Namanya Caba. Dengan langkah kaki agak tergesa, dia masuk ke ruang tunggu A4 di terminal 1, Soekarno Hatta. Dengan gerak cepat pula dia menaruh tas di salah satu kursi, lalu ke ruang bawah untuk salat subuh. Memang dia tidak sempat salat subuh di hotel karena khawatir ketinggalan pesawat pagi itu, ke Jogja.
Usai salat, dia kembali ke tempat duduknya, membuka kotak early breakfast dari hotel, lalu perlahan mengunyah 3 potong roti rendah kadar gula. Beberapa saat roti itu telah berpindah dari kotak ke dalam perutnya.
Beberapa menit kemudian, sinar mentari pagi tampak di belakangnya, yang dia rasakan berasal dari arah Barat. Memang, Caba selalu merasa ketika masuk ke terminal 1, semua ruang tunggu menghadap ke Barat. Dia pernah mendengar orang menyebutnya, disorientated, atau kehilangan arah. Sejatinya, terminal 1 berbentuk daun, di mana ruang tunggunnya A1 sampai A6 menghadap ke Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya lalu ke Barat.
Dia bertasbih melihat betapa agungnya cahaya mentari yang masuk melalui jendela ke ruang tunggu. Dan membayangkan betapa agung dan besarnya sang pencipta cahaya itu.
Satu per satu calon penumpang masuk ke ruang tunggu, disambut cahaya tanpa pamrih. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada satu sosok, yang menurutnya lain dari pada yang lain. Saat tertimpa cahaya, aura sosok ini sedikit berbeda. Dengan mata sedikit terpana, dia membayangkan satu wajah yang pernah hadir di bumi pertiwi, suara tinggi melengking, dan sampai kini kata orang belum ada yang menyamainya, namun terlalu cepat dipanggil Yang Maha Kuasa. 1995.
Caba memperhatikan sosok itu melangkah, memalingkan wajah ke sana ke mari mencari tempat duduk, lalu menemukan satu tempat di depannya. Malu-malu Caba melihat ke arah lain, namun saat sosok yang dikaguminya itu menghempaskan tubuhnya dengan lembut di atas kursi, Caba tak kuasa menahan arah matanya untuk melihatnya, meski hanya sepersekian detik.
Namun tatapan yang super singkat itu telah memberikan inspirasi yang banyak di kepala Caba. Dia, yang menganut paham satu foto lebih dari sejuta kata, langsung membiarkan otaknya liar ke sana ke mari. Mencari inspirasi untuk mengabadikannya dalam sebuah diorama pemikiran.
Dan wajah itu, menurutnya memang berbeda dari yang lain, namun lebih istimewanya lagi, saat diterpa sinar mentari pagi dari ‘Barat’, wajah itu memiliki sejuta pesona. “Subhanallah,” ucapnya dalam hati. “Sungguh indah ciptaan-Mu. Engkau menghadirkan sesuatu di dunia berpasang-pasangan. Cahaya mentari dan wajah mempesona.”
Entah berapa lama dia mencuri pandang ke arah wajah itu, sambil pikirannya mengembara liar. Terkadang alam pikirannya di jalur yang benar, namun di saat lain tersesat ke semak-semak penuh onak. Kadang menurun, lain waktu mendaki. Caba cemburu dengan cahaya mentari itu. Tiba-tba dia ingin berubah jadi cahaya mentari.
Lamunan liarnya tiba-tiba terhenti, saat telinganya menangkap suara dari mayapada, menyebut nomor penerbangannya. Perlahan, dan dengan sedikit kesal campur lega, dia berdiri. Meraih tas ranselnya lalu berjalan menuju antrean ke pintu keluar. Sebelum melangkah, dia masih sempat mencuri pandang ke wajah itu, dan ternyata cahaya mentari masih belum mau beranjak dari sana. Dia semakin cemburu, dan rasa cemburunya itu dibawa sampai duduk di dalam pesawat, di kursi 17E.
Good night.
Tapi koq good night?
Kan tadi dia merasa cahaya mentari dari Barat? Entar lagi malam.
Oh iya yaaa…
Dia mencoba berdamai dengan pikirannya. Lalu tidur.
Dari Soeta ke YIA, 19 Oktober 2024