Hari Pahlawan yang diperingati setiap tanggal 10 November dicetuskan oleh sosok yang dilupakan sejarah: Ia bernama Soemarsono. Soemarsono penggagas Hari Pahlawan 10 November. Dihilangkan dari sejarah karena komunis.
Biografi Soemarsono
Soemarsono lahir pada 22 September 1921 di Kutoarjo, sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang dikenal dengan suasana pedesaannya yang tenang. Sejak usia muda, ia menunjukkan minat yang besar terhadap pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kondisi sosial dan politik pada masa itu, terutama di bawah penjajahan Belanda dan kemudian Jepang, membentuk pandangan hidupnya dan mendorongnya untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan perlawanan. Keinginan kuat Soemarsono untuk berkontribusi dalam perjuangan bangsa membuatnya berinteraksi dengan banyak tokoh pemuda lainnya yang juga memiliki semangat yang sama.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Soemarsono segera bergerak untuk memperkuat posisi bangsa yang baru saja merdeka. Ia bersama Ruslan Widjaja mendirikan Angkatan Muda Minyak pada 21 Agustus 1945, sebuah organisasi yang mengonsolidasikan kekuatan pemuda di Surabaya, khususnya di kalangan buruh penyulingan minyak. Dengan cepat, Soemarsono menjadi salah satu tokoh pemuda paling terkemuka di Surabaya, dikenal karena keberanian dan semangat juangnya yang radikal. Dalam berbagai rapat raksasa yang digelar di kota tersebut, termasuk yang berlangsung di Lapangan Tambak Sari pada 11 September 1945, Soemarsono sering kali menjadi sosok yang membakar semangat para pemuda dengan pidato-pidatonya yang penuh gairah.
Salah satu peristiwa penting yang melibatkan Soemarsono adalah perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) pada 19 September 1945. Peristiwa ini terjadi ketika para pemuda Indonesia, yang marah karena Belanda mengibarkan kembali bendera mereka, memutuskan untuk merobek bagian biru dari bendera tersebut, sehingga hanya tersisa merah-putih, simbol kebanggaan bangsa yang baru merdeka. Soemarsono berada di antara massa yang ikut dalam peristiwa ini, menandai komitmennya terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Aksi tersebut menjadi simbol perlawanan yang kuat dan memperlihatkan betapa besar tekad pemuda Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih.
Puncak keterlibatan Soemarsono dalam perjuangan di Surabaya adalah pada pertempuran melawan tentara Sekutu yang pecah pada 28 Oktober 1945. Pertempuran ini merupakan reaksi keras dari rakyat Surabaya terhadap upaya Inggris dan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia. Soemarsono, sebagai salah satu pemimpin Pemuda Republik Indonesia (PRI), berperan dalam mengorganisir perlawanan, termasuk di daerah Wonokromo. Ketika pertempuran semakin sengit, ia bahkan sempat berpidato di radio, menyerukan kepada rakyat Surabaya untuk memilih “Merdeka atau mati!” Pidato ini, bersama dengan tindakan heroik lainnya, menjadi bagian dari sejarah perlawanan Surabaya yang dikenang sebagai momen penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Soemarsono dan Hari Pahlawan
Peran Soemarsono dalam sejarah Indonesia tak bisa dilepaskan dari kontribusinya sebagai pencetus Hari Pahlawan 10 November. Ide besar ini muncul pada rapat Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BPKRI) yang diadakan pada 4 Oktober 1946. Dalam rapat tersebut, Soemarsono mengusulkan agar tanggal 10 November diperingati secara nasional sebagai Hari Pahlawan. Tanggal ini dipilih untuk mengenang perjuangan heroik rakyat Surabaya, khususnya para pemuda yang dikenal sebagai “arek-arek Suroboyo,” dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan tentara Sekutu pada tahun 1945.
Soemarsono tidak hanya sekadar mengusulkan, tetapi ia juga mampu meyakinkan para peserta rapat akan pentingnya peringatan tersebut. Ia memahami betul bahwa perjuangan arek-arek Suroboyo melawan kekuatan asing bukanlah sekadar pertempuran fisik, melainkan simbol dari semangat perlawanan bangsa Indonesia terhadap segala bentuk penjajahan. Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, yang kini dikenang sebagai Hari Pahlawan, adalah bukti nyata dari keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraih.
Setelah usulan Soemarsono diterima dengan bulat oleh forum BPKRI, langkah selanjutnya adalah mengajukannya kepada Presiden Sukarno. Presiden, yang juga seorang tokoh besar dalam perjuangan kemerdekaan, menyambut baik usulan tersebut dan segera mengesahkannya. Dengan demikian, tanggal 10 November resmi menjadi Hari Pahlawan, yang pertama kali diperingati secara nasional pada tahun 1946 di Yogyakarta. Peringatan ini berlangsung di tengah suasana yang masih dipenuhi semangat revolusi, di mana rakyat Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya dan masih terus berjuang mempertahankannya dari upaya-upaya penjajahan kembali.
Hari Pahlawan kemudian menjadi salah satu hari bersejarah paling penting di Indonesia, diperingati setiap tahun untuk mengenang para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan bangsa. Namun, ironisnya, nama Soemarsono sebagai pencetus Hari Pahlawan sering kali terlupakan dalam sejarah resmi. Banyak yang lebih mengenal tokoh-tokoh lain yang terlibat dalam pertempuran Surabaya, sementara peran Soemarsono hanya disebutkan secara terbatas. Meski demikian, kontribusinya tetap menjadi bagian penting dari narasi perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang diwariskan kepada generasi berikutnya sebagai simbol keberanian, patriotisme, dan cinta tanah air.
Kontroversi Madiun 1948
Setelah pertempuran Surabaya berakhir, Soemarsono semakin aktif terlibat dalam gerakan politik yang lebih radikal di Indonesia, terutama dengan kelompok kiri yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin. Hubungannya dengan Amir, seorang tokoh kiri yang berpengaruh, membawa Soemarsono lebih dalam ke lingkaran politik sayap kiri di Indonesia, yang pada masa itu memiliki pengaruh besar di kalangan pemuda dan militer. Amir Sjarifuddin, yang juga seorang mantan Perdana Menteri Indonesia, adalah seorang sosialis yang memimpin berbagai gerakan perlawanan dan reformasi, termasuk di dalamnya adalah kelompok-kelompok pemuda yang militan seperti Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Soemarsono bergabung dengan Pesindo, di mana ia kemudian menjadi salah satu tokoh penting dalam organisasi tersebut.
Pada tahun 1948, Soemarsono diangkat sebagai Gubernur Militer Madiun oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR), sebuah koalisi yang didominasi oleh kelompok kiri termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Penunjukannya sebagai Gubernur Militer Madiun memberikan Soemarsono kekuasaan dan tanggung jawab besar di wilayah yang saat itu sangat strategis. Namun, masa jabatan ini berakhir tragis ketika terjadi Peristiwa Madiun pada September 1948. Peristiwa ini bermula ketika FDR dan kelompok-kelompok kiri lainnya mengambil alih Madiun, yang kemudian dianggap oleh pemerintah pusat sebagai sebuah pemberontakan. Soemarsono menjadi salah satu tokoh sentral dalam peristiwa ini, dan keterlibatannya menempatkannya dalam posisi berbahaya ketika pemerintah memutuskan untuk menumpas pemberontakan tersebut.
Setelah peristiwa Madiun, nama Soemarsono menjadi kontroversial dan dikaitkan dengan upaya pemberontakan terhadap pemerintah yang sah. Pemerintah, di bawah pimpinan Presiden Sukarno, segera mengambil tindakan keras untuk menumpas FDR dan kelompok-kelompok kiri yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Soemarsono, yang pada saat itu merupakan salah satu pemimpin di lapangan, terpaksa melarikan diri untuk menghindari penangkapan. Ia mengasingkan diri, meninggalkan panggung politik Indonesia yang sebelumnya begitu ia geluti dengan penuh semangat. Pengasingan ini berlangsung lama dan membuat Soemarsono hampir terlupakan dalam sejarah resmi Indonesia. Meskipun kontribusinya dalam peristiwa-peristiwa besar seperti Pertempuran Surabaya dan pencetusan Hari Pahlawan sangat berarti, keterlibatannya dalam Peristiwa Madiun membuatnya seakan hilang dari ingatan bangsa.
Akhir Kehidupan
Setelah menjalani masa penahanan yang panjang, Soemarsono akhirnya dibebaskan dari penjara pada tahun 1978. Bebas dari belenggu hukum di Indonesia, ia memilih untuk menetap di Australia, sebuah negara yang memberinya kesempatan untuk hidup dengan lebih tenang dan jauh dari hiruk-pikuk politik tanah air yang pernah membuat hidupnya penuh dengan ketegangan. Di Australia, Soemarsono menjalani kehidupan yang sederhana dan jauh dari sorotan media. Meskipun ia berada di luar negeri, kenangan dan semangat perjuangan yang ia jalani semasa muda tetap hidup dalam dirinya.
Di Australia, Soemarsono menghabiskan sisa hidupnya dengan relatif damai hingga akhir hayatnya pada 8 Januari 2019. Meski ia hidup di pengasingan, Soemarsono tetap merasa terhubung dengan Indonesia dan sejarah perjuangannya. Ironisnya, meskipun kontribusinya besar—terutama sebagai pencetus Hari Pahlawan 10 November—nama Soemarsono tidak banyak diakui dalam sejarah resmi Indonesia. Keputusan untuk mengasingkan diri ke Australia juga mungkin dilihat sebagai salah satu upaya untuk menjaga jarak dari kontroversi yang membelit namanya di tanah air, terutama terkait keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan peristiwa Madiun 1948.
Ketidakadilan sejarah terhadap Soemarsono bukan hanya terjadi karena hubungannya dengan PKI, tetapi juga karena narasi sejarah yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan politik rezim yang berkuasa setelah peristiwa tersebut. Soemarsono, yang memainkan peran penting dalam Pertempuran Surabaya dan mengusulkan peringatan Hari Pahlawan, sering kali diabaikan dalam buku-buku sejarah dan diskusi nasional tentang masa perjuangan kemerdekaan. Peran utamanya dalam pertempuran di Surabaya sering kali tenggelam oleh nama-nama lain yang lebih disukai oleh narasi resmi, sementara kontribusinya dalam mencetuskan Hari Pahlawan hampir tidak pernah disebutkan secara luas.
Namun, bagi mereka yang mengenal sejarah secara lebih mendalam, nama Soemarsono tetap memiliki tempat yang istimewa. Kontribusi dan pengorbanannya tetap diingat sebagai bagian integral dari perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan. Meskipun begitu, bayang-bayang keterlibatannya dengan PKI dan Peristiwa Madiun terus menghantui pengakuan resminya, membuat sosoknya tetap kontroversial dan kurang dikenal dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain yang seangkatan dengannya.
Warisan
Meskipun Soemarsono sering kali terlupakan dalam narasi sejarah resmi Indonesia, warisannya tetap hidup melalui peringatan Hari Pahlawan yang setiap tahun diperingati oleh bangsa Indonesia. Hari Pahlawan, yang jatuh pada 10 November, bukan sekadar tanggal di kalender, tetapi sebuah simbol yang menandakan semangat perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan. Hari ini menjadi momen refleksi nasional di mana bangsa Indonesia mengingat kembali jasa para pahlawan yang telah mengorbankan nyawa mereka demi kemerdekaan yang kini dinikmati.
Peringatan Hari Pahlawan membawa makna mendalam yang melampaui sekadar seremoni. Pada hari ini, rakyat Indonesia diingatkan akan pentingnya keberanian dan pengorbanan yang ditunjukkan oleh para pejuang di masa lalu, khususnya mereka yang terlibat dalam pertempuran besar seperti yang terjadi di Surabaya pada tahun 1945. Pertempuran ini tidak hanya menjadi titik balik dalam perjuangan kemerdekaan, tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Melalui Hari Pahlawan, semangat perlawanan ini diwariskan dari generasi ke generasi, memastikan bahwa jasa para pahlawan tidak akan pernah dilupakan.
Warisan Soemarsono sebagai pencetus Hari Pahlawan juga berkontribusi pada pemahaman yang lebih luas tentang pentingnya mengenang sejarah perjuangan bangsa. Setiap tahun, ketika bendera setengah tiang dikibarkan dan berbagai acara penghormatan digelar, bangsa Indonesia tidak hanya mengenang para pahlawan yang telah gugur, tetapi juga memperkuat tekad untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara. Dengan demikian, meskipun namanya tidak selalu disebutkan, kontribusi Soemarsono tetap terasa setiap kali Hari Pahlawan diperingati.
Hari Pahlawan juga menjadi waktu untuk merenungkan nilai-nilai yang diwariskan oleh para pahlawan. Nilai-nilai seperti patriotisme, keberanian, dan pengorbanan menjadi bagian dari identitas nasional yang terus dijaga dan dipelihara. Melalui peringatan ini, Soemarsono dan para pahlawan lainnya diingat sebagai sosok yang tidak hanya berjuang dengan senjata, tetapi juga dengan tekad dan visi untuk masa depan Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Warisan ini memastikan bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia dan terus hidup dalam hati setiap warga negara Indonesia.
Catatan Penulis
Sejarah sering kali dianggap sebagai catatan objektif dari peristiwa masa lalu, namun kenyataannya sejarah sangat bergantung pada siapa yang menceritakannya. Peran Soemarsono dalam sejarah Indonesia, terutama sebagai pencetus Hari Pahlawan 10 November dan keterlibatannya dalam Peristiwa Madiun 1948, adalah contoh yang jelas bagaimana narasi sejarah bisa dibentuk, diubah, atau bahkan diabaikan tergantung pada kepentingan politik, ideologi, dan siapa yang memegang kendali atas penyebaran informasi.
Soemarsono adalah tokoh penting dalam Pertempuran Surabaya, dan usulannya untuk menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas nasional Indonesia. Namun, meskipun kontribusinya sangat signifikan, nama Soemarsono sering kali diabaikan dalam narasi sejarah resmi. Ini bukan karena perannya kurang penting, tetapi lebih karena keterlibatannya dengan kelompok kiri, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Peristiwa Madiun 1948 yang kontroversial. Pemerintah Orde Baru, yang sangat anti-komunis, secara sistematis menghapus atau meminimalkan peran tokoh-tokoh yang terkait dengan PKI dari sejarah resmi Indonesia. Narasi ini kemudian didukung oleh kontrol ketat terhadap pendidikan dan media selama bertahun-tahun, yang membentuk persepsi publik bahwa mereka yang terkait dengan PKI tidak layak untuk diakui sebagai pahlawan.
Sejarah Soemarsono menunjukkan bahwa narasi sejarah bukanlah sesuatu yang statis dan tak terbantahkan, tetapi bisa diubah sesuai dengan kepentingan politik dan ideologis mereka yang berkuasa. Jika kita melihat kembali ke masa lalu, banyak tokoh sejarah yang nasibnya serupa dengan Soemarsono—diakui sebagai pahlawan atau penjahat berdasarkan sudut pandang penguasa saat itu. Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk memahami bahwa sejarah yang diajarkan di sekolah atau yang diceritakan dalam buku-buku sejarah sering kali mencerminkan sudut pandang dan kepentingan tertentu, dan bukan keseluruhan kebenaran.
Oleh karena itu, argumen bahwa “sejarah bergantung pada siapa yang menceritakan” menjadi sangat relevan. Narasi sejarah bisa dan sering kali disesuaikan untuk mendukung ideologi atau kepentingan politik tertentu. Sementara kontribusi Soemarsono dalam pertempuran kemerdekaan sangat signifikan, sejarah yang diajarkan kepada generasi berikutnya mungkin berbeda, tergantung pada siapa yang menguasai narasi tersebut. Ini menggarisbawahi pentingnya pluralitas dalam historiografi dan perlunya sumber-sumber sejarah yang beragam agar kita dapat melihat peristiwa masa lalu dari berbagai perspektif yang berbeda, bukan hanya dari satu sudut pandang yang dominan.
Dengan demikian, kesimpulannya adalah bahwa sejarah bukan hanya tentang fakta-fakta yang objektif, tetapi juga tentang interpretasi dari fakta-fakta tersebut, yang sangat bergantung pada siapa yang menceritakannya dan dalam konteks apa cerita itu disampaikan. Sejarah Soemarsono adalah pengingat bahwa untuk memahami masa lalu secara komprehensif, kita harus kritis terhadap narasi yang disampaikan dan selalu mencari sudut pandang alternatif yang mungkin telah disingkirkan dari cerita resmi. []