Saat turun dari armada travel, tubuhku masih terasa oleng. Namun, kupaksakan untuk berjalan menyusuri lorong-lorong pusat perbelanjaan. “Ah, sejak kemarin hanya masuk roti dan susu UHT, bagaimana tubuh ini tidak oleng?” pikirku.

Dua hari sebelumnya, tubuhku demam dan badan pegal-pegal. Namun, semua itu tidak aku rasa karena harus menjenguk ibu yang terjatuh di belakang rumah. Oke lah, kondisi ibu sudah membaik, tinggal kondisi tubuhku yang tidak baik-baik saja.

“Jadi ke Bogor?” tanya Bapak.
“Iya atuh, mau gemana lagi?” jawabku.
“Tapi badanmu panas gitu?” lanjut Bapak khawatir.

Aku pun tidak yakin apakah hari Selasa sanggup menempuh perjalanan dari Sumedang ke Bandung, lanjut Bandung ke Bogor.

“Beli kapsul cacing geura. Si Bapak oge pernah demam teu turun-turun dikasih kapsul cacing sama Pak Edi langsung rerep,” saran ibuku.

Aku pun mengikuti saran Ibu. Setelah minum kapsul cacing, aku minta tolong Bapak untuk memijat tubuhku ala kadarnya saja.

Sebenarnya Bapak bisa memijat, tetapi Bapak tidak tega kalau memijat keluarga karena orang-orang bilang pijatannya sakit. Ya sakit tetapi kalau bikin sembuh, kenapa nggak?

Masya Allah, untuk lansia 77 tahun, tangan Bapak masih “ajaib”. Alhamdulillah, aku bisa tidur dengan nyenyak, berkeringat tanda penyakit “keluar”, dan bangun Selasa pagi dengan kondisi tubuh lumayan segar.


Setelah mendapat menu pesanan, aku memilih untuk duduk di sisi jendela kaca. Orang-orang yang keluar-masuk mal terlihat jelas dari posisiku.

Sambil mencoba untuk mengunyah dan menelan menu fast food yang kupilih, kuperhatikan ada seorang laki-laki menyambut orang-orang yang keluar dari mal. Dari jaket yang digunakan, nampaknya dia menawarkan jasa ojek online. Satu, dua, tiga, dan seterusnya… tidak ada satu pun klien yang dia dapat, namun nampaknya dia tidak (atau belum) putus asa.

Wajar saja orang-orang menolaknya. Aku pikir setiap orang yang datang ke mal sudah memiliki smartphone dan dapat mengakses ojek online hanya dengan beberapa kali tap jari saja. Itu lebih meyakinkan daripada mencari ojek secara manual.

“Kira-kira apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh Abang itu ya?” hati kecilku bertanya-tanya. bagaimana tidak, selama aku duduk, makan, dan sempat membuka laptop di restoran cepat saji tersebut, belum satu pun klien yang dia dapat.

Andai aku seorang superhero seperti Professor X atau Jean Grey yang punya kemampuan mendengar apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang-orang, tentu aku bisa mendapat jawabannya. Mungkin aku pun bisa mendengar apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh semua pengunjung mal. Apakah mereka benar-benar tersenyum dan tertawa namun di dalam dirinya menyimpan luka yang dalam? Dan jika semua terdengar, tentu akan memekakkan telingaku.

Teringat akan sebuah konten di media sosial, “Everybody hurts“. Setiap orang tidak sedang baik-baik saja. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada diri orang-orang yang kita temui setiap hari. Mungkin ada yang berangkat kerja setelah sebelumnya bertengkar di rumah? Mungkin ada yang semalam mengalami kekerasan? Mungkin ada yang kemarin kehilangan orang yang dicintai? Mungkin… mungkin… mungkin…

Setelah memasukkan laptop ke tas, aku pun beranjak keluar. Di tempat itu, si Abang tadi menyapaku, “Ojek, Pak? Sudah dapat driver-nya?”

“Sudah, Bang…” jawabku singkat sambil berusaha untuk tersenyum. Ketika tiba di trotoar, ojek online yang kupesan sudah menunggu. []

(Visited 68 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Abah Iyan

Sosiopreneur, Writerpreneur & Book Publisher

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.