Sejak pensiun dari pangkat Kolonel Angkatan Darat, Sang Kumendan (biasa dipanggil oleh orang sekitar), tak banyak yang dilakukan. Kecuali, pergi ke masjid terdekat setiap Subuh untuk melaksanakan salat berjamaah, masjid itu bernama Mesjid Al Ghifari. Sesudah itu, menonton televisi di rumah untuk menyimak berbagai berita, dan selepas jam 10 hingga menjelang Zuhur, ia membuka-buka lagi buku bacaan kesukaannya, yaitu “Petualangan Doktor Karl May” menjelajahi Benua Amerika, dengan berbagai episodenya. Yang paling disukainya adalah episode “Winetau Kepala Suku Apache”.
Selepas salat Zuhur, Kumendan biasa istirahat (tidur) sekitar 1 s.d. 1.5 jam. Ia biasa terbangun lagi pada jam 14.00. Seperti biasa, setelah terbangun di jam tersebut, ia membaca buku-buku bernuansa agama Islam hingga menjelang waktu salat Asar. Ada buku tentang tasawuf, cerita 1001 sahabat Nabi Muhammad saw., atau membuka-buka buku Ihya Ulumudzin karangan Imam Besar Al Gazali. Terkadang ia baca pula karya pilihan yang ditulis orang nasrani – Kahlil Gibran “Sang Nabi”. Begitu teraturnya ia mengelola waktu yang masih dimilikinya setelah ia pensiun.
Setelah salat Asar berjamaah di masjid, ia usahakan untuk olahraga jalan sore hingga jam 16.00. Baru setelah itu ia pulang ke rumah untuk menikmati cemilan sederhana yang disiapkan oleh istrinya, yang setia mendampingi Kumendan. Cemilan rebusan singkong dan rebusan ketela pohon, sambil melihat berita sore melalui tayangan televisi.
Menjelang azan Magrib, sekitar jam 17.30. Ia meminta izin kepada istrinya, beranjak pergi ke masjid untuk melaksanakan salat Magrib berjamaah. Yang menurutnya, bertemu jamaah di masjid adalah suatu hiburan, karena bisa mengobrol dan diskusi ringan tentang kehidupan. Kalau tidak ada keperluan, Kumendan biasa bertahan hingga datang waktu salat Isya. Baru setelah salat Isya ia pulang ke rumah, dengan mendapatkan sambutan yang sangat hangat dari istrinya yang salehah.
Kumendan, sangat menikmati hidup dalam kebersahajaannya, bersama istri yang salehah dan setia mendampinginya. Ia tidak merasa kesepian, meskipun anak-anaknya yang empat orang, dua laki-laki dan dua perempuan, sangat jarang berkirim kabar dengannya, karena semuanya sudah berkeluarga, dan pada hidup di daerah yang jauh dari tempat tinggalnya. Hanya setahun sekali Kumendan dapat berkumpul dengan anak dan cucu-cucunya (8 orang), ketika Hari Raya Lebaran. Itu pun kadang-kadang tidak komplit, karena ada anak dan cucunya yang berkumpul di rumah besannya yang berbeda daerah (kota).
Kehadiran anak-mantunya bersama cucu-cucunya yang tidak semuanya berkumpul di rumahnya, cukuplah menjadi pemuas rasa kangen seorang Bapa-Kake, berkumpul dengan keturunannya. Tak ada permintaan macam-macam kepada anak dan mantunya, kecuali berkirim kabar setiap ada kesempatan, dan menanyakan kondisi kesehatannya dan ibu-nenek anak dan cucunya. Karena ia merasakan, tegur sapa lewat handphone pun, sangat jarang dilakukan anak-anaknya. Anak-anaknya, baru menyahut lewat WA, kalau ia yang mendahului menyapa, itu pun sangat terbatas, dan jarang bertelepon.
Sang Kumendan, menganggap bahwa kondisi itu terjadi, karena anak-anak dan menantunya terlalu sibuk dengan pekerjaan di tempat kerjanya masing-masing. Karena Kumendan, mendidik anak-anaknya untuk tekun di dalam pekerjaan mereka selepas jadi sarjana. Ya sekarang, hasilnya anak-anaknya gila kerja, hasil dari pendidikan Kumendan. Namun demikian hidup Sang Kumendan cukup bahagia didampingi istrinya yang setia dan salehah, sehingga ia tidak merasa kesepian.
Belakangan ada tambahan kegiatan Sang Kumendan setiap selepas salat Asar di Masjid Al Ghifari, yaitu memberikan pelatihan “public speaking” kepada anak-anak muda yang biasa berjamaah bersamanya di Mesjid. Maklumlah ketika masih bertugas di Mabes TNI, Kumendan pernah menjabat sebagai Kepala Protokoler Mabes TNI, karena kemampuannya menjadi MC dan pemandu acara di setiap kegiatan yang diadakan oleh Mabes TNI. Tentu saja kemampuan bertutur di depan umum ini, dimanfaatkan oleh pemuda masjid setempat, untuk menerima curahan pengetahuan dan pengalamannya kepada mereka. Sang Kumendan pun sangat menikmati kegiatan tersebut. Apalagi para pemuda yang menjadi muridnya, memperlakukan Sang Kumendan seperti kepada bapaknya sendiri. Sang Kumendan sangat betah berlama-lama, hingga Magrib berkumpul dengan anak didiknya di masjid. Sehingga kadang ia lupa melakukan jalan sore. Sebagai gantinya, ia lakukan kegiatan jalan tersebut, selepas salat Subuh, sambil pulang ke rumah.
Kegiatan memberi pelatihan “public speaking” di masjid, membuat Sang Kumendan merasa ketika masih bertugas di Mabes TNI. Ada banyak yang didiskusikan dengan para muridnya, mulai dari performa tampil di muka umum, hingga mssalah pribadi para muridnya di dalam menata kehidupan. Maklumlah dengan pengalaman Sang Kumendan yang seabreg, pernah ditugaskan di berbagai tempat, membuat obrolan dengan Sang Kumendan tidak pernah kering. Pembawaan Sang Kumendan yang baik tutur bahasanya pun, membuat tidak bosan yang mendengarkan. Kosa kata kalian, tidak pernah terlontar dari mulutnya, kecuali sapaan Ananda, Si Ganteng, Si Cantik, atau paling umum kata Saudara.
Kebiasaan bertutur sapa yang sopan dan ramah itu, membuat para muridnya betah mendengarkan curahan ilmu dari Sang Kumendan, yang luas dengan hamparan pengalaman hidup, disertai pengetahuan yang mendalam, karena Sang Kumandan lulusan S2 “Public Speaking”. Mungkin karena latar belakang pendidikan dan akhlaknya yang baik itu, para orang tua di lingkungannya merasa tenang jika anak-anak mereka berkumpul dengan Sang Kumendan, apalagi dilakukannya di masjid.
Lima tahun setelah pensiun, tepatnya pada bulan Mei 2019. Istri Sang Kumendan mengikuti acara reunian teman sekolahnya ketika di SMA. Ia meminta izin Sang Kumendan untuk berkumpul bersama sahabat-sahabatnya ketika di SMA. Tentu saja Sang Kumendan mengizinkannya, ya sesekali meninggalkan Sang Suami yang sangat dihormati dan dicintainya. Betapa bersuka citanya istri Sang Kumendan, sepulang dari reunian tersebut. Itu tergambar dari cerita yang dibagikan kepada Sang Kumendan, yang diselingi dengan tertawa gembira di meja makan, sambil menikmati cemilan jajanan pasar yang dibawanya. Hari itu hari yang sangat menggembirakan istri Sang Kumendan.
Sehari setelah pertemuan temam SMA, istri Sang Kumendan mengalami batuk-batuk dan flu berat, disertai sesak napas. Sang Kumendan, segera mengajak istrinya ke rumah sakit terdekat. Di rumah sakit suasana agak berbeda dari biasanya, banyak perawat dan dokter yang memakai pakaian khusus karena demi kesiapan menangkal pandemi Covid-19. Sang Kumendan baru sadar, bahwa saat itu sedang berkecambah. dengan sangat liarnya Coronavirus. Tentu saja, Sang Kumendan sangat khawatir dengan kesehatan istrinya. Sebab Virus Covid bukan virus sembarangan, virus ini sangat mematikan.
Dengan tenang, Sang Kumendan berbicara kepada istrinya.
Ibu, insya Alloh bakal sembuh…
Ikuti saja petunjuk dokter ya, Bu?
Sang istri Kumendan, divonis tertular Covid-19, dan harus dirawat di ruang khusus yang steril, untuk menghindari penularan…
Betapa sedih Sang Kumendan, melihat belahan jiwanya terbaring lemas di ruang khusus untuk penderita Covid-19. Kalaulah diizinkan oleh Alloh, Ia ingin mengambil alih rasa sakit yang dirasakan istrinya yang tersengal-sengal dibantu alat pernapasan.
Sang Kumendan segera memberi tahu anak-anaknya. Keesokan harinya, untuk pertama kalinya seluruh anak-mantu dan cucu-cucunya berkumpul di rumahnya. Sang Kumendan berbahagia, tetapi juga sedih, karena Belahan Jiwanya tidak ada di sampingnya. Untuk pertama kali itulah, terlontar ajakan dari anak-anaknya, agar tinggal bersama meraka, keliling bergilir.
Mata Sang Komandan mulai terasa panas, mendengar ajakan dari anak-anaknya, air bening meleleh dari matanya yang keriput. Sang Kumendan tidak mengiyakan, juga tidak menolak, Ia hanya menjawab;
Nanti tunggu Ibumu sembuh…
Sekarang kita konsentrasi dengan doa untuk kesembuhan Ibumu…
Setelah sebulan dirawat, istri Sang Kumendan dinyatakan negatif Covid-19 dan diperbolehkan pulang. Dengan masih dibantu alat pernapasan yang tersambung ke tabung oksigen, istri Sang Kumendan pulang dengan gembira dan haru. Gembira karena ia dinyatakan sembuh dari penyakit yang mematikan. Terharu karena ia masih diberi kesempatan mendampingi dan mengurus suaminya, sebagai ladang untuk mendapatkan Surga Alloh jika ia dipanggilnya. Sepanjang perjalanan ke rumah, tak terhitung berapa ratus ucapan hamdalah ke luar dari hempasan napasnya.
Yang mengharukan Sang Kumendan, rupa-rupanya tanpa setahu Sang Kumendan, para Pemuda Masjid Al Ghifari sudah menyiapkan berbagai keperluan istri Kumendan di rumah, mulai tabung oksiken, kursi roda, hingga hanggar untuk menggantungkan inpusan di kamar Sang Kumendan dan istri. Tentu saja air bening menetes dari pelupuk mata istri Sang Kumendan. Begitu besar perhatian dan sayangnnya anak-anak didik suaminya.
Sekali lagi, anak-mantu dan cucu-cucunya sang Kumendan berkumpul, untuk menyambut kembalinya Sang Ibu ke rumah. Masing-masing mereka menawarkan untuk pindah bergabung dengan anak-mantunya. Sang Kumendan tidak menjawabnya, Ia melirik kepada Belahan Jiwanya untuk menjawab.
Anak-anakku, Ibu tahu kalian sangat menghawatirkan Ibu dan Bapakmu yang semakin tua ini…. Ibu dan Bapaknya bukannya menolak… Tapi lihat anak-anak didik bapaknya… yang sangat khawatir ditinggal oleh Bapakmu…. Jadi, Ibu dan Bapakmu, memilih tetap tinggal di rumah ini… Sering-seringlah berkabar lewat handphone kalian…. Insya Alloh Ibu dan Bapakmu baik-baik bersama anak-anak didik Bapakmu.
Sejak kejadian itu, secara bergilir dua hari sekali anak-mantu Sang Kumendan, selalu berkabar dengan Sang Kumendan dan Istrinya. Sering juga mereka berbincang lewat video call dengan keduanya.
Ternyata mereka sadar masih punya orang tua, hanya situasi dan kondisi kadang-kadang membatasi ruang gerak. Alloh mengetuk mereka lewat ujian sakit Sang Istri Kumendan. Sang Kumendan lebih memilih berkumpul dengan anak-anak didiknya, tidak dengan anak biologisnya.