Setiap hari kami menghadapi gemblengan tanpa henti dari Pak Rohman, guru kelas enam kami. Beliau menuntut kami belajar lebih keras, tanpa ada ruang untuk bermalas-malasan. Siapa saja yang tak serius belajar, siap-siap menerima sanksi tegas. Tak ada yang bisa lolos tanpa ketahuan jika malam sebelumnya tidak belajar.
Pak Rohman, pria berperawakan ideal dengan kumis tipis yang melengkapi ketampanannya, bukan hanya sosok yang cerdas dan tegas, tetapi juga humoris. Beliau dicintai murid-muridnya, dihormati sebagai guru, teman, dan sahabat. Tak seorang pun berani bersikap tidak sopan kepadanya.
Dengan 40 siswa di bawah bimbingannya, kami dipersiapkan menghadapi ujian nasional. Materi pelajaran dikupas habis, dan ulangan rutin menjadi sarapan mingguan. Untuk memacu kami belajar, kelompok-kelompok kecil dibentuk, masing-masing dengan anggota yang telah beliau tentukan.
Kelompok belajar ini punya dua tujuan: meningkatkan pemahaman pelajaran dan, diam-diam, menjadi ajang “menyambi” kegiatan lain. Sambil menyelam minum air, begitu kami menyebutnya. Kadang, waktu belajar malah berubah jadi sesi korupsi kecil-kecilan—mampir ke kelompok sebelah untuk “apel”, ngemil, atau sekadar bergosip. Tapi kami tetap memastikan daftar hadir kelompok terisi penuh setiap pagi, laporan wajib ke Pak Rohman.
Kelompokku terdiri dari lima cewek: aku, Dina, Santi, Rini, dan Sulis. Jarak rumah kami yang berdekatan memudahkan kami berkumpul setiap malam setelah Isya hingga pukul setengah sembilan. Kami merasa lebih bebas tanpa anggota cowok, yang sering bikin suasana jadi kaku saat topik gosip muncul.
Aku, Ria, adalah tipe yang pendiam tapi suka diam-diam “beraksi”. Dina si pemalu dan gengsian; Santi yang paling telaten mengajarkan matematika tapi gampang kesal kalau aku tak paham; Rini, teman sejiwaku dalam segala keisengan; dan Sulis, si pendiam yang selalu membawa cemilan untuk menyelamatkan malam kami dari kebosanan belajar.
Namun, cerita tak berhenti di kelompok belajar. Ada rutinitas tanya jawab pagi yang selalu membuat kami waswas. Setiap siswa wajib bertanya dan menjawab seputar materi yang telah ditentukan sebelumnya. Kalau tak bisa menjawab, ya harus menjawab sendiri pertanyaan itu sambil jadi tontonan seisi kelas.
“Pagi nanti aku sama kamu, ya. Jangan kasih pertanyaan susah, oke?” ancam Dika pada Nana suatu pagi.
“Tentu, asal kamu nggak cari masalah duluan,” balas Nana ringan.
Aku pun sering jadi korban Eko, si jahil yang tak pernah menepati janji. Dia suka memanfaatkan perjanjian soal pertanyaan, lalu membalasnya dengan mengajukan pertanyaan yang sengaja susah. Balas dendam menjadi kepuasan tersendiri. Saat dia kelimpungan menjawab pertanyaanku, aku hanya bisa tersenyum puas.
“Rasakan itu, Eko! Hahaha,” ejekku saat jam istirahat.
Namun, di balik itu semua, ada satu sosok yang membuatku salah tingkah: Adit. Anak manis dengan otak encer itu selalu berhasil membuatku kikuk. Tapi dia sudah punya gebetan. Aku tahu itu. Rumah gebetannya pun hanya satu kilometer dari rumahnya, tetangga desa.
Masalah muncul ketika Rini, sahabat sejiwaku, membuat suasana hatiku jadi tak karuan di sekolah. Kejujuran Rini sering kebablasan. Saat aku curhat soal perasaanku ke Adit, Rini justru membeberkannya.
“Ria suka sama kamu, katanya kamu tuh tipe dia banget,” ujar Rini pada Adit.
Mendengar itu, aku refleks mencubit tangan Rini. “Mulut kamu itu, lho! Harusnya diplester, kalau perlu dilakban sekalian. Gimana sekarang? Harga diriku sebagai cewek sudah habis!”
Bukannya merasa bersalah, Rini malah santai. “Ya, harusnya senang dong. Sekarang hatimu sudah lega, kan?”
Aku penasaran. “Terus, dia bilang apa, Rin?” tanyaku, setengah berharap jawaban yang membuatku bahagia.
“Katanya kamu itu… itu… seperti pisang goreng,” jawab Rini, bisik-bisik sambil menahan tawa.
Aku melongo. “Pisang goreng? Maksudnya apa? Kurang tepung? Kurang minyak? Gosong?!”
Rini tertawa terbahak-bahak. “Nggak tahu, itu interpretasi kamu sendiri!”
Aku hanya bisa menghela napas. “Iya, aku memang seperti pisang goreng, tapi pisang goreng juga punya hak untuk jatuh cinta…” lirihku sambil menunduk.
Rini memelukku, mengusap pundakku, lalu menggoda lagi. “Yuk, cari pisang baru! Mau pisang raja, pisang ambon, atau pisang madu?”
“Riniiii!” teriakku, mengejarnya yang berlari ke arah taman.
Aku tertawa, meski dalam hati bertanya-tanya: apakah cintaku ini hanya akan menjadi cerita diam-diam yang tak pernah terucap?
Sosoknya yang kocak selalu menjadi alasan aku merindukan kehadirannya. Meskipun rumah kami tidak terlalu jauh, nyatanya kesibukan di sekolah yang berbeda membuat pertemuan menjadi langka. Sesekali kami bertemu di kegiatan remaja masjid, berkumpul sambil bercerita tentang sekolah baru masing-masing. Tapi cerita-cerita itu tak pernah seseru dulu, saat kami selalu bersama.
Rini, satu-satunya teman yang paham sifatku, kini tak lagi ada di dekatku. Jika dulu dia menjadi mak comblang yang lihai, kini aku harus menanggung perasaan ini sendirian. Dulu ada Adit, sekarang Kak Danu. Ah, aku sering malu pada diriku sendiri. Begitu mudahnya aku terpesona.
“Sudahlah, tidak ada yang salah,” batinku. “Lagipula, aku dan Adit tak pernah pacaran. Kata move on bahkan tak berlaku—itu hanya kenangan masa kecil yang sudah kadaluarsa.”


Malam itu, aku memastikan semua dokumen dan persyaratan untuk mendaftar ke SMP sudah lengkap. Aku cek berulang kali, takut ada yang tertinggal. Semua sudah rapi tersimpan di dalam map plastik biru. Aku merasa lega, walau tetap ada sedikit gugup—momen ini terasa penting.
Esok paginya, sesuai janji, aku bertemu dengan beberapa teman sekelas di depan gang. Kami sepakat untuk mendaftar bersama, tanpa diantar orang tua. Sepeda menjadi andalan kami. Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh, hanya sekitar 20 menit. Kami mengayuh sepeda sambil bercanda, mencoba mengusir rasa gugup.
Setibanya di sekolah, suasana terasa menenangkan. Deretan nama dan angka NEM terpampang rapi di papan pengumuman. Aku menahan napas saat memeriksa angka itu. 38 koma. Aman. Rasanya seperti batu besar di pundakku terangkat. Setelah menyerahkan semua berkas kepada panitia, aku dan teman-teman menyempatkan diri berkeliling sekolah. Halamannya luas, dipenuhi pohon-pohon rindang. Udara sejuk menyapa, membawa semacam harapan baru.
Hari itu hanya awal dari perjalanan panjang.
Setahun kemudian, aku sudah terbiasa mengenakan seragam biru putih. Duduk di bangku kelas 1E, aku berusaha beradaptasi. Untungnya, beberapa teman SDku juga sekelas—mereka adalah teman-teman lama yang pintar dan kalem. Tahun pertama berjalan mulus, meski pelajaran mulai terasa menantang.
Namun, semuanya berubah saat aku naik kelas dua. Penempatan kelas diacak. Aku harus berpisah dengan teman-teman lama dan mulai berkenalan lagi dengan wajah-wajah baru. Adaptasi kali ini terasa lebih sulit. Tidak hanya harus memahami karakter baru, tapi juga menyesuaikan diri dengan realitas keluarga yang perlahan berubah.


Ekonomi kami mulai goyah. Aku menyadari ada tiga adik yang juga membutuhkan perhatian, sama sepertiku. Kebutuhan mereka bertambah, sementara kemampuan keluarga untuk memenuhi segalanya semakin terbatas.
Aku tahu aku harus melakukan sesuatu.
Setelah memutar otak, aku memutuskan untuk berjualan camilan di sekolah. Nanas yang manis dan segar kupilih sebagai andalan. Setiap malam, aku membantu Emak memotong dan membungkusnya dengan plastik kecil. Selain itu, aku juga membawa keripik singkong balado—gurih, manis, dan pedas.
Awalnya, aku malu. Membawa dagangan ke sekolah terasa canggung. Tapi lama-kelamaan, rasa malu itu hilang digantikan rasa bangga. Dari hasil jualanku, aku bisa menambah uang saku untukku dan adik-adikku. Setiap sen yang kukumpulkan terasa sangat berarti.
Tentu, hari-hariku tak selalu mulus. Ada saja ulah teman-teman yang membuatku tersipu, kadang kesal.
“Salam dong, untuk penjual nanas yang manis!” begitu bunyi tulisan di papan tulis suatu pagi. Kata-kata itu tertera besar, memenuhi hampir seluruh permukaan papan. Aku hanya menghela napas sambil tersenyum tipis.
Jika aku tiba lebih awal, tulisan itu langsung kuhapus. Tapi kalau aku terlambat? Wah, tamat riwayat. Teman-teman langsung heboh.
“Cieee! Penjual nanas yang manis! Nanasnya yang manis atau orangnya?” seru mereka sambil tertawa.
Aku tidak marah. Sebagai anak SMP, aku tahu itu hanya lelucon. Meski begitu, di dalam hati kecilku, kadang ada rasa hangat—semacam salah tingkah yang sulit dijelaskan.
Di tengah kesibukan belajar, jualan nanas justru memberi warna. Saat istirahat pertama, daganganku selalu ludes. Bahkan, teman-teman sering membeli dengan cara yang lucu. Mereka menyelipkan kertas kecil di bangku, seperti surat rahasia:
“Beli nanas dua. Uangnya nanti ya.”
Kertas itu berpindah tangan secara estafet. Lalu, nanas yang sudah dipotong rapi juga dikirim dengan cara serupa, lengkap dengan lirikan mata ke kiri dan kanan—takut ketahuan guru. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
“Eh, makan keripiknya pelan-pelan ya. Jangan sampai kriuk-kriuknya kedengaran Bu Guru!” tulisku balasan di kertas mereka.


Setiap malam, aku duduk bersama Emak, mempersiapkan dagangan untuk esok hari. Tangan Emak yang mulai keriput bergerak perlahan, mengupas nanas dengan hati-hati. Hasil jualanku selalu kuserahkan padanya.
“Maafin Emak ya, Nak,” katanya sambil mengusap kepalaku dengan lembut. Air mata mengalir di pipinya, membuatku tercekat.
“Enggak, Mak. Aku senang bisa bantu,” jawabku pelan, mencoba menahan tangis.
Dagangan sederhana ini bukan sekadar usaha kecil. Ini caraku membantu keluarga, caraku menunjukkan bahwa aku peduli. Setiap potongan nanas dan keripik singkong yang kubawa ke sekolah mengajarkanku banyak hal—tentang kerja keras, tanggung jawab, dan betapa berharganya setiap rupiah yang dihasilkan dari usaha sendiri.
Aku tidak pernah merasa malu. Sebaliknya, aku bangga. Bagiku, ini lebih dari sekadar jualan. Ini adalah bagian dari perjalanan hidupku—perjalanan seorang anak SMP yang baru belajar menghadapi dunia.


Kisah di kelas dua D menjadi babak baru dalam perjalanan menimba ilmu. Hari-hariku penuh cerita, kadang lucu, kadang membingungkan.
Suatu hari, Bu Tuti Riyani, guru Bahasa Indonesia kami, memanggilku dengan nada serius.
“Ria!”
“Iya, Bu!” jawabku cepat.
“Kamu tidak punya kertas ulangan yang bagus?” tanyanya sambil mengangkat selembar kertas di tangannya.
Aku tertegun. “Maksudnya, Bu?”
“Kertasmu kucel sekali. Kotor juga. Kenapa?”
Aku bingung, karena seingatku kertas ulangan itu baik-baik saja.
Seisi kelas mendadak sunyi. Tatapan Bu Tuti beralih dari satu wajah ke wajah lain, penuh selidik.
“Siapa yang tadi memeriksa ulangannya Ria?” tanyanya lagi, kali ini lebih tegas.
Tak ada yang menjawab. Beberapa teman terlihat gelisah; ada yang berpura-pura membuka buku, ada yang sibuk memainkan pulpen, dan ada pula yang tiba-tiba merapikan kerudungnya.
Akhirnya, sebuah tangan terangkat perlahan. “Saya, Bu,” jawab Bayu dengan suara nyaris berbisik.
Bu Tuti menatapnya tajam. “Bayu, kertas ulangannya Ria memang seperti itu?”
Bayu menunduk. “Tidak, Bu.”
“Lalu kenapa bisa jadi seperti itu?”
“Saya remas-remas, Bu… lalu saya injak.”
Jawaban itu membuat beberapa teman menahan tawa, tapi suasana tetap tegang.
“Memangnya ada yang salah dengan kertas ulangannya?”
“Tidak, Bu…”
Bu Tuti terdiam sejenak, kemudian kembali ke meja guru sambil tersenyum. Ia menatapku dengan lembut. “Untung nilainya bagus, sembilan seperempat,” ujarnya, membuat kelas kembali hidup dengan tawa kecil.
Masa-masa remaja memang penuh kejadian aneh dan konyol. Ada-ada saja tingkah teman sekelas, dari yang lucu sampai yang menyebalkan. Tapi bagiku, semuanya adalah bagian dari cerita indah yang kelak akan kurindukan.
Bu Tuti adalah salah satu sosok yang paling berkesan. Ia tinggi besar, berkacamata, dengan kulit kuning langsat dan senyum yang selalu membuat kami nyaman. Cara mengajarnya unik, membuat pelajaran terasa mudah. Tapi, ketegasannya membuat tak seorang pun berani mengantuk di kelas.
Kenangan paling berdebar datang saat kegiatan Pramuka. Kak Danu, kakak kelas yang kutaksir diam-diam, berdiri di depan kelas. Dengan suara yang tenang, ia menjelaskan bagaimana cara menandu orang saat hiking.
Di mataku, segalanya terasa salah. Jantungku berdegup kencang, tanganku dingin, tapi tak ada seorang pun yang menyadari kegugupanku. Tatapan kami sempat bertemu, dan senyumnya—lesung pipit yang menghiasi wajahnya—membuatku meleleh.
“Inikah yang namanya jatuh cinta?” gumamku dalam hati.
Namun momen itu tak berhenti di sana.
Saat di kantin sekolah, tiba-tiba Kak Danu berdiri di sebelahku. Kami sama-sama hendak mengambil gorengan. Tangannya hampir menyentuh tanganku, tapi aku buru-buru menarik diri.
“Silakan dulu,” katanya ramah, dengan senyum khas yang membuat matahari di luar terasa lebih terang.
Aku mengambil gorengan dengan gugup, lalu segera bergegas pergi bersama Widi dan Fera. Mereka terus mengobrol sambil menenteng es teh, tidak menyadari gejolak di hatiku.
Aku tak pernah mampu mengungkapkan perasaan. Lebih mudah bagiku untuk mengagumi dalam diam, menyimpan semuanya rapat-rapat. Hingga akhirnya, Kak Danu lulus dan meninggalkan seragam biru putihnya.
Perasaan itu tetap aman, terkunci dalam hatiku. Hanya sesekali aku membukanya, sekadar untuk mengenang manisnya masa remaja.


Kelas tiga E seperti sebuah reuni kecil yang tak terencana. Setelah setahun terpisah, kami, para penghuni kelas satu E dulu, kembali disatukan. Di ruangan baru ini, waktu terasa seperti benang yang sedang dijalin ulang—mempererat tali kebersamaan, mengobati kerinduan, dan menghadirkan tawa yang terasa lebih dewasa.
Namun, di sela kebersamaan itu, sosok Danu sesekali menyelinap di pikiranku. Aku berusaha mengabaikan bayangan itu, tapi nyatanya sulit. Masih teringat jelas senyumnya di kantin sekolah, semanis es teh dengan gula yang pas. Segar. Manis. Dan memikat. Ya, aku naksir dalam diam, sebuah rasa yang kupendam dengan rapi.
Hari-hari di kelas tak selalu menyenangkan, terutama saat pelajaran Bahasa Inggris. Suara lembut ibu guru membuat suasana kelas seperti diayun lagu pengantar tidur. Angin yang masuk dari jendela hanya menambah rasa kantuk. Dengan segala cara, aku berusaha melawan. Kujewer telingaku sendiri, kuganjal kelopak mataku dengan jari. Tapi tetap saja, perlahan kantuk itu menang.
Suasana kelas diwarnai berbagai cerita kecil. Ada Alam dan Sarah yang sering terlihat berdua, diam-diam mencuri perhatian teman sekelas. Entah bagaimana cinta lokasi itu bermula. Mungkin karena mereka selalu berada di tempat yang sama setiap hari, berbagi bangku di tengah kelas. Udin, ketua kelas kami yang terkenal tegas, sering memantau mereka dengan tatapan yang setengah iri. “Cieee…” begitulah komentar spontan teman-teman setiap kali ada adegan yang dianggap romantis.
Ada juga Aldi dan Raisa. Aldi, si usil tapi cerdas, sering membuat kelas gaduh, namun selalu mampu menjawab soal-soal sulit yang diberikan guru. Raisa, gadis manis yang jadi sasarannya, hanya tersenyum setiap kali Aldi mendekatinya. Interaksi kecil ini menjadi hiburan di tengah pelajaran yang kadang membosankan.
Hari itu, aku panik. Tugas elektronika harus dikumpulkan, tapi bukuku entah di mana. Aku mengaduk-aduk tas, berharap buku itu muncul, namun nihil. Rasanya ingin menangis. Mau pulang mengambil buku juga tak mungkin. Jarak rumah dan sekolah terlalu jauh.
“Kamu kenapa?” Suara itu mengejutkanku.
Vino, teman sekelas yang terkenal baik hati, berdiri di sampingku sambil membawa dua buku. Salah satunya, buku elektronika miliknya.
“Sudah, tidak usah dicari. Pakai buku ini saja. Tugasnya sudah selesai, kamu tinggal salin saja, cepat!” katanya ringan.
Aku tertegun. Sosok Vino, yang sering jadi andalan saat ulangan, kini hadir bak pahlawan penyelamat di saat genting. Rasa terima kasihku perlahan berubah menjadi rasa lain yang tak bisa kuceritakan. Tapi aku tahu, perasaan itu tak seharusnya ada. Vino sudah lama memendam hati pada Shinta, gadis cantik dari kelas tiga B.


Masa SMA membawaku pada perkenalan baru, termasuk dengan Kak Angga, kakak kelas yang aktif di OSIS. Kami pertama kali bertemu dalam acara seni beladiri pencak silat yang aku ikuti. Dengan penuh semangat, aku mematahkan batako dan besi dragon dalam atraksi. Kak Angga memperhatikan setiap gerakanku dari kejauhan.
Hari-hari berlalu, dan Kak Angga mulai sering hadir di tempat latihanku. Tatapannya yang tajam selalu membuatku salah tingkah. Sampai suatu sore, dia menghampiriku setelah latihan dan menyodorkan amplop kecil berwarna oranye cerah.
“Bukanya nanti di rumah, ya?” katanya sambil tersenyum.
Amplop itu berisi sepucuk surat singkat: “Dek Ria yang manis, bolehkah kita kenalan lebih dekat? Lebih dari sekadar teman?”
Kak Angga bukan hanya ramah, tapi juga memiliki daya tarik yang sulit diabaikan. Sayangnya, aku memilih untuk menjaga jarak. Latar belakang kami terlalu berbeda. Keluarganya mapan, sementara aku berasal dari keluarga sederhana.
“Bukan aku tidak suka, Kak. Tapi aku sadar, perjalanan kita masih panjang. Biarlah waktu yang menjawab,” kataku suatu hari saat dia meminta kepastian.
Kak Angga hanya tersenyum tipis, menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.
Hari-hari semakin sibuk. Aku fokus belajar untuk ujian kelulusan, sementara Kak Angga melanjutkan kuliahnya di jurusan kesehatan. Meski perasaan itu tak pernah benar-benar hilang, aku tahu kami harus berpisah.
Ketika ijazah kelulusan sudah di tangan, aku tahu cita-citaku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi harus terkubur. Biaya menjadi penghalang. Aku pun memutuskan untuk menyudahi kisah ini, meski Kak Angga mencoba bertahan.
“Apakah cinta harus memandang status sosial?” tanyanya.
Pertanyaan itu tak pernah kujawab. Hingga akhirnya, kami berjalan di jalur yang berbeda, membawa kenangan yang tak akan pernah terlupakan.
Dan seperti sebuah buku, bab ini berakhir. Tapi aku yakin, cerita hidup kami masih panjang, dengan bab-bab baru yang menunggu untuk ditulis. []
*Buruh migran Indonesia di Hong Kong

(Visited 64 times, 3 visits today)
Avatar photo

By Sarmini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.