Ketika PDIP memutuskan untuk mengusung Pramono Anung dan Rano Karno sebagai pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta 2024-2029, rasa kecewa langung menyelimuti sebagian besar simpatisan Anies Baswedan (AB). Merasa dikhianati, para pendukung langsung menggaungkan ‘coblos semua’. Tujuannya, siapapun pemenang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta, tidak akan menang mayoritas, sehingga tidak terlegitimasi oleh rakyat Jakarta.
Selama beberapa pekan loyalis AB terus mengkampanyekan hal ini ke pemilih di eks DKI tersebut. Bukan hanya coblos semua, mereka juga kabarnya akan membawa spidol besar dan menuliskan nama AB di kertas suara. Jadi selain merusak kertas suara, mereka ingin menyampaikan bahwa AB lah yang mereka dukung sebagai Gubernur Jakarta untuk kedua kalinya, meskipun tidak didukung partai politik.
Pada saat itu beberapa lembaga survey memprediksi warga Jakarta yang akan mengikuti imbauan ini akan mencapai angka sekitar 63 persen. Seriously, it’s a big number.
Ternyata dari jumlah ini, sebagian besar menantikan sikap AB selanjutnya. Apakah tetap netral sambil menjunjung idealisme, atau akan mendukung salah satu Paslon. Satu yang pasti, mereka tetap menunggu apapun keputusan yang diambil oleh tokoh yang diidolakan untuk jadi pemimpin Indonesia, suatu saat nanti.
Pada hari-hari pertama usai pendaftaran di KPU, tidak ada pernyataan sikap yang jelas dari ketiga Paslon Jakarta untuk mengajak mantan Gubernur DKI ini bergabung dalam kubu mereka. Hanya Pramono Anung yang sempat menyinggung AB. Itupun menjawab pertanyaan wartawan dan menegaskan bahwa di komposisi tim kampanyenya tidak ada nama mantan Gubernur DKI, tanpa menyebut nama.
Meski demikian, bukan berarti tidak ada pergerakan sama sekali. Lobi-lobi politik tetap dilakukan Paslon untuk mendekati AB. Ada yang terang-terangan, dan ada pula yang malu-malu. Atau gengsi. Dan yang paling jelas terlihat (mesksipun tidak vulgar), adalah Paslon Pramono – Rano Karno.
Media mampu membaca, netizen bisa memprediksi, dan lembaga survey dengan jeli tetap memasukkan nama AB di setiap polling, meskipun dia bukan termasuk kontestan Pilgub Jakarta 2024.
Lalu akhirnya, yang ditunggu muncul jua di permukaan. Kurang dari sepekan sebelum hari pencoblosan, AB, sebagaimana telah diperkirakan banyak pihak, bergabung dengan Pramono – Rano Karno dan mendeklarasikan dukungan dengan pasangan yang disebutnya Mas Pram dan Bang Doel itu. Alasannya, hanya pasangan ini yang bisa dan mau meneruskan program kerjanya selama jadi Gubernur DKI Jakarta, 2017-2022.
Keputusan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan pengikut AB, namun lebih banyak yang mendukung secara mutlak. Alasan utamanya, mereka mendukung penuh AB, dan pilihan apapun yang diambil, akan diikuti tanpa syarat. Alasan lain, karena koalisi KIM sudah didukung oleh mantan Presiden Joko Widodo, sehingga dukungan terhadap AB merupakan bentuk perlawanan terhadap rezim yang sudah berkuasa selama 10 tahun terakhir.
Sebagian kecil memberikan dukungan dengan disertai catatan, sejauh mana PDIP bisa dipercaya, dan apakah nantinya tidak meninggalkan AB setelah terpilih. Soalnya jelang penetapan Paslon September lalu, berhembus kabar dengan kencang bahwa PDIP akan mencalonkan AB berpasangan dengan Rano Karno. Nyatanya di hari akhir PDIP mengumumkan informasi yang berbeda.
Meskipun dalam hal ini PDIP tidak sepenuhnya salah. Karena memang dari awal tidak ada pernyataan yang jelas dari Megawati untuk memilih siapa. Pernyataan akan mencalonkan AB datang dari beberapa petinggi partai lalu digoreng oleh media, dan diaminkan warganet. Sementara semua orang tahu, bahwa berbeda dengan partai lain, ada penentu tunggal di PDIP dan memiliki suara mutlak. Yaitu Presiden RI ke-5, Megawati Sukarno Putri.
Catatan lain yang tentu masih membekas di hati para pendukung, bahwa AB pernah di posisi itu, ketika dijadikan juru kampanye pada Pilpres 2014. Setelah menang, dia sempat diangkat jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, lalu ditinggalkan.
Lalu bagaimanakah sikap PDIP setelah Pilgub Jakarta, jika seandainya mereka menang? Apakah hanya menjadikan AB sebagai votegetter lalu meninggalkan, atau betul-betul akan meneruskan program kerjanya? Menarik untuk dinantikan.
Yang jelas, keputusan mendukung salah satu Paslon merupakan bukti bahwa AB memiliki jiwa besar, mengesampingkan rasa sakit hati, dan berjuang demi Jakarta yang lebih baik. Demi masyarakat yang mencintai dan masih menginginkannya untuk, suatu saat nanti, akan kembali ke pemerintahan, menjadi pemimpin.
Jangan lupa, AB memiliki basis massa, konstituen, pendukung, loyalis, dan pemilih, yang semuanya itu fanatik. Stigma menyudutkan seperti Anak Abah, keturunan Yaman, dan orang yang susah dinasehati sama sekali tidak menggoyahkan pendirian. Bagi mereka, AB sebagai pemimpin negeri seperti mengulang sejarah rakyat Majapahit yang pada saat itu dipimpin Hayam Wuruk sebagai raja ke-4, lebih dari 6 abad silam.
No matter how, Jakarta tetaplah Jakarta. Meski status Daerah Khusus Ibukota (DKI) sudah dicabut, tidak lantas mengurangi daya tarik dan pesonanya. Dan keputusan AB ini secara politik bisa diterjemahkan sebagai langkah awal perjalanan panjang menuju singgasana RI tahun 2029.
Catatan: penulis memilih nama Anies Baswedan dengan akronim AB, bukan Anies Rasyid Baswedan (ARB), untuk membedakan dengan ARB yang lain, yaitu Abu Rizal Bakrie.
Paser-Kaltim, 24 November 2024