka-luka jiwa yang telah kusembuhkan tanpa suara.
Jangan tanyakan mengapa jalanku tak sama, sebab takdir adalah hujan yang turun pada waktu yang berbeda di ladang yang berbeda. Aku menyirami tanahku dengan kerja sunyi, dengan doa yang tak putus, dengan cinta yang mengakar dalam diam. Bunga yang tumbuh darinya mungkin belum dipajang di taman kehormatan, tapi harum dan warnanya telah menghidupi taman-taman kecil di hati orang lain. Jangan bandingkan aku dengan mereka. Tiap orang ada keunikannya tersendiri.
Aku tidak iri, karena kutahu—matahari dan bulan pun tak pernah saling bertanya mengapa mereka terbit dan tenggelam pada waktu yang berlainan. Tak ada dalam kamus hidupku kata /minder/, karena burung pipit pun tak berkecil hati saat melihat garuda mengepakkan sayap. Aku punya langit sendiri, tempat belajar terbang dengan cara yang tak tercatat dalam buku prestasi.
Ibaratnya aku adalah kapal kecil yang tetap berlayar meski badai tak berhenti menguji kemudiku. Aku tak bersandar di pelabuhan yang ramai, tapi menepi di dermaga hati manusia—yang kubahagiakan, yang kuberi waktu, yang kuberi ilmu dan harap. Bukankah itu juga kehebatan? Bukankah menjadi cahaya bagi satu jiwa yang nyaris padam, adalah prestasi yang tak bisa diukur dengan angka?
Tentu manusiawilah jika pernah jatuh, tapi tanah tak pernah mempermalukanku. Ia justru menyambutku sebagai tamu, menguatkanku agar kelak, langkahku lebih kuat. Aku pernah lambat, tapi waktu tak pernah mencemoohku. Ia justru menemaniku dalam kesabaran, menunjukkan bahwa keindahan bukan milik mereka yang tergesa-gesa. Aku belajar bahwa syukur adalah lensa terbaik untuk melihat pencapaian sendiri tanpa harus memudarkan cahaya orang lain.
Hidupku adalah buku yang tak setiap babnya harus diteriakkan. Ada bab-bab yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang mengerti bahasa kesetiaan, bahasa perjuangan yang sunyi. Pada lembar itu, aku menulis dengan tinta sabar dan pena keteguhan: aku juga hebat, hanya saja versiku tak selalu harus dirayakan ramai-ramai.
Maka hari ini, saat kulihat mereka yang telah lebih dahulu sampai di puncak, tidak sedikit pun kurasa sedih. Aku justru mengangkat wajahku pada langit dan berkata: “Terima kasih, Tuhan, Engkau telah menjadikanku unik, tidak serupa, tapi istimewa.” Dalam diamku dan dalam jalanku yang tertatih-tatih, aku juga sedang menulis kisah hebat—kisah seorang anak manusia yang tidak pernah menyerah menjadi dirinya sendiri.
——————————————-/
Makassar, 16 April 2025 M./17 Syawal 1446 H.
Pk. 22.23 WITA
( ……. dalan perjalanan menuju Polman, mengunjungi si Bungsu yang sementara menjalani Stase Bedah di RSUD Polman)