Kegagalan memang menyedihkan hati, melukai jiwa, mengacaukan pikiran, dan bisa mematahkan semangat hidup. Sejak tamat di bangku SMP, aku tidak bisa lagi melanjutkan sekolah karena ditinggal Ayah menghadap Ilahi. Seketika keluargaku mengalami keterbatasan ekonomi hingga akhirnya pernikahan dini pun menimpaku mengikuti kehendak orang tua.

Impian sejak dini untuk sekolah tinggi-tinggi seketika pupus ditelan keadaan. Walau berat hati aku berupaya “berdamai dengan keadaan” mengikuti hendak kemana arus membawaku. Aku seperti busa yang dihempaskan gelombang kehidupan.

Namun dibalik hempasan itu, aku berusaha tegar seperti batu karang menghadapi ganasnya gelombang kehidupan. Batinku selalu berbisik, “Jangan pernah lemah menghadapi gelombang kehidupan, karena setiap badai yang datang, ia akan pergi meninggalkan angin sepoi-sepoi menghantarkan perahumu berlabuh di pulau harapan”.

Hingga tiba waktunya aku melemparkan jangkar atau sauh penambat perahu kehidupanku. Aku harus berhenti mengikuti arus, dan menentukan sikap untuk menatap masa depanku. Bagiku ungkapan klasik “diam itu emas” nampaknya tidak berguna dalam situasi yang kuhadapi.

Sebulan aku diam rasanya bisa membuatku menjadi rongsokan besi berkarat. Aku tidak boleh diam, aku harus mencari jalan untuk bisa beranjak meninggalkan persimpangan itu, aku harus banyak bertanya untuk menyingkirkan keraguan.

Cukuplah keraguan dan kebimbangan selama ini merampas mimpi-mimpi indahku merebut cita-citaku.
Aku tidak boleh lagi seperti makanĀ buah simalakama. Dimakan ibu mati, tak dimakan ayah yang mati. Aku harus menentukan melangkah atau berhenti merenungi hidup.

Bismillah, aku melangkah ke depan dengan keyakinan bahwa, “Selama masih bernafas di Bumi selama itu pula ada harapan.” Sehebat apapun penderitaan aku tidak pernah ragukan kasih sayang Allah SWT. Alhamdulillah, aku berhasil keluar dari pusaran arus itu yang hampir saja meneggelamkanku.

Aku terus melangkah walau harus tertatih untuk menggapai secercah harapan yang mulai terbayang di pelupuk mata. Aku tidak ingin mundur lagi, aku harus melangkah walau sekelilingku tidak ada yang mendukung. Semua membenci langkahku, tetapi maaf, hatiku sudah memilih jalan sendiri.

Ternyata pilihanku menentukan sikap dari awal untuk keluar dari kungkungan dulu, mendapat justifikasi dari buku “21 Hukum Kesuksesan Sejati” yang mengatakan, “jangan pernah menunda untuk melangkah walaupun dibawah tumit ada duri sekalipun”.

Kalau aku tidak berani melangkah keluar dari pusaran arus itu, mungkin tidak bisa seperti sekarang, bisa melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan tinggi. Kemudian menjadi guru untuk menginspirasi masa depan anak-anak negeri

(Visited 65 times, 1 visits today)
3 thoughts on “Hatiku Sudah Memilih Jalannya Sendiri”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: