Aku merasa iba dan tidak tega kalau melihat ibu-ibu harus bekerja ke luar negeri, kasihan. Aku jadi teringat emak di kampung.

Sesulit apa pun keadaan ekonomi keluarga di kampung, aku dan saudara-saudaraku yang lain melarang emak untuk pergi ke mana-mana, dalam arti tidak merantau untuk bekerja, cukup di rumah saja.

Tapi entahlah, yang namanya keadaan dan kebutuhan setiap orang tidaklah semua sama. Banyak alasan yang tersembunyi kenapa mereka juga memilih menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW).

Kita tidak perlu tahu alasannya, intinya adalah mereka ingin mengubah nasib untuk menjadi yang lebih baik. Mengangkat derajat keluarga.

Seperti emak, emakku dulu juga pernah berniat untuk pergi merantau ke suatu kota, bekerja menjadi seorang pembantu. Tetapi, semua anak-anaknya dengan keras melarangnya.

“Pokoknya emak tidak boleh pergi kerja di mana pun!”

“Kalau emang emak bersikeras ingin pergi juga, lebih baik anak-anaknya yang pergi dari rumah!” ancam anak-anaknya emak.

Emak mengurungkan niatnya untuk pergi merantau. Anak emak banyak, sedangkan emak dan bapak hanyalah seorang buruh kasar di sawah dan ladang orang. Dalam hati emak, emak hanya ingin mencari rupiah demi mencukupi kebutuhan keluarga dan anak-anaknya. Sebenarnya emak juga tidak tega melihat anaknya harus hidup serba prihatin.

Emak memang bukan orang berpendidikan tinggi. Emak mengenyam pendidikan hanya sampai kelas tiga SD. Baca tulis emak sangat terbatas, hanya beberapa huruf dan beberapa kata saja yang emak bisa, itu pun hanya yang pendek dan tidak terlalu panjang.

Pikiranku menerawang jauh ke kampung, bayangan emak dengan wajah manisnya membuat kedua bola mataku menjadi basah. Melihat mereka, membuat hatiku semakin trenyuh saja. Ibu-ibu yang seharusnya di rumah, momong cucu dan dimanjakan oleh anak-anaknya.

Tetapi di sini, di asrama, mereka berjuang sekuat tenaga, belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa bekerja dan membahagiakan keluarga di kampung.

Gurunya tidak pandang bulu,tua muda, yang namanya belajar ya belajar. Tidak serius belajar ya dimarahin!

Pelajaran tidak nyantol-nyantol, sering-sering saja berdiri di depan kelas.

*

Ohhh koyo ngene toh ranase sekolah nek umure wis tuo,ibu-ibu PAUD tenan iki!

Saben dino sinau,esuk sinau,awan sinau,mbengi yo sinau,gaweane neg kene mung sinau wae,ora ono liyane!“canda Bu Ginem dengan logat bahasa jawanya.

“Yaaa ampyyuunnnn susah banget sih ngapalin ini kata. Perasaan aku masih muda, belum tua-tua amat!” Rasti, anak yang kemayu ikut menimpali.

“Apa kertasnya dibakar saja ya? terus abunya ditaruh di gelas, diisi air, terus diminum deh, ndak usah capek-capek ngapalin, kan itu tulisan dah masuk ke tubuh kita!”Seloroh Linda

“Iya, betulll itu! Bakar aja semua bukunya,dijamin selang beberapa menit kemudian, perutmu bakalan nyanyi- nyanyi dikamar mandi, wkkkkkk….!”jawabku.

“Kamu masih muda, baru lulus sekolah, pikiran masih jernih dan tidak banyak yang harus dipikirkan!”

“Kamu belum memikirkan anak dan kebutuhan hidup lainnya. Beda dengan kita, emak-emak berdaster!”Kata Bu Ginem lagi.

“Betul Bu Ginem, meskipun badan aku di sini, tetapi tetap saja pikiranku tidak lepas dari keluarga di kampung!”Bu Menik ikut menimpali.

Setelah selesai makan malam, biasanya aku bersama mereka mengadakan acara belajar bersama. Mengulang dan mempelajari kembali pelajaran tadi siang. Kalau ada kesulitan, kami selesaikan bersama. Kadang serius, kadang juga tertawa cekikikan.

Obrolan hanya sebagai selingan untuk menghilangkan kejenuhan. Terlalu serius belajar malah pusing dan pelajaran tidak ada yang masuk ke kepala. Setidaknya, candaan dan obrolan ringan membuat pikiran jadi lebih fresh, tidak begitu tegang. Hati pun terasa lebih lapang.

Saling curhat dan saling bercerita, entah itu tentang masalah keluarga, anak, pacar, ataupun rasa bosannya yang terlalu lama di asrama.

Kami sudah seperti keluarga sendiri. Pun kalau di antara kami ada yang sakit, tidak segan-segan kami saling bantu-membantu.

“Dah malam nih, dah jam sepuluh, sudah waktunya untuk bobo syantikkk. Besok kita sekolah. Nanti ngantuk lho di kelas. Tau sendiri kan gurunya galak-galak!” kataku menyudahi obrolan ini.

“Oke, oke….. bubarrrr… bubarrrrr….!!! ayo kita kembali ke tempat masing-masing!”

“Selamat bermimpi indah di pulau kapuk!” sahut salah satu dari mereka.

“Co dao!” (selamat tidur) jawabku.

Kita membereskan buku-buku yang berserakan di lantai. Bungkus makanan ringan yang sudah kosong kita ambil dan memasukkannya ke dalam tempat sampah. Aku ikut menyapu lantai, menyapu sisa-sisa makanan yang teringgal di lantai.

Sebenarnya maksud guru pengajar juga baik, tidak ada maksud untuk keras mengajari murid didiknya. Karena, kalau belum bisa bahasa, akan lama juga nanti di asrama. Tetapi itu juga bukan jaminan, tergantung nasib sih.

Kadang ada yang baru beberapa bulan belajar, eh ada majikan yang cocok, cusss….cepat juga berangkat ke negara tujuan kerja meskipun dari segi bahasa masih minim.

Ada juga yang setengah tahun belajar,sudah ada majikan tetapi belum lancar bahasa, itu pun belum bisa berangkat ke negara tujuan dikarenakan sang calon majikan menuntut si calon pekerjanya harus lancar dan setidaknya menguasai banyak bahasa tersebut.

Banyak dari mereka yang sudah berpengalaman bekerja di luar negeri, kemudian pulang kampung, ehhhhh kepengin balik lagi menjadi seorang tenaga kerja. Mungkin karena terbiasa hidup di rantau dengan penghasilan yang lumayan. Pulang ke kampung, tidak punya usaha dan dompet kian menipis sehingga terpaksa mereka memutuskan untuk pergi merantau lagi.

Kebanyakan dari mereka yang sudah berpengalaman kerja di luar negeri hanya numpang proses saja.Tinggal nunggu visa di kampung dan tidak harus bersusah-susah menunggu di asrama.

*
Pagi ini langit terlihat cerah. Suara bising kendaraan di depan balai latihan kerja sudah biasa terdengar. Suara klakson mobil bersahut-sahutan memecah konsentrasi belajar kami.

Di balai latihan kerja terdapat tiga lantai. Lantai bawah digunakan untuk belajar bahasa inggris dan belajar bahasa kantonis untuk pemula. Lantai kedua adalah kelas bahasa kantonis yang sudah naik tingkat, atau dalam arti lebih dalam dan lebih luas lagi cara belajarnya. Murid-muridnya pun sudah lebih banyak menguasai bahasa. Lantai ketiga adalah kelas untuk praktik.

Praktik memasak, praktek cara menghidangkan makanan, dan praktik menggunakan peralatan elektronik rumah tangga yang semuanya dilakukan dengan menggunakan bahasa Inggris dan Kantonis.

Jadi, apa yang dipelajari di kelas, biasanya seminggu sekali di hari yang berbeda tergantung guru kelas, kami didampingi guru mempraktikkannya di balai latihan kerja ini.

Di asrama juga ada jatah piket. Calon tenaga kerja yang sudah lama di asrama ataupun calon tenaga kerja yang baru, semua dapat giliran piket.

Semua penghuni asrama setiap harinya bertugas membersihkan sarana dan prasarana yang ada di kantor penyalur tenaga kerja. Mulai dari tempat tidur, kamar mandi, kantor, dapur, halaman, maupun balai latihan kerja atau BLK. Jatah piket semua di atur oleh ibu asrama, kecuali piket kantor dan piket dapur.

Dikelasku,dikelas bahasa kantonis,bagi murid yang sudah mulai lancar berbicara dengan menggunakan bahasa kantonis, biasanya sering dapat giliran jatah piket.Piket dapur dan piket kantor.

Biasanya yang berhak menentukan siapa saja yang piket kantor dan piket dapur adalah sang guru bahasa.

Aku yang paling senang kalau mendapat giliran piket dapur, meskipun bangun lebih pagi, masak seabrek-abrek untuk para penghuni asrama dan staf kantor, tetapi aku merasa senang, sering icip-icip makanan dan bisa duduk-duduk selonjoran setelah tugas di dapur selesai. Santaiiiii.

Berbeda dengan piket kantor, yang menurutku paling menyebalkan dan bikin hati menjadi tegang. Piket kantor berinteraksi dengan staf-staf kantor, kita harus sigap, siap lari sana-sini.

Berpenampilan wangi dan rapi, penampilan dari atas sampai bawah harus diperhatikan. Rambut berantakan harus terlihat rapi. Rambut tidak boleh panjang, rambut harus dipotong pendek, di atas bahu. Penampilan tidak boleh kumal dan tidak boleh punya bau badan yang berlebih.

Bagi mereka yang mempunyai masalah dengan bau badan yang berlebih, harus menggunakan bedak atau apa lah itu, yang penting untuk menghilangkan bau badan.

Berbeda dengan piket dapur, tiap hari bau acem, keringetan, karena kerjaannya di dapur, panas di depan kompor dengan ukuran yang gede dan wajan atau penggorengan yang gede pula.

Biasanya sang guru mengambil dua belas anak didiknya, kemudian dibagi menjadi dua, enam orang di piket kantor dan enam orang lagi piket dapur. Ini dilakukan secara bergiliran.

Bagi mereka, meskipun sudah bisa bahasa, tetapi visa kerjanya sudah turun, mereka tidak boleh piket di kantor ataupun piket di dapur. Justru lebih digembleng lagi bahasa dan ketrampilan lainnya.Tujuannya adalan untuk mempersiapkan mental dan kesiapan menuju tempatnya bekerja. []

(Visited 343 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Sarmini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.