Oleh: Ruslan Ismail Mage*
Sebagai penulis buku Generasi Emas: Pemikir Besar Minangkabau, saya kerap tenggelam dalam perenungan setiap kali menjumpai narasi tentang tokoh-tokoh besar bangsa, terlebih saat menyaksikan cuplikan video singkat yang mengulas pemikir-pemikir besar Nusantara. Dalam kesunyian itu, saya tafakur, mensyukuri kesempatan pernah menjelajahi literasi yang menggali kebesaran pemikiran dan kearifan adab para tokoh arsitek kemerdekaan bangsa asal Minangkabau.
Melalui perjalanan literatur sejak 1920 hingga hari ini, saya merasa seakan berdialog secara imajiner dengan mereka. Pena saya menjadi saksi bisu, menemani perbincangan khayali yang kerap menggugah jiwa.
Bung Hatta, sang proklamator, mengajarkan kepada saya bahwa menjadi pemikir besar tidak memerlukan deposito besar. Dari H. Agus Salim, saya belajar seni berdebat yang menginspirasi banyak orang di forum-forum strategis. Muhammad Yamin menunjukkan bagaimana merumuskan ide besar dengan cemerlang, seperti saat ia merancang konsep Sumpah Pemuda.
Muhammad Natsir, melalui Mosi Integral-nya, mengajarkan betapa pentingnya visi besar dalam mempersatukan bangsa. Sultan Sjahrir memetakan jalan Sumpah Pemuda sebagai gerbang emas menuju kemerdekaan. Sementara Syarifuddin Prawiranegara, meski sering dilupakan sejarah, tetap berdiri tegak sebagai pemimpin darurat dengan jiwa besar.
Rohana Kudus mengilhami saya tentang keberanian perempuan dalam dunia jurnalistik, sebagai perempuan pertama yang mendirikan surat kabar. Siti Manggopoh menegaskan keberanian perempuan Minang yang tak gentar menghadapi penjajah, hingga ia dijuluki singa betina. Dan Rasuna Said, dengan suara lantangnya, menjadi ikon singa podium sekaligus pelopor jurnalisme warga yang menjadikan pena sebagai senjata perjuangan.
Namun, di antara semua dialog itu, momen paling menggetarkan jiwa saya adalah saat “bertemu” Buya Hamka. Dalam bisikan imajiner itu, ia berkata:
“Dendam adalah jalan tol menuju kehancuran. Kekuasaan, kekayaan, gelar akademik, hingga karya-karyamu akan hangus bila bara dendam kau pelihara dalam hatimu. Bersihkan jiwamu dari dendam, karena ia hanya akan menghalangimu menjadi manusia paripurna.”
Buya Hamka adalah cermin dari pesan itu. Dalam lembaran sejarah hidupnya, beberapa orang pernah membenci dan menganggapnya musuh. Namun, Buya memilih jalan yang berlawanan dari dendam. Ia menyhalati mereka yang membencinya ketika mereka wafat, bahkan ada yang menghembuskan napas terakhir di pangkuannya. Ada pula yang datang meminta diislamkan olehnya. Hamka, dengan segala kebesaran jiwanya, mengajarkan arti manusia paripurna: tanpa dendam, tanpa kebencian.
Buya Hamka adalah teladan keberanian spiritual, yang membersihkan hati dari amarah agar tetap menjadi lentera bagi umat. Ia bukan sekadar seorang ulama besar, tetapi manusia yang menunjukkan kebesaran jiwa melalui setiap tindakannya.
Terima kasih, Buya. Engkau tidak hanya menulis buku-buku besar, tetapi juga mencatatkan pelajaran hidup yang abadi di hati banyak orang.
*Penulis adalah akademisi, inspirator, dan penggerak. Ia telah menulis buku-buku motivasi dan kepemimpinan.