Oleh: Ruslan Ismail Mage*
Ada dua ungkapan klasik yang akan terus mengalirkan energi dashyat dalam membangunkan kesadaran merawat kebhinnekaan bangsa ini. Pertama, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Hal ini mendapat pembenaran dari Winston Churchill seorang Perdana Menteri Britania Raya tahun 1940-1945 yang mengatakan, “Belajar sejarah, belajar sejarah, karena dalam sejarah terletak semua rahasia tata negara. Kedua, orang besar selalu belajar dan mengambil hikmah dari masa lalu. Senapas apa yang dikatakan oleh Luigi Pirandello penerima nobel sastra kelahiran Italia 1867, “Sejarah umat manusia adalah sejarah gagasan”. Senapas pernyataan sejarawan Italia kelahiran 1834, “Sejarah bukanlah beban ingatan melainkan penerang jiwa”.
Dua ungkapan bijak ini menyampaikan pesan, “Perjalanan hidup ini tidak bisa lepas dari tiga dimensi waktu, masa lalu, sekarang dan yang akan datang”. Itulah sebabnya bangsa Jepang selalu melakukan dua hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara warganya. Pertama, membangun beberapa museum megah untuk menyimpan segala data-data kebesaran masa lalu sebagai warisan tidak ternilai kepada generasi selanjutnya. Kedua, menghormati dan melestarikan budaya dan kebiasaan masa lalu untuk mempertahankan ciri khasnya sebagai bangsa berbudaya di tengah serbuan modernitas.
Terlalu banyak sumber inspirasi pada kejadian masa lalu yang sangat relevan didengungkan kembali dalam kondisi kain tenun kebangsaan yang sudah terkoyak-terkoyak. Terlebih setiap bangsa ini memasuki tahun politik pemilihan presiden. Tidak salah kalau ada yang menganalogikan, “Pasca reformasi, pelan-pelan bangsa ini terasa berdiri di atas cermin retak, sekali tersenggol bisa jatuh berkeping-keping rata dengan bumi”. Karena itu, sebelum nasi menjadi bubur, perlu kita merenungi kembali dua kisah inspiratif dalam sejarah berikut ini.
Guru Ngaji
Negara Sakura Jepang terkenal dengan tentara samurainya yang tak terkalahkan di masanya. Dari abad ke-13 hingga di ambang abad ke-20, para kesatria samurai memiliki pengaruh besar di Jepang. Disewa jasanya untuk menjadi salah satu “senjata” menegakkan kekuasaan. Bahkan pengaruhnya hampir melampaui sang Kaisar Jepang sendiri di masanya.
Namun suatu hal yang mengherankan sekaligus membuat orang Indonesia takjub. Mengherankan, karena kebesaran sejarah tokoh heroik pasukan samurai tidak ada patungnya diabadikan di halaman Kantor Markas Besar Tentara Jepang. Menakjubkan, karena di halaman depan dekat pintu gerbang Kantor Markas Besar Tentara Jepang, berdiri kokoh patung Panglima Besar Jenderal Soedirman berpakaian PETA (Pembela Tanah Air) sebagai cikal bakal TNI.
Tentu orang bertanya, kenapa justru patung Jenderal Soedirman diabadikan disitu? Tentu hanya pemerintah Jepang yang mengetahui alasan pastinya. Namun dari penelusuran sejarah, ditemukan alasan yang mungkin bisa diterima logika. Jepang kalah sama sekutu, sementara Panglima Besar Jenderal Soedirman menaklukkan sekutu. Sang Panglima Besar sangat legendaris, umur 28 tahun pangkat kolonel menghancur leburkan pasukan sekutu dalam Perang Ambarawa 24 Desember 1945.

Ketika Jepang datang, Soedirman muda yang waktu itu berprofesi sebagai guru agama direkrut untuk mengarahkan murid-muridnya dan diberi kepercayaan memimpin PETA dengan pangkat kolonel. Bersama tentara PETA Soedirman diminta mengawal tawanan-tawanan Belanda yang ditawan oleh Jepang dari Magelang ke Semarang. Namun, di tengah perjalanan tentara sekutu justru menyerang rakyat membabi buta.
Pasukan PETA kemudian menjebak tentara sekutu di pegunungan, dan menghabisi seluruh tentara sekutu dibawah pimpinan seorang guru ngaji bernama Soedirman. Sejarah ini menegaskan, betapa besar peran sekolah guru agama Muhammadiyah di Banjarnegara melahirkan seorang guru ngaji yang diabadikan keperkasaannya di Jepang.
Guru Madrasah
Pendiri kekaisaran Mongol Jengis Khan memiliki cucu bernama Hulagu yang merebut kota Bagdad dan menjarah seluruh isi kota dari bawah ke atas. Beberapa sumber mencatat korban ada 200.000 jiwa, sumber lain mengatakan 400.000 jiwa. Masjid di Bagdad yang sudah berdiri berabad lamanya, juga perpustakaan hampir semuanya dihancurkan pasukan Hulagu.
Penguasa zalim ini mendirikan markas besarnya di luar kota, lalu memberikan pengumuman ingin bertemu dengan ulama paling tinggi ilmunya di kota itu. Tentu saja tidak ada ulama yang berani menemui Hulagu yang terkenal bengis dan kejam. Namun akhirnya muncul juga seorang pemuda bernama Kadihan yang bahkan tidak memiliki jenggot.
Sang pemuda tersebut bersedia menjawab undangan Hulagu dengan sukarela. Menuju tempat pertemuan, Kadihan diperjalanan membawa seekor unta, seekor kambing, dan seekor ayam jantan. Setelah tiba di markas besar Hulagu, Hulagu memandangi pemuda ini dari ujung rambut sampai ujung kaki, sambil berkata hanya pemuda sepertimu yang menjawab undanganku?
Dengan tenang Kadihan menjawab,” Jika ingin bertemu yang lebih besar, di luar ada seekor unta. Jika ingin bertemu yang berjenggot, di luar ada seekor kambing. Jika ingin bertemu dengan yang suaranya nyaring, di luar ada seekor ayam jantan. Anda bisa bertemu apa dan siapa pun yang diinginkan”.
Mendengar itu Hulagu berpikir dan menyadari Kadihan ini bukan pemuda sembarangan. Lalu memberikan pertanyaan kepada Kadihan. Katakan padaku apa yang telah membawaku ke sini menaklukkan kota ini? Kadihan menjawab, perbuatan kamilah yang telah membuatmu ke sini, kami jarang bersyukur lagi atas nikmat Allah, dan saling bertentangan satu sama lainnya. Kami telah larut dalam kesenangan dunia, berfoya-foya, kami sibuk mengejar pangkat, jabatan, harta, dan kedudukan.
Hulagu kembali bertanya, lalu apa dan siapa yang bisa mengusirku pergi dari tempat ini? Kadihan yang ternyata seorang guru madrasah menjawab, “Jika kami kembali menyadari diri mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan, dan kami berhenti bertikai satu sama lain, maka anda tidak akan bisa bertahan di sini”.
Pesan dari guru madrasah di atas, sebagai anak-anak bangsa, “Marilah kita semua bersatu dalam perbedaan, bersama dalam keragaman. Hentikan saling bertikai satu sama lainnya, karena negeri ini terlalu indah dan kaya untuk dikhianati hanya karena rayuan Hulagu-Hulagu berbaju investasi. Karena sesungguhnya musuh negeri ini adalah puluhan bahkan ratusan Hulagu dari luar yang ingin merampas kekayaan alam ibu Pertiwi. Kita kuat dan tangguh kalau bersatu, sebagaimana guru ngaji yang diabadikan keperkasaannya di negeri Sakura Jepang itu.
*Akademisi, inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi dan politik.
Sangat menginspirasi