https://www.liputan6.com/news/read/726600/pemerhati-hewan-dukung-jakarta-bebas-topeng-monyet

Oleh: Sumardi, S.E., Ak., M.Si., CA.*

Pada umumnya topeng adalah penutup muka biasanya dibuat dari kayu, kertas, dan sebagainya. Topeng dibuat menyerupai muka orang, binatang, dan sebagainya. Topeng dapat didefiniskan sebaga kepura-puraan untuk menutupi maksud sebenarnya, atau sebagai kedok belaka. Tidak aneh jika dalam dunia kriminal para pelaku seperti begal, pencuri, dan perampok seringkali menggunakan topeng sebagai sarana untuk mengelabuhi korban atau pihak lain agar tidak diketahui siapa sesungguhnya orang yang bersangkutan. Pihak polisi akan kesulitan dalam mengungkap fakta yang sebenarnya.

Adapun evaluasi kinerja merupakan tahapan yang biasa dilakukan dalam dunia bisnis atau birokrasi untuk memastikan tercapainya target kinerja, baik secara individu maupun dalam level organisasi. Target kinerja bisa berupa target harian, mingguan, bulanan, triwulanan, semester, bahkan tahunan. Dalam manajemen kinerja, paling tidak terdiri atas perencanaan kinerja, telaah dan diskusi kinerja reguler, evaluasi kinerja, dan tindakan koreksi serta penyesuaian. Evaluasi kinerja merupakan segmen penting dalam manajemen kinerja karyawan atau pegawai untuk mendorong pegawai agar dapat memenuhi target yang telah diperjanjikan dengan masing-masing atasannya. Dalam tahap tersebut, individu pegawai dapat mengemukakan problematika yang dihadapi dalam memenuhi target kinerja, sekaligus memperoleh feedback berupa langkah apa yang semestinya dilakukan oleh pegawai untuk mengatasi hambatan yang dihadapinya.

Dalam ulasan artikel ini sengaja diangkat judul di atas, semata-mata untuk menggambarkan kepada pembaca budiman bahwa evaluasi kinerja pun dapat disalahgunakan oleh oknum pejabat tertentu untuk menzalimi atau menyingkirkan pegawai bawahannya. Dengan kata lain, evaluasi kinerja dapat digunakan sebagai topeng atau kedok oleh pihak-pihak tertentu untuk menjatuhkan pihak lain yang tidak disukainya. Tulisan ini mencoba mengulas praktik evaluasi kinerja di lingkungan birokrasi, khususnya di pemerintah daerah.

Umumnya ketika gubernur, bupati dan wali kota yang sudah tidak lagi menyukai sekretaris daerah, staf ahli, asisten, kepala dinas/kepala badan/kepala kantor, dan inspektur, menggunakan evaluasi kinerja sebagai “senjata pamungkas” untuk melengserkan si pejabat tersebut. Sebagai contoh nyata di lapangan adalah sebuah kejadian di pemerintah kota X (maaf tidak bisa disebutkan). Pada akhir tahun, sang wali kota telah selesai menilai Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) Tahun 2020 untuk sekretaris daerah (sekda) dengan nilai total 84,92 kategori Baik. Secara faktual capaian kinerja sekda ini baik. Semua tugas-tugas terkait dengan perencanaan, penganggaran, koordinasi antar Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), hubungan dengan forum komunikasi pimpinan daerah (Forkompimda) terjalin bagus, hubungan dengan masyarakat serta instansi pusat juga tidak kalah bagusnya. Namun, prestasi kinerja sekda yang bagus ini tetap saja tidak dianggap bagus di mata sang wali kota selaku atasannya.

Setelah dikonfirmasi ke sana kemari, ketemulah penyebabnya, yaitu wali kota ternyata terbawa perasaan (baper) dan mulai mencurigai bahwa sekda akan mencalonkan diri sebagai calon wali kota atau sebagai rivalnya nanti dalam pilkada Tahun 2024. Dalam bahasa yang lebih spesifik, sang wali kota menganggap jika sekda ini tetap menjabat, maka akan menjadi batu sandungan atau minimal kerja-kerja konsolidasi yang akan dilakukannya akan terhambat mengingat masa jabatannya hanya tersisa satu tahun saja, yaitu berakhir di Agustus 2022.

Setelah berpikir cukup lama, maka ditempuhlah cara untuk menjatuhkan sekda tersebut dengan melakukan evaluasi kinerja. Karena kedudukan sekda sebagai Pejabat yang Berwenang (Pyb) sekaligus pejabat ASN tertinggi di pemerintah kota itu, maka tim evaluasi Kinerja berjumlah tiga orang diambil dua dari pemerintah provinsi dan satu orang dosen dari perguruan tinggi ternama di kota provinsi tersebut. Metodologi evaluasi kinerja mengadopsi model evaluasi 360 derajat dengan melakukan wawancara terhadap kurang lebih lima belas orang yang telah ditunjuk sang wali kota yang terdiri dari atasan, bawahan, dan pejabat setingkat atau peers sekda kota (namun menggunakan sekda yang telah purna tugas).

Dalam praktik evaluasi kinerja tersebut terlihat beberapa kejanggalan dan penyimpangan yang mengarah ke cacat hukum dan cacat substansi dalam pelaksanaannya. Pertama, dari sisi hukum model penilaian atau evaluasi kineja dengan pendekatan 360 derajat belum dikenal dalam masa penilaian kinerja Tahun 2020. Untuk masa penilaian kinerja tersebut masih menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS yang hanya mengenal penilaian oleh atasan saja. Penilaian model 360 derajat baru diberlakukan untuk penilaian kinerja Tahun 2021 dengan menggunakan dasar Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS.

Kedua, dengan tendensi akan menurunkan sekda ke jabatan yang lebih rendah, hal tersebut menyimpang dari ketentuan Pasal 10 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Berdasarkan regulasi tersebut, PNS yang dikenakan hukuman disiplin berat adalah yang capaian kinerjanya di bawah 25%. Pada sisi lain, sebagaimana informasi di atas, capaian kinerja sekda tersebut adalah 84,92. Maka keinginan sang wali kota untuk menurunkan sekda tersebut adalah sebuah pengingkaran nyata dari sebuah regulasi. Secara logika pun tidak masuk akal bagaimana seorang bawahan yang kinerjanya tidak diragukan lagi dengan nilai Baik, tetapi atasan memberi sanksi berat dengan menurunkan jabatannya ke eselon yang lebih rendah. Tentu saja hal ini aneh, bukan?

Ketiga, evaluasi kinerja secara regulasi dan spesifik diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pengisian JPT secara Terbuka dan Kompetitif di Lingkungan Instansi Pemerintah. Dalam ketentuan tersebut, evaluasi kinerja dilakukan terhadap Pimpinan Tinggi yang telah menjabat lima tahun untuk diperpanjang atau tidak diperpanjang oleh PPK. Pelaksanaan evaluasi kinerja dilakukan tiga bulan sebelum masa jabatannya berakhir. Pada sisi lain, sekda kota tersebut baru memangku tugas jabatannya dua tahun lebih tiga bulan. Lagi-lagi rencana wali kota ini menyimpang dari ketentuan perundang-undangan.

Keempat, keanggotaan tim evaluasi kadalah tiga orang, yaitu satu dari luar dan dua orang dari dalam instansi, sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pengisian JPT secara Terbuka dan Kompetitif di Lingkungan Instansi Pemerintah. Nah, praktik di atas realitasnya adalah menyerahkan evaluasi kinerja kepada semua anggotanya dari pihak luar. Lagi-lagi ini sebuah penyimpangan nyata terhadap ketentuan perundang-undangan. Bagaimana mungkin orang luar tahu seluk-beluk kinerja sekda tersenut secara rinci dan lengkap? Tentu mereka bukan malaikat, ya?

Kelima, dari sisi substansi melakukan wawancara terhadap bawahan dan atasan sekda untuk menjawab tentang kinerja sekda lalu dari hasil wawancara tersebut diberi nilai merupakan sebuah sikap dan tindakan gegabah. Metodologi yang diadopsi tersebut sangat rentan terjadi bias penilaian. Besar kemungkinan terjadi perbedaan nilai antara pihak yang diwawancarai dengan pewawancara (tim evaluasi kinerja). Pertanyaannya apakah hasil ini layak dijadikan sebagai dasar untuk menurunkan jabatan sekda tersebut?

Keenam, beberapa ASN yang diwawancarai oleh tim evaluasi kinerja adalah telah pensiun sebelum Tahun 2020, padahal masa evaluasi kinerja adalah Tahun 2020. Bagaimana mungkin seseorang yang telah pensiun ditanyakan mengenai kinerja sekda di tahun yang dia sendiri sudah tidak aktif lagi sebagai ASN. Kondisi yang terjadi adalah menceritakan masa lalu atau cerita dari orang lain dengan bumbu “katanya”, “menurut si anu dan si anu”, berdasarkan obrolan omong kosong di warung kopi, dan sebagainya.

Ketujuh, beberapa pihak yang diwawancarai bukan bawahan langsung, tetapi dua tingkat di bawahnya (pejabat Eselon III), bahkan staf biasa. Hal ini tentu dipertanyakan sejumlah pihak sampai sejauh mana ASN tersebut memahami tentang kinerja sekda tersebut. Sangat mungkin yang terjadi adalah pemberitaan yang sifatnya minor saja yang memang dikehendaki oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau Sang Kepala Daerah.

Kedelapan, penilaian evaluasi kinerja dalam kasus ini berbasis hasil wawancara. Namun demikian, terdapat hal lucu terjadi dimana salah satu anggota tim evaluasi kinerja tidak berada di tempat untuk beberapa interviewee tetapi memberikan nilai. Pertanyaannya apakah nilai tersebut hasil menerawang dari langit? Bahkan terdapat anggota tim evaluasi kinerja memberikan nilai 0 padahal secara gamblang interviewee menjelaskan dan menjawab pertanyaan dalam wawancara tersebut.

Kasus di atas hanyalah contoh realita yang terjadi di lapangan. Tidak semua pemerintah daerah membuat sebuah perlakuan seperti ini.

Delapan temuan kejanggalan di atas sudah cukup menjadi bukti bahwa dalam beberapa kasus Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) seringkali menggunakan evaluasi kinerja sebagai topeng untuk mendemosi/menurunkan Pejabat Pimpinan Tinggi yang tidak disukainya.

Melalui ulasan ini penulis ingin menyampaikan pesan kepada para ASN dan akademisi yang ditunjuk oleh PPK sebagai tim evaluasi kinerja hendaknya tetap memegang teguh prinsip sikap dan perilaku obyektif dan independen dalam melakukan tugasnya. Janganlah menjadi bagian dari pemakai topeng untuk menghancurkan karier orang lain. Walaupun honornya dibayar oleh PPK, tetapi tidak harus membela yang membayar. Belalah pihak yang benar.

Salam Reformasi!

*Penulis adalah pegawai BPKP dalam penugasan di Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) RI.



(Visited 73 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Sumardi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: