Sebulan menjelang hari referendum di kota kelahiranku kecamatan Iliomar, kabupaten Lautém-Lospalos, saya sebagai staff lokal UNAMET (United Nation Administration Mission in East Timor) dimana berfungsi sebagai penerjemah bahasa lokal ke Inggris dan sebaliknya, sekaligus sebagai petugas registrasi bagi peserta pemilu pada saat itu, dimana registrasi ini dimulai sejak bulan Juli hingga pertengahan agustus tahun 1999, guna mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemilu referendum disana.

Syarat untuk registrasi pendaftaran ini adalah, warga negara Timor-Timur yang berumur 16 tahun ke atas, dibuktikan dengan KTP dan Surat Permandian, yang dibawa oleh peserta pemilu untuk mendaftarkan diri di tempat registrasi yang telah ditentukan.

Pendaftaran ini dimulai dari pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore. Team kami terdiri dari dua orang malai yaitu satu pria dan satu wanita (namanya udah lupa), dua orang polisi dari Australia (Mr.Bram dan Mr.Stef). Lokal staff pada saat itu adalah saya sendiri, Zeferino, Azito, Agapito, dan seorang sopir dari Viqueque.

Mereka kost di paroki Iliomar, yang saat itu berdekatan dengan tempat pendaftaran yakni di SMPK João Paulo II Iliomar. Selama sebulan pendaftaran di sekolah itu, saya double job dimana sebagai staff lokal UNAMET dan juga sebagai guru di SMPK itu sendiri. Sehingga pada saat ada jam kosong saya bawa malai Stef ini, masuk ke kelas untuk mengajar bahasa inggris di situ. Walaupun mereka tidak mengerti saya sebagai penerjemah membawa malai Stef ke kelas untuk mengajar bahasa inggris, pada jam istirahat, anak-anak mulai berani bercakap-cakap dengan malai Stef dengan inggris yang mereka tahu seadanya.

Setelah selesai pendaftaran, hasilnya dikirim ke Dili untuk diinput di data base disana. Menjelang pemilu 30 agustus 1999, seminggu sebelumnya kami mengikuti latihan poling staff, yang kemudian akan menjadi poling staff pada pemilu mendatang. Bukan hanya kami saja, tapi dengan teman-teman guru-guru yang lain, maupun para pemuda-pemudi dari desa-desa, yang tahu bahasa inggris sedikit-sedikit juga direkrut semua.

Pada hariha pemilu, kami sudah siap sedia sejak subuh jam 5 sudah berada di tempat kami masing-masing untuk memasang peralatan pemilihan, serta menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemilihan. Tepat jam 7.00 pagi kami poling staff yang mencoblos duluan, lalu dilanjutkan dengan masyarakat, karena mereka juga sudah menanti di lapangan dan dekat-dekat dengan TPS masing-masing. Saya sebagai interpreter movel selalu mengawasi 3 TPS yang dipasang di ruangan SMPK João Paulo II Iliomar.

Saat kami mengikuti training poling staff, diberi bekal bahwa jika ada nenek, kakek atau para cacad yang tidak bisa mencoblos kertasnya, maka kami poling staff wajib untuk membantunya. Menanyakan bahwa mereka mencoblos atas atau bawah. Yang bagian atas menyetujui Otonomi dan yang bagian bawah menolak otonomi. Saat itu saya berada di TPS no.3 di salah salah ruang sekolah, saya membantu banyak nenek-nenek dan ibu-ibu yang buta huruf guna mempercepat jalannya pemilihan.

Namun pada saat itu kami diawasi ketat oleh mata-mata sipil bernama Jose Madeira (almarhum), sedang mengawasi kami dari luar jendela. Dikirain kami memberi tahu mereka untuk mencoblos merdeka punya, sehingga dia mencatatnya dan melapor ke polisi saat itu.

Setelah itu ia mulai membawa mama tua yang saya beritahu untuk mencoblos di bilik suara itu di kantor polisi. Disana ia menginvestigasi mama tua ini, dan menanyakan padanya bahwa kami poling staff yang memaksanya untuk mencoblos merdeka punya. Padahal yang sebenarnya, kami hanya menanyakannya apakah mereka mau mencoblos otonomi atau menolaknya (merdeka). Namun terkaan mereka lain, karena mereka mencurigai kami yang bekerja dengan malai itu semuanya berpihak pada kemerdekaan Timor Leste.

Setelah pencoblosan selesai, para malai mulai menyiapkan hasil pemilu ke mobil lalu dikawal oleh para polisi Indonesia, namun sebelumnya mereka masih berfoto ria bersama kami para staff lokal, sehingga para polisi juga udah marah dan membanting senjata, sehingga kami pun semuanya bubar dan para malai segera naik mobil mereka dengan hasil pemilu, lalu dikawal oleh para polisi diantar ke kota kabupaten, lalu dilanjutkan ke ibu kota Dili.

Kami staff lokal yang ditinggalkan, mulai was-was dan menyiapkan barang-barang untuk segera lari ke hutan. Namun di sisi lain dari polisi bimpolda desa Fuat mulai mencariku, supaya saya ke polisi untuk menandatangani surat perjanjian, tapi itu hanya strategi mereka untuk menangkap dan membunuhku. Sehingga pada saat itu, sayapun mulai lari menjauh dari kota kecamatan Iliomar, ke Sailarin kaki gunung Ke’eleli dan bersembunyi disana, hingga para milisi membakar sekolah, kantor, lalu mereka mengungsi ke Atambua. Waktu itu saya hanya lari ke hutan dengan satu helai pakaian di badan saya saja, yang lainnya tinggal di sekolah SMPK, sehingga semuanya terbakar bersama gedung yang dibakar oleh para milisi.

Setelah seminggu kemudian baru saya bersama keluarga turun dari hutan dan kembali ke kota. Pada waktu itu ada pesawat dari Australia yang menurunkan makanan untuk kami, dikirain itu adalah pesawat para milisi yang menurunkan bom sehingga kami pun lari terbirit-birit untuk melindungi diri. Namun setelah kami selidiki bahwa itu adalah makanan, sehingga kami pun merebut dan memakannya.

Setelah melihat situasi sudah benar-benar aman maka kami kembali ke kota dan menetap disitu, dan mulai lagi kehidupan baru dengan membuka sekolah dan mulai mengajar kembali, ke kebun, dan kemana saja sudah bebas, layaknya burung yang baru dilepas dari sangkarnya.

Itulah suka-duka menjelang dan hariha 30 agustus 1999, di daerahku iliomar, tempatku dibesarkan. Selama sepekan kami mendengar dari radio bahwa hasil referendum yang menolak otonomi alias merdeka adalah 78,5%, pada tanggal 4 september 1999. Jadi dari hasil referendum yang dicetuskan pada 30 agustus 1999 itu yang mengakhiri kekuasaan Indo di negeri kami selama 24 tahun, dimana kebanyakan rakyat yang ingin merdeka sendiri alias menolak otonomi luas yang ditawarkan oleh Indo saat itu.

Edisi khusus Referendum

(Visited 14 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Aldo Jlm

Elemen KPKers-Lospalos,Timor Leste, Penulis, Editor & Kontributor Bengkel Narasi sejak 2021 hingga kini telah menyumbangkan lebih dari 100 tulisan ke BN, berupa cerpen, puisi, opini, dan berita, dari negeri Buaya ke negeri Pancasila, dengan motonya 3S-Santai, Serius dan Sukses. Sebagai penulis, pianis dan guru, selalu bergumul dengan literasi dunia keabadian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.