Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Ozwald Boateng adalah salah satu penjahit kelas dunia. Jahitannya yang sangat rapi, membuatnya dipercaya oleh beberapa bintang untuk stelan manggung di pentas dunia, di antaranya Keanu Reeves, Jamie Foxx, dan juga Mick Jagger. Dari tangannya, Ozwald Boateng bisa menghasilkan jas terbaik hingga membuatnya memiliki gerai yang sangat terkenal di London, Savile Row. Untuk memiliki karyanya harus memiliki setumpuk dolar, apalagi kalau di rupiahkan pasti pencinta fesyen terkesima.

Namun, semahal-mahalnya harga jual karya Ozwald Boateng, pasti masih bisa ditakar jumlah nilai uang yang harus dikeluarkan konsumen untuk membelinya. Setinggi-tingginya nilai karya Ozwald Boateng, masih bisa dihitung berapa harganya.

Namun ada tukang jahit yang tinggal di salah satu sudut Kota Jakarta, yang hasil karyanya tidak bisa ditakar dengan sejumlah nilai mata uang apa pun. Saking tingginya nilai hasil karya-karyanya, bisa dipastikan semua jenis kalkulator tidak mampu menghitung digit angkanya. Di balik begitu tinggi nilai karyanya, ia hidup sederhana dan sangat dermawan yang tidak jarang membagikan gratis karyanya kepada pencinta sejarah peradaban.

Ada beberapa alasan yang membuat hasil jahitannya tidak ternilai harganya. Pertama, ada bahanya yang sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun lamanya. Kedua, semua jahitannya masih diproses secara manual dengan tangan terampilnya tanpa bantuan mesin, kecuali dalam hal-hal tertentu yang sama sekali tidak bisa dilakukan menggunakan tangan baru menggunakan alat bantu mesin. Ketiga, bekerja dengan hati untuk melahirkan karya-karya elegan dalam memuaskan batin sendiri, teristimewa batin penikmat karyanya. Karena itu, dari segi kualitas kerja tidak diragukan lagi. Keempat, karya-karyanya tidak diperjualbelikan lagi di toko-toko karena sering kali dijiplak atau diduplikasi orang lain untuk dijual bebas. Bahkan beberapa karyanya belum dikeluarkan sudah ada yang dijual online.

Tangan terampil dan kerja cerdasnya sudah melahirkan kurang lebih 1.000 karya yang tersebar di beberapa kota, bahkan melewati batas-batas negara, khususnya negara tetangga serumpung Malaysia. Dalam mengapresiasi karyanya saya selalu menggunakan tagline iklan yang familiar di ruang publik, “Kesan pertama menggoda, selanjutnya pasti jatuh cinta.” Ketelatenannya membuat tampilan karyanya begitu rapi, elegan, seksi, memesona, rapi, dipadu desain depan yang begitu aduhai membuat penikmat karyanya bisa jatuh cinta berkali-kali.

Tukang jahit termahal yang dimaksud dalam tulisan ini adalah “tukang jahit literasi”. Adalah seorang Yos Magek Bapayuang yang biasa disebut kopiah Teleng bisa membuka kesadaran penting dan mahalnya warisan literasi. Putra asli Minangkabau ini sudah menghabiskan waktunya 40 tahun terakhir untuk menulis dan menerbitkan buku. Kurang lebih 1.000 buku sudah diterbitkannya di bawah bendera Citra Harta Prima.

Saya membagi dua fase dalam sejarah perjalanan penerbitan bukunya. Fase pertama adalah era Orde Baru yang lebih fokus menulis dan menerbitkan buku kamus, hingga ia dikenal sebagai raja kamus. Hampir semua kamus sudah diterbitkannya. Fase kedua adalah pascareformasi. Pada fase kedua ini, sang kopiah Teleng ini lebih fokus menerbitkan buku-buku yang berkaitan dengan daerahnya Minangkabau.

Satu dasawarsa terakhir ini, ia selalu melakukan pengembaraan literatur tanpa batas mencari data-data sejarah berusia puluhan bahkan ratusan tahun lalu untuk dikontruksi ulang menjadi buku elegan sebagai warisan literasi kepada generasi muda Indonesia umumnya, Minangkabau khususnya. Data-data sejarah tentang Bumi Minangkabau yang sudah terlupakan kembali dibangkitkan melalui karya-karya buku untuk disajikan ke ruang-ruang publik. Saking banyaknya buku literasi Minang yang diterbitkan, tidak salah kalau ada orang yang mencari dokumen tertulis yang berkaitan Minang bisa berkunjung ke pabrik literasinya.

Saya menyebutnya tukang jahit termahal karena ketekunannya tanpa jenuh mengumpulkan bahan tulisan yang sudah berumur puluhan tahun yang tersebar di mana-mana, kemudian dipungut satu-satu poin-poin pemikirannya untuk dijahit menjadi satu buku. Kandungan literasi karya bukunya tidak bisa ditakar nilainya karena akan abadi sepanjang masa. Itulah sebabnya tukang jahit yang karyanya tidak pernah dibatas ruang dan waktu untuk dinikmati adalah tukang jahit literasi. Bukankah warisan termahal dalam membangun peradaban adalah “buku”. Itulah mahalnya tukang jahit literasi yang hidupnya abadi karena setiap orang yang membaca bukunya maka penulisnya kembali hidup.

Jadi, kalau dulu Bumi Minangkabau pernah melahirkan banyak tokoh besar bangsa yang terlibat langsung mendesain Indonesia merdeka, maka kini melahirkan lagi orang besar karya-karya bukunya. Itulah Yos Magek Bapayuang yang membuatku teringat kepada Sultan Sjahrir. Seorang tokoh bangsa yang perawakan tubuhnya kecil tapi pemikirannya besar. Yos Magek Bapayuang, sang putra Minang yang perawakannya agak pendek, tetapi ide-idenya menerbitkan buku literasi Minang sangat panjang tak bertepi.

“Kalau bukan orang Awak siapa lagi yang melestarikan kebesaran Bumi Minangkabau?” katanya suatu saat di pabrik literasinya. Putra Minang langka yang harus diapresiasi karya-karya literasinya oleh Pemerintah Daerah Sumatera Barat. Saya bangga pernah bersama melakukan perjalanan literasi ke Malaysia me-launching buku “Generasi Emas, Pemikir Gadang Minangkabau”.

*Inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi dan kepemimpinan

(Visited 145 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.