Oleh: Muhammad Sadar*
Pahlawan dalam makna yang umum adalah seseorang yang memiliki peran besar melalui pengorbanan dan keberaniannya dalam membela kebenaran. Definisi ini tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menggambarkan pahlawan sebagai pejuang yang gagah berani. Lebih spesifik, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan membagi pahlawan dalam beberapa kategori: pahlawan perintis kemerdekaan, pahlawan kemerdekaan nasional, pahlawan proklamator, pahlawan kebangkitan nasional, pahlawan revolusi, dan pahlawan Ampera.
Berdasarkan penggolongan tersebut, saya ingin mengisahkan sejarah kepahlawanan seorang Ayah yang melahirkan penulis, sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945, masa darurat perang, hingga era kepemimpinan Orde Baru.
Fase Lahir dan Rintisan Perjuangan
Dua puluh delapan tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh dwitunggal Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, lahir seorang putra bernama Muhammad Nawawi pada 17 Agustus 1917. Ia adalah anak pasangan Muhammad Saleh dan I Mapparessa, yang tinggal di sebuah kampung pesisir bernama Palanro, Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru. Sebagai anak kampung yang hidup di bawah penjajahan Belanda, pendidikan formal tidak dijalaninya dengan sempurna. Namun, pendidikan berbasis pesantren ditempuhnya di Muallimin DDI (Darud Da’wah wal Irsyad) Mangkoso, di bawah bimbingan pendiri pesantren, Anre Gurutta Abdu Rahman Ambo Dalle. Pendidikan ini dilakoninya hingga kedatangan tentara Dai Nippon (Jepang) pada 1942-1945.
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah militer Jepang melakukan rekrutmen dan mobilisasi pemuda Indonesia untuk menjadi prajurit dalam perang Pasifik. Melalui propaganda bahwa Jepang adalah pemimpin, pelindung, dan cahaya Asia, mereka membentuk berbagai kesatuan militer seperti Heiho, PETA (Pembela Tanah Air), Jawa Hokokai, Seinendan, dan lain-lain. Pemuda Muhammad Nawawi pun meninggalkan pendidikan pesantren dan bergabung dengan Heiho, yang dibentuk oleh Jepang di Palanro.
Di Heiho, Muhammad Nawawi menerima pelatihan militer, dibentuk dengan doktrin disiplin, kepemimpinan, patriotisme, dan semangat bela negara. Salah satu kisahnya ketika bertugas adalah saat ia mengoperasikan senapan mesin berat kaliber 12,7 mm dalam pos pertahanan anti-serangan udara, berlindung di balik karung goni berisi pasir.
Seiring dengan melemahnya pasukan Jepang di berbagai front Perang Dunia II, semangat persiapan kemerdekaan Republik Indonesia semakin menguat. Muhammad Nawawi bersama pemimpin lokal Andi Abdullah Bau Massepe mengambil peran dalam gerakan pelucutan senjata tentara Jepang di daerahnya.
Fase Hijrah dan Konsolidasi Perjuangan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia harus menghadapi kembalinya rezim Belanda melalui NICA. Dalam situasi yang penuh ancaman dan pengkhianatan, pada akhir 1945, Muhammad Nawawi dan para pejuang lainnya, termasuk M. Arsyad B., Andi Dala (Petta Lawa), Bau Mahmud, dan Andi Domeng, sepakat untuk hijrah ke Jawa, pusat perjuangan kemerdekaan. Mereka mempersiapkan perahu layar Lambo, jenis perahu Bugis yang memiliki layar besar, untuk pelayaran berbahaya ini. Perahu mereka, yang dinamai Bunga Eja (Bunga Merah), akhirnya mengarungi lautan menuju Pulau Jawa.
Dalam perjalanan, mereka berpapasan dengan kelompok pejuang lain yang menyarankan untuk tidak mendarat di Surabaya, yang masih belum aman setelah pertempuran 10 November 1945. Muhammad Nawawi kemudian memimpin navigasi menuju Pasuruan, tempat mereka mendarat pada awal Januari 1946.
Setelah tiba di Jawa, mereka bergabung dengan pejuang dari Sulawesi Selatan di Markas Besar Tentara di Yogyakarta, tempat para tokoh seperti Andi Mattalatta, Kahar Muzakkar, dan Andi Oddang telah berjuang. Delegasi ini bertemu Presiden Soekarno dan Jenderal Soedirman untuk melaporkan kondisi perjuangan rakyat Sulawesi Selatan serta dukungan para raja di daerah tersebut terhadap kemerdekaan Indonesia.





Salah satu peran unik Muhammad Nawawi adalah sebagai ajudan Kahar Muzakkar, bukan membawa senjata, melainkan kitab suci Al-Qur’an, yang kerap dibacakan untuk sang komandan. Selama di Yogyakarta, Muhammad Nawawi juga terlibat dalam sabotase terhadap kedudukan militer Belanda, membuktikan keberanian dan loyalitasnya.
Fase Ekspedisi dan Konsolidasi di Sulawesi
Atas perintah Jenderal Soedirman, Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) dibentuk untuk memperkuat perjuangan di luar Jawa. Muhammad Nawawi termasuk dalam ekspedisi TRIPS, dan ia kembali ke Sulawesi pada akhir 1946. Pada Januari 1947, mereka berkumpul dalam Konferensi Paccekke di sebuah wilayah terpencil yang strategis dan tak terjangkau oleh pasukan NICA. Di sana, diputuskan pembentukan TRI Divisi Hasanuddin, yang kelak menjadi cikal bakal Kodam XIV/Hasanuddin.
Ayahku, Muhammad Nawawi, ditunjuk sebagai Komandan Peleton dalam Batalion I Resimen Paccekke, dengan pangkat Letnan Muda yang diterimanya di Markas Besar Tentara di Yogyakarta. Sebagai perwira, salah satu insiden penting yang dialaminya adalah saat ia harus menenangkan para prajurit yang sedang bermain-main dengan senjata. Insiden ini hampir saja berujung fatal, tetapi keberanian dan tanggung jawabnya menyelamatkan situasi.
Dalam masa perjuangan yang panjang dan berat, Muhammad Nawawi menunjukkan dedikasi tinggi terhadap kemerdekaan Indonesia, menjadikannya seorang pahlawan dalam arti sejati, yang tak hanya berjuang dengan senjata, tetapi juga dengan nilai-nilai keagamaan dan moral yang ia bawa sepanjang hidupnya.
*Penulis adalah anak dari Muhammad Nawawi, pejuang kemerdekaan dari Sulawesi Selatan.