Oleh: Ruslan Ismail Mage

Sawerigading tidak hanya dikenal sebagai pangeran muda flamboyan rupawan yang gemar berburu cinta tak berbatas sampai ke alam arwah sekalipun, tetapi juga dikenal sebagai kapten kapal yang perkasa, petarung ulung tak terkalahkan, penjelajah tangguh tak gentar, dan perwira tinggi tak tertandingi. Bahkan, dikisahkan dia menjelajah sampai ke surga dan alam gaib.

Pada detik-detik terakhir keberangkatannya meninggalkan tanah kelahiran Luwu, We Tenriabeng mendatanginya dan memberi petunjuk sehelai rambut, sebuah gelang, dan cincin kepada Sawerigading. sebenarnya We Tenriabeng iba melihat kakaknya harus pergi meninggalkan tanah leluhur melalui perjalanan laut tak bertepi yang entah sampai kapan baru tiba di negeri Cina. Ia membayangkan kakaknya dalam gelap dihantam badai, digulung ombak raksasa. Matanya basah, hatinya remuk, jiwanya ingin berteriak. Ia pun berjanji lagi kepada kakaknya. Jika perkataannya tidak benar, ia bersedia menikah dengan Sawerigading.

Kak, jika rambut ini tidak sama panjang dengan rambut We Cudaiq, gelang dan cincin ini tidak cocok dengan pergelangan dan jarinya We Cudaiq, aku bersedia menikah dengan kakak,” kata We Tenriabeng dengan mata berkaca-kaca, tak mampu lagi menahan butiran-butiran bening yang tumpah ke bumi.

Dengan langkah gontai Sawerigading pun berjalan meninggalkan istana menuju perahu diikuti seluruh armadanya. Sang adik tidak tega melihat kepergian kakaknya. Kemudian, We Tenriabeng naik ke langit dan menikah dengan tunangannya di cakrawala yang bernama Remmang ri Langit.

Ketika sampai di bibir pantai Luwu, Sawerigading berlutut ke bumi bersumpah tak akan kembali lagi ke tanah kelahirannya dan menganggap kepergiannya sebagai bentuk pembuangan diri menebus segala sepak terjangnya yang mengharu biru kerajaan ayah bundanya.

Dikisahkan petualangan samudera armada Bugis ini memang tak menemukan raksasa buas Polifermus bermata satu, Raja Angin Eolus, penyihir cantik Sirse yang mengubah manusia menjadi babi. Imajinasi tentang hantu dan monster laut yang demikian lama memengaruhi kesadaran Barat, bukanlah imajinasi yang mudah ditemui dalam kesadaran Bugis.

Armada Bugis pimpinan Sawerigading di tengah hamparan gelombang bertemu hadangan lawan yang betul-betul dari manusia. Hadangan perompak silih berganti menyerangnya bertubi-tubi yang dihabiskan dalam tujuh kali pertempuran laut besar-besaran.

Dalam salah satu literatur disebutkan, lima belas hari setelah bertolak dari bibir pantai Luwuk, langsung dihadang perompak pertama pimpinan Banyayaq Paguling dari Maccapaiq (Majapahit). Banyayaq Paguling awalnya sempat melakukan perlawanan sengit. Namun, keperkasaan Sawerigading mampu memenggal kepala Paguling.

Pertempuran-pertempuran berikutnya yang tak kalah sengit datang lagi tujuh hari kemudian dari armada pimpinan La Tuppu Soloq To Apunge. Birunya laut diubah menjadi merah oleh darah dan kobaran api perahu perompak. Lagi-lagi Sawerigading dan armadanya berdiri kokoh di tengah hamparan mayat-mayat penyerangnya.

Hanya sembilan hari bernapas lega, malamnya kembali dihadang perompak pimpinan La Tuppu Gellang yang bertempur selama tiga malam. Gelapnya malam menjadi terang oleh kobaran api perahu perompak yang perlahan hilang ditelan laut.

Berhentikah serangan musuh sampai di situ? Ternyata tidak! Hanya tiga hari beristirahat, bertemu lagi kawanan bajak laut yang terkenal ganas pimpinan La Tenripulang. Namun, keganasan bajak laut ini musnah di tangan perkasa pangeran flamboyan yang sedang dimabuk cinta.

Sedemikian beratnya pertempuran keenam melawan armada La Tenriwinyiq, sampai akhirnya Sawerigading terpaksa minta bantuan kepada adik kembarnya. Namun, We Tenriabeng saat itu sudah terangkat naik ke langit, melewati guntur dan halilintar.

Sementara pertempuran ketujuh menghadapi armada Settia Bonga Lompeng Ri Jawa, yang sudah tiga tahun bertunangan dengan We Cudaiq yang hendak disunting Sawerigading. Ketangguhannya bertempur membuat armada Sawerigading berhasil menangkap Settia Bonga dan seluruh pengawalnya untuk dipulangkan ke negeri asalnya.

Kobaran api cinta yang membara dalam jiwa Sawerigading benar-benar mampu membumihanguskan semua musuh yang menghadangnya tanpa ampun. Setelah membabat habis musuh-musuhnya, tujuh hari kemudia armada Sawerigading sampai ke daratan negeri Cina. Perahunya yang terbuat dari kayu walerennge terbukti sangat kokoh menahan hantaman badai dan gelombang besar.

Apakah kobaran api cinta sang pangeran flamboyan perlahan akan padam setelah turun ke daratan Cina melanjutkan pengembaraannya mencari cinta We Cudaiq? Tunggu kelanjutan narasinya besok.

[Bersambung]

(Visited 51 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: