Oleh : Ruslan Ismail Mage
Kemunculan Anies Rasyid Baswedan di panggung demokrasi Indonesia, membuatku teringat dua hal. Pertama, mengingatkanku “Teori Politik Harapan” yang mengajarkan bahwa, “Sebesar apa pun masalah melanda bangsamu, walau akan melahirkan tragedi kemanusiaan sekali pun, jangan pernah kehilangan harapan, karena harapan adalah identitas kemanusiaan”.
Politik harapan ini penting dimaknai dan hidupkan kembali, karena beberapa tahun terakhir rakyat kecil nampaknya sudah mulai terkikis dan redup harapannya untuk bisa hidup lebih baik di tanah negerinya yang subur. Pengelolaan negara yang lebih mengedepankan sistem “Kakistocracy” yang ditandai dengan kepemimpinan yang tidak kompoten dan sarat penyimpangan integritas dan moralitas melalui politik transaksional, nepotisme, senioritas, kolusi, koneksi, konflik kepentingan, penyalahgunaan wewenang, dan korupsi yang merajalela membuat harapan hidup lebih baik di Indonesia terasa redup.
Melihat semua itu, seorang Buya Syafi’i Ma’arif yang menyikapi perilaku pemimpin yang seakan berlomba terkena operasi tangkap tangan karena terjerat kasus korupsi pernah mengatakan, “Andaikan agama tidak mengharamkan, sudah putus asa melihat kepemimpinan negeri ini”. Hampir bisa dipastikan Keresahan Buya Syafi’i Ma’arif ini mewakili keresahan sebagian besar rakyat Indonesia yang hanya mampu membisu tak berdaya melihat sebagian kecil orang berpesta pora berdansa di atas lantai ketimpangan yang semakin melebar.
Alhamdulillah kemunculan Anies di panggung demokrasi Indonesia, laksana telah menyalakan lilin-lilin harapan dalam jiwa anak-anak negeri. Dengan Rahmat-Nya dan Petunjuk-Nya, lilin-lilin itu akan terus menyala berproses menjadi matahari yang menyinari kehidupan bumi nusantara. Benih-benih semangat dan harapan yang masih tersisa di lahan jiwa anak negeri akibat dilanda “Kakistocracy” perlahan mulai tumbuh kembali di bawah tuntunan sang pembaharu.
Hal kedua yang kuingat dengan kemunculan Anies di panggung demokrasi Indonesia adalah “Hukum Pengaruh” yang disampaikan oleh John C. Maxwell dalam karya bukunya “The 21 Irrefutable LAWS OF LEADERSHIP” yang mengajarkan bahwa, “Ukuran sejati dari kepemimpinan adalah pengaruh, tidak lebih dan tidak kurang”. Colin Powell menjustifikasi, “Anda telah mencapai kesempurnaan sebagai seorang pemimpin, jika orang mengikuti ke mana-mana walaupun hanya karena ingin tahu”.
Kalau berdasarkan hukum pengaruh di atas, tidak bisa dipungkiri pengaruh Anies begitu besar melintasi batas-batas kota, daerah, bahkan negara, menerobos sekat-sekat suku dan agama. Pengaruhnya lintas batas ini secara alami menumbuhkan perasaan “Kolektivitas sosial” yang sama dalam hati rakyat. Sejenis perasaan yang memiliki nasib dan tanggungjawab serta nilai-nilai moral yang sama untuk bersatu dalam perbedaan bersama dalam keragaman, bergandengan tangan mendukung suara perubahan yang diusung Anies.
Meminjam istilah Rocky Gerung, “Anies adalah pengharum demokrasi Indonesia”. Saking harumnya, setiap kemunculannya di ruang-ruang publik orang berebutan mendekat menjabat tangannya bahkan memeluknya. Orang mengikutinya walau sekadar hanya ingin berfoto dengannya. Secara alami rakyat tulus ikhlas mendirikan relawan-relawan mendukungnya tanpa pamrih apa-apa. Inilah yang disebut hukum pengaruh.
Setiap orang punya alasan untuk mengikuti, mengagumi, atau mendukung Anies. Juga semua orang punya cara bagaimana memberi dukungan kemenangan kepada Anies. Sebagai akademisi, inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi dan politik, saya memilih cara mendukung dengan menulis buku berjudul “Sintesis Sang Pembaharu” seperti yang sekarang ada di tangan pembaca. Buku ini adalah buku motivasi kepemimpinan yang menjadikan kepemimpinan Anies sebagai obyek untuk menginspirasi seluruh anak-anak negeri.Tentu pembaca bertanya apa latar belakang buku ini diberi judul “Sintesis Sang Pembaharu”. Untuk menjawabnya, berikut deskripsinya.
Menurut Wikipedia, sintesis berasal dari bahasa Yunani yaitu syn = tambah dan thesis = posisi. Hal ini berarti “Suatu integrasi dari dua atau lebih elemen yang ada dalam menghasilkan suatu hasil baru”. Bisa juga diartikan sebagai komposisi atau kombinasi bagian-bagian atau elemen-elemen yang membentuk satu kesatuan. Dalam perspektif lain, sintesis merupakan kemampuan seseorang dalam mengaitkan dan menyatakan berbagai elemen dan unsur yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih menyeluruh.
Dari berbagai pengertian tentang sintesis seperti di atas, menggambarkan bahwa walaupun narasi berbeda tetapi intinya tetap sama, yaitu merujuk pada proses atau hasil pembentukan sesuatu melalui penggabungan atau penyatuan elemen yang berbeda. Secara umum, istilah sintesis dapat diterapkan dalam berbagai konteks, seperti dalam kimia, biologi, seni, musik, bahkan dalam konteks sosial budaya, dan lain-lain.
Dalam konteks kebangsaan, sintesis bisa merujuk pada Sumpah Pemuda. Berbagai jenis bahasa disatukan oleh bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bisa merujuk kepada Bhinneka Tunggal Ika. Berbagai suku, bahasa, agama, budaya, dan daerah disatukan dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks politik, bisa merujuk kepada sistem multi partai. Berbagai partai dengan visi misi masing-masing, ideologi berbeda, gagasan dan pikiran beragam, tetapi bisa menyatu dalam pemilu melahirkan putra terbaik menjadi presiden.
Dalam konteks personal, sintesis bisa merujuk kepada seorang Anies Rasyid Baswedan. Berbagai elemen di nusantara bisa disatukan. Tiga elemen partai politik (Nasdem, Demokrat, dan PKS) disatukan mengusungnya. Berbagai kelompok, aliran, suku dan agama melebur bersatu padu melahirkan sebuah gerakan perubahan. Bahkan dua kutub berlawanan bisa disatukan dengan fakta tidak sedikit orang pembencinya kini menyatu dalam barisan perubahan. Itulah “Sintesis Sang Pembaharu”.
Dalam konteks buku, sintesis bisa merujuk kepada buku motivasi kepemimpinan ini. Sebanyak 25 judul tulisan berkaitan dengan kepemimpinan Anies yang disusun secara sistematis berdasarkan alurnya menyatu menghasilkan sebuah karya buku. Oleh penerbit Elfatih Media Insani, berbagai ilustrasi gambar menyatu dalam buku ini untuk menambah bobot setiap narasi yang ditulis. Itulah “Sintesis Sang Pembaharu” dalam buku ini.
Menutup prakata buku ini, saya mengutip kata paling bijak, “Sebusuk-busuknya bangkai binatang pasti giginya masih putih”. Apa pun yang kita lihat, dengar, dan rasakan, marilah selalu mengapresiasi sisi positifnya. Menyadari tidak ada karya yang sempurna, berharap pembaca budiman bisa melihat sisi positif dari buku ini. Semoga Allah Swt, Maha Mengatur segalanya, menjadikan karya ini bermanfaat bagi setiap orang yang membaca dan menelaahnya. Karena hanya kepada-Nya saja kita memohon pertolongan.
Bumi Minangkabau, 1 Muharram 1445 H – 19 Juli 2023
Penulis
(Ruslan Ismail Mage)
Memang passs momen dan waktu utk mendokrak suara demi kemajuan masa depan bangsa