Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Bagi generasi yang tumbuh dan matang pada era Orde Baru, Pancasila pernah menjadi perhatian dunia. Pada masanya, sejumlah negara bahkan menunjukkan minat mendalam terhadap ideologi ini. Indonesia, dengan segala kompleksitas perbedaan yang dimilikinya, berhasil mempertahankan eksistensinya di tengah pusaran Perang Dingin yang membelah dunia menjadi dua blok raksasa. Blok Barat dengan NATO di bawah pimpinan Amerika Serikat, dan Blok Timur dengan Pakta Warsawa yang dikomandoi Uni Soviet.

Bagi dunia internasional, kemampuan Indonesia untuk tetap kokoh sejak kemerdekaannya hingga saat ini dianggap sebagai buah dari kekuatan dasar negaranya, Pancasila. Negara-negara besar pun berkepentingan mempelajari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dari penelusuran data, terdapat alasan-alasan mengapa Pancasila menarik perhatian global, salah satunya adalah karena ideologi ini dianggap mampu menginspirasi dunia untuk merawat perdamaian dan kerukunan.

Beberapa poin berikut mengilustrasikan daya tarik Pancasila di kancah internasional:
Pertama, pada Sidang Majelis Umum PBB ke-15 di New York, Amerika Serikat, Bung Karno menawarkan Pancasila sebagai ideologi alternatif untuk dunia.
Kedua, Pancasila dianggap relevan sebagai tolok ukur untuk mengkritisi pengaruh globalisasi dan modernisasi.
Ketiga, Pancasila dapat berfungsi sebagai filter budaya, menyaring unsur-unsur yang bermanfaat dan sesuai bagi bangsa Indonesia.
Keempat, Pancasila menjadi panduan menjaga persatuan, menghargai keberagaman, dan memperkuat keadilan sosial.
Kelima, Pancasila adalah dasar dalam menjaga kedaulatan dan kemandirian bangsa.

Menuju Negara Superpower

Jika Indonesia konsisten menjaga nilai-nilai Pancasila, bukan hal mustahil negeri ini dapat berproses menjadi salah satu negara superpower. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki hampir semua syarat untuk menempati posisi ini. Setidaknya, ada tiga kekuatan utama yang menjadi keunggulan Indonesia:

Pertama, sumber daya alam yang melimpah hingga menjadi kebutuhan vital bagi negara-negara lain.
Kedua, Indonesia memiliki populasi muslim terbesar di dunia yang menjadi potensi besar dalam membangun peradaban global. Ketiga, kualitas sumber daya manusia yang semakin mampu bersaing di forum-forum internasional.

Ketiga kekuatan ini hanya dapat disatukan melalui dasar negara Pancasila, yang telah menjadi pedoman hidup bangsa. Sebagai ideologi, Pancasila bukan sekadar simbol, melainkan fondasi untuk membangun kekuatan Indonesia. Lima sila yang terkandung di dalamnya ibarat jet tempur yang mampu menerobos berbagai ketidakadilan global, termasuk dominasi ekonomi liberalisme yang sering kali merugikan negara-negara berkembang.

Pancasila, dengan nilai-nilainya, menjaga setiap sudut Indonesia. Ia berada di puncak sebagai sumber hukum tertinggi, menjadi fondasi yang kokoh di bawah, sekaligus berfungsi sebagai tiang penyangga di setiap sisi kehidupan berbangsa.

Namun, di balik potensinya yang luar biasa, Pancasila justru kerap menjadi sasaran pelemahan, baik dari dalam maupun luar negeri. Tidak dapat disangkal, ada kekuatan besar yang berusaha memanfaatkan kelemahan elite nasional untuk melemahkan kedudukan Pancasila. Konspirasi ini didasari oleh ketakutan akan keberhasilan Pancasila menjadi filter terhadap elemen-elemen yang bertentangan dengan semangatnya.

Dalam pengelolaan sumber daya alam, misalnya, Pancasila mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Prinsip ini menjadi penghalang bagi kepentingan kelompok yang ingin mengeksploitasi kekayaan negeri tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat. Jika Pancasila dihayati dengan sungguh-sungguh, maka kebijakan yang diambil harus mencerminkan keberpihakan kepada rakyat, bukan kepada pemilik modal semata.

Pelemahan Pancasila

Membuat undang-undang yang mengatur Pancasila, lanjut Saidin, sama artinya dengan menurunkan kedudukannya sebagai dasar negara yang seharusnya menjadi sumber dari segala sumber hukum. Ide seperti ini jelas kurang tepat dan hanya menambah daftar pelemahan terhadap Pancasila di tingkat elite.

Namun, pelemahan terhadap Pancasila tidak hanya terjadi di kalangan elite pembuat kebijakan. Di tingkat bawah, kondisi ini bahkan lebih menyedihkan. Institusi pendidikan, yang seharusnya menjadi tempat persemaian nilai-nilai Pancasila, justru semakin jauh dari perannya. Kurikulum pendidikan, misalnya, menghapus mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang dulu diajarkan di sekolah menengah pertama.

Lebih parahnya, dari hari ke hari, jam belajar pendidikan agama – yang menjadi dasar sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa – terus berkurang. Ruang kelas siswa hampir bersih dari atribut yang berkaitan dengan Pancasila. Tulisan butir-butir Pancasila yang dulu menghiasi dinding-dinding sekolah kini nyaris tidak ditemukan lagi.

Bahkan, seorang sahabat pernah menyindir dengan getir, “Butir-butir Pancasila setiap pagi disapu penjaga sekolah masuk ke got.” Jika burung Garuda bisa berbicara, mungkin ia akan menegur keras, “Kalian akan menyesal membiarkanku menjadi bangkai ideologi di tanah air sendiri.”

Menjawab Tantangan dengan Gerakan Jiwa

Sedemikian menakutkannyakah Pancasila hingga harus disingkirkan dari buminya sendiri? Menghidupkan kembali Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kini tak cukup lagi hanya lewat imbauan, spanduk, atau baliho. Program sosialisasi empat pilar berbangsa dan bernegara yang dilakukan oleh MPR dengan menggelar road show ke kampus-kampus pun hanya menjadi formalitas yang membebani anggaran rakyat. Sementara itu, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila hampir nol.

Untuk kembali membumikan Pancasila, dibutuhkan lebih dari sekadar permainan kata-kata. Indonesia memerlukan gerakan jiwa yang nyata dari seluruh elemen masyarakat, khususnya para pengambil kebijakan. Jika MPR benar-benar ingin menularkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda, langkah pertama yang harus diambil adalah memanggil Menteri Pendidikan untuk merancang kebijakan nasional yang mewajibkan pengamalan nilai-nilai Pancasila di semua institusi pendidikan.

Tidak semua kebijakan masa lalu harus ditinggalkan. Pada era Orde Baru, misalnya, Presiden Soeharto menjaga marwah Pancasila melalui kebijakan yang sistematis, seperti memasukkan mata pelajaran PMP ke dalam kurikulum sekolah. Lomba cerdas cermat Pancasila, lomba menulis, menggambar, atau mewarnai lambang Garuda pernah menjadi kegiatan rutin di lingkungan sekolah.

Di tingkat pendidikan tinggi, Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) juga menjadi agenda wajib bagi mahasiswa baru. Tujuan dari Penataran P4 sangat jelas: membangun masyarakat Pancasilais, memperkuat pemahaman ideologi negara, menangkal pengaruh ideologi lain, dan memperkokoh persatuan nasional.

Gerakan seperti ini adalah langkah nyata untuk mewujudkan masyarakat yang mampu menghayati, mengamalkan, dan menyebarluaskan nilai-nilai Pancasila. P4 pernah menjadi panduan pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dan bernegara.

Kini, gerakan jiwa seperti itulah yang perlu dihidupkan kembali. Implementasi politik kebhinekaan hanya bisa diwujudkan jika nilai-nilai Pancasila benar-benar dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukan lagi soal nostalgia atau romantisme masa lalu, tetapi tentang kebutuhan bangsa untuk bertahan dan berkembang di tengah tantangan zaman.

Melalui kerja nyata – bukan sekadar slogan – kita bisa menjadikan Pancasila sebagai pijakan dalam membangun bangsa yang lebih adil, makmur, dan berdaulat. Karena pada akhirnya, hanya dengan kembali ke Pancasila, Indonesia akan mampu menjawab tantangan zaman sekaligus menjaga kebhinekaan sebagai kekuatan utamanya.

*Penulis adalah akademisi dan penulis buku-buku politik, demokrasi, dan kepemimpinan.

(Visited 32 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.