Oleh: Yusriani Nuruse
Ayah, usiamu kini semakin menua. Namun, aku masih ingin Ayah selalu ada di sisiku, menemani setiap langkahku.
Sejak kecil, ketika aku baru berusia dua tahun, Ayahlah yang selalu ada untukku. Ayah tidur bersamaku dan kakakku, sementara Ibu sibuk mengurus adik-adikku yang lahir dengan jarak hanya dua hingga tiga tahun. Ikatan batin antara aku dan Ayah begitu kuat. Aku masih ingat bagaimana Ayah dengan sabar dan penuh kasih mengurus kami, bahkan di tengah malam ketika salah satu dari kami ngompol.
Ayah mengganti sarung kami tanpa keluh kesah, karena waktu itu belum ada popok sekali pakai. Pagi harinya, Ayah menemani kami mandi di sungai, sambil mencuci sarung yang terkena ompol. Usai mandi, kami sarapan nasi goreng yang sudah disiapkan Ibu, sebelum Ayah berangkat bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar.
Saat kami kecil, Ayah sering mengantar kami ke sekolah. Aku masih ingat bagaimana kami berempat dibonceng di sepeda motor Ayah yang sederhana. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar tiga kilometer. Saat motornya mogok, kami berjalan kaki bersama Ayah, meskipun itu melelahkan.
Malam harinya, setelah makan bersama dengan lauk sederhana—biasanya telur yang dibagi rata—Ayah mengajari kami belajar. Waktu itu, kami hanya menggunakan lampu petromaks atau pelita dari kaleng susu dengan sumbu, yang terkadang membuat hidung kami menghitam oleh asapnya. Namun, kami tetap bersyukur. Lambat laun, listrik mulai masuk ke desa kami, meskipun bergiliran. Ayah bahkan membeli televisi hitam putih untuk keluarga.
Malam Minggu menjadi waktu yang spesial. Rumah kami ramai dengan tetangga yang datang menonton acara hiburan atau film akhir pekan di televisi. Jika listrik mati, kakak menggunakan aki untuk menyalakan televisi. Namun, ada kalanya aki tiba-tiba habis di tengah tayangan, dan kami semua harus bersabar.
Di hari libur, Ayah mengajarkan kami banyak hal. Kami belajar mencuci pakaian sendiri di sungai. Ayah juga membantu kami membuat bendungan kecil dari batu-batu sungai, membentuk kolam renang mini. Tawa dan keceriaan masa kecil bersama Ayah adalah kenangan indah yang takkan pernah kulupakan.
Ayah…
Kenangan bersamamu tidak akan pernah pudar oleh waktu.
Ayah…
Maafkan aku jika sering membuatmu kecewa, jika aku belum mampu membahagiakanmu seperti yang seharusnya.
Ayah…
Kini, ketika aku kehilangan sandaran lainnya, Ayahlah tempatku kembali bersandar, bersama cucumu yang membutuhkan kasih sayangmu.
Ayahku, kau adalah cinta pertamaku. Tetaplah di sini, temani kami. Jangan pernah tinggalkan kami.