Dalam hidup ini, aku hanyalah seseorang yang sedang berproses. Tidak sempurna, namun mencoba untuk menerima segala kekurangan dan kelebihan yang ada dalam diriku. Saat ini, aku berdiri di titik di mana aku belajar untuk menerima diriku sendiri, apa adanya, tanpa menuntut kesempurnaan dari diriku atau dari dunia di sekelilingku.
Hidup penuh dengan dinamika—ada saat-saat di mana aku merasa kuat, tetapi ada juga saat-saat aku merasa lemah. Terkadang aku bisa meraih apa yang kuinginkan, namun di lain waktu, kegagalan datang tanpa diduga. Di sinilah aku belajar untuk menerima keadaan. Menerima bahwa aku tidak harus selalu berada di puncak atau menjadi yang terbaik. Aku belajar untuk menghargai setiap langkah kecil yang aku ambil, tidak peduli seberapa lambat atau tidak sempurna langkah itu.
Dalam perjalanan ini, aku belajar banyak tentang arti kerendahan hati. Bahwa menjadi “seapa adanya” bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan untuk jujur terhadap diri sendiri. Aku tidak perlu membandingkan diriku dengan orang lain yang mungkin terlihat lebih sukses atau lebih bahagia. Aku hanyalah aku—dengan segala kisah, pengalaman, dan perjuangan yang membentukku menjadi seperti saat ini.
Penerimaan diri ini juga membawaku pada kedamaian batin. Dengan menyadari bahwa aku tidak bisa mengendalikan semua hal, aku belajar untuk lebih berserah pada takdir dan kehendak Tuhan. Aku mulai melihat hidup ini sebagai perjalanan yang dipenuhi dengan pelajaran, bukan sebagai serangkaian target yang harus dicapai.
Seiring waktu, aku menyadari bahwa menjadi “seapa adanya” adalah bentuk cinta pada diri sendiri. Aku memberi ruang bagi diriku untuk tumbuh tanpa beban ekspektasi yang berlebihan. Aku merangkul masa lalu, hidup di masa kini, dan memandang masa depan dengan harapan, meski terkadang langkahku mungkin ragu-ragu.
Inilah aku saat ini. Tidak sempurna, tidak luar biasa, tetapi cukup untuk diriku sendiri. Aku hanyalah seapa adanya—dan itu lebih dari cukup.
by profa Elvira’24