Oleh Elvira’24

Langit di kota kecil itu mendung sejak malam sebelumnya, seakan memberi tanda akan datangnya hujan di Minggu Adven pertama. Ranes, seorang gadis muda yang selalu teratur dan siap menghadapi apa pun, sudah bangun sejak subuh. Dalam tas selempangnya, ia memastikan semua yang diperlukan ada: Alkitab kecil, buku doa, dan tentu saja payung lipat kesayangannya.

Di sisi lain, Rico, seorang pemuda pendiam yang sering menghabiskan waktu dengan merenung tentang hidupnya, sedang mempersiapkan diri menuju gereja yang sama. Ia jarang membawa payung karena lebih suka menantang hujan. Tapi hari ini, ada dorongan dalam hatinya untuk pergi lebih awal, meski awan gelap mulai menggantung.

Ketika mereka berdua berjalan di jalan kecil menuju gereja, hujan mulai turun perlahan, tetesan kecil menjadi deras dalam hitungan detik. Rico, yang tidak mempersiapkan apa-apa, terpaksa mencari tempat berteduh di bawah pohon besar. Namun, pohon itu tak cukup melindunginya dari derasnya hujan.

Dari kejauhan, Ranes melihat pemuda itu berdiri kebasahan. Dengan cepat, ia mengambil payung dari tasnya dan mendekati Rico. “Mari kita berbagi payung. Kita kan searah ke gereja,” ujar Ranes sambil tersenyum kecil, menahan rasa gugup.

Rico ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. “Terima kasih,” katanya singkat, menahan detak jantungnya yang tiba-tiba berdegup lebih kencang. Mereka berjalan berdampingan di bawah payung, melewati jalanan yang mulai tergenang.

Sepanjang perjalanan, tak banyak kata terucap. Ranes sibuk menenangkan hatinya, sementara Rico mencuri pandang ke arah Ranes, merasa hangat meski dinginnya hujan menyelimuti. Baginya, ini lebih dari sekadar kebetulan—ini seperti jawaban atas doa yang selama ini ia panjatkan.

Saat mereka tiba di gereja, lonceng mulai berbunyi, menandakan Misa akan segera dimulai. Ranes dan Rico masuk bersama, namun mereka memilih duduk di bangku berbeda. Di dalam gereja, hati Ranes bergejolak. Ia memandang patung Kristus di altar dan berbisik dalam doanya, “Tuhan, apa maksud dari pertemuan ini? Mengapa hati ini bergetar seperti ini?”

Sementara itu, Rico berdoa dengan penuh syukur. “Tuhan, aku tahu ini bukan kebetulan. Aku percaya Engkau yang mengatur semuanya. Jika dia memang orang yang Kau siapkan untukku, berikan keberanian untuk menyampaikan isi hatiku.”

Setelah misa selesai, Rico menghampiri Ranes yang sedang melipat payungnya. “Terima kasih sudah menolongku tadi,” ucapnya pelan, tapi ada ketegasan dalam suaranya.

Ranes tersenyum kecil. “Sama-sama. Itu bukan apa-apa.”
Namun, sebelum Ranes bisa berbalik pergi, Rico melanjutkan, “Ranes, aku ingin jujur. Sebenarnya, aku sudah lama menyimpan perasaan ini. Aku sering melihatmu di gereja, tapi aku tak pernah punya keberanian untuk mendekat. Dan hari ini, aku yakin Tuhan menjawab doaku melalui hujan dan payungmu.”

Mata Ranes melebar mendengar pengakuan itu. Hatinya berdebar lebih kencang. Ia ingin merespons, tapi lidahnya kelu. Rico tersenyum hangat, “Aku tak butuh jawaban sekarang. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku benar-benar bersyukur atas hari ini.”

Ranes mengangguk perlahan, merasa hangat oleh ketulusan Rico. Dalam hatinya, ia berbisik kepada Tuhan, “Jika ini kehendak-Mu, aku serahkan semuanya pada-Mu.”

(Bersambung ke part-2: Ketika Langit Mendung)

(Visited 25 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Elvira P. Ximenes

Elemen KPKers Dili TL, telah menyumbangkan puluhan tulisan berupa, artikel, cerpen, dan puisi ke BN, dengan motonya, "Mengukir makna dalam setiap kalimat, menghidupkan dunia dalam setiap paragraf", pingin jadi penulis mengikuti jejak para penulis senior lainnya di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.