Oleh : Ruslan Ismail Mage*
Pada awal kekuasaan Orde Baru, pemerintah butuh stabilitas politik dan keamanan untuk bisa memutar roda ekonomi bangsa keluar dari peristiwa kelam G.30S/PKI. Sang arsitek pembangunan Orde Baru menyadari benar kalau salah satu yang bisa mengusik kekuasaan menjalankan program pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang, adalah pemikiran dan gagasan kritis yang datangnya dari balik gerbang kampus.
Mengantisipasi tumbuh suburnya sikap kritis dari mahasiswa, pemerintah kemudian mengeluarkan Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) di semua perguruan tinggi di Indonesia. Dunia kampus harus bersih dari pemikiran kritis yang bisa mengusik kekuasaan. Pokoknya kegiatan mahasiswa harus terpusat pada pembelajaran formal, dan gerakan mahasiswa fokus pada bidang sosial dan budaya.
Itulah sebabnya fasilitas kampus seperti lapangan sepak bola, gedung olah raga, panggung pentas seni, dan sarana pendukung lain disiapkan semua di kampus. Tujuannya agar mahasiswa sehabis belajar dalam kelas akan sibuk berolahraga dan berkesenian. Setelah itu capek lalu tidur nyenyak untuk kemudian bangun besok paginya kembali menjalankan rutinitas belajar, berolahraga, dan berkesenian. Dengan demikian diharapkan mahasiswa tidak punya lagi waktu memikirkan persoalan yang dihadapi bangsanya. Akhir kata, kebijakan NKK/BKK berhasil memandulkan gerakan mahasiswa waktu itu.
Apa yang terjadi di era Orde Baru serupa tetapi tidak sama dengan Orde Reformasi. Serupanya karena sama-sama memandulkan pemikiran kritis civitas akademika. Tidak samanya, kalau Orde Baru yang dimandulkan jiwa kritis dan daya gugatnya adalah mahasiswa, sementara pada Orde Reformasi ini yang dimandulkan adalah pemikiran kritis dan kebebasan berpikir para dosen. Muncullah istilah intelektual tukang yang hanya bisa mengembek, atau akademisi yang memperkuda ilmunya atas nama kapital, atau para akademisi yang gemar menggunakan logical pallacy dalam melihat realitas sosial.
Hampir semua dosen sekarang, jangankan memikirkan masa depan bangsanya, bisa konsisten saja mengajar sesuai jadwal sudah susah, akibat dikejar setumpuk persyaratan administratif demi kelancaran cairnya tunjangan profesi. Demikian banyaknya tugas-tugas administratif yang dibebankan ke dosen, hingga bisa jadi lupa tugas utamanya lagi sebagai pengajar. Tidak jarang menemui dosen tidak masuk mengajar bukan karena malas, tetapi karena lagi berburu sinta 1, 2, 3, dan 4. Sudah ketemu bayar lagi. Capek deh. Lalu di mana letak nilai-nilai keilmuannya. Belum lagi dosen yang menelantarkan mahasiswanya di kelas karena diam-diam pergi mencari sertifikat pengabdian masyarakat.
Menjadi Buruh Akademik
Entah kebetulan atau tidak, saat menulis catatan ini, seorang kolega Ketua LPPM Universitas Ngurah Rai Bali mengirim pesan, “Kanda, sebagai akademisi kita sekarang benar-benar sudah menjadi buruh”. Ia mengutip tulisan Prof. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum di FHUI yang berjudul “Buruh Dosen” di www.kompas.id 13/4 lalu.
Menurut Prof. Sulistyowati, saat ini dosen menjadi obyek kebijakan yang terus berganti dan merugikan, karena intinya adalah penundukan dosen. Tugas utama dosen hari ini adalah melakukan kegiatan administratif pemerintahan. Dosen wajib melaporkan kegiatannya setiap semester, dilampiri bukti dokumen, diunggah dalam aplikasi yang disediakan pemerintah, dan aplikasinya pun berganti-ganti. Pemenuhan capaian kuantitatif semata itu akan menentukan apakah tunjangan dosen tetap dibayar atau dihentikan.
Sang Guru Besar menegaskan, menjadikan dosen sebagai manusia birokrasi tak ubahnya menempatkan dosen sebagai buruh. Padahal, menurutnya secara filosofis, universitas adalah lembaga khusus karena tugasnya memproduksi ilmu pengetahuan, tidak bisa disamakan dengan lembaga politik ataupun bisnis korporasi, dan harus terbebas dari kepentingan kekuasaan dan uang. Menjadikan dosen sebagai buruh pemerintah melalui berbagai kebijakan sungguh merendahkan martabat dosen.
Kalau mengacu pada pendapat Prof. Sulistyowati di atas, sulit untuk tidak mengatakan, “Saat ini dosen sudah berhasil dimandulkan”. Beban administratif yang terlalu berat dan kebijakan yang berubah-ubah membuat dosen susah mengandung pemikiran dan gagasan besar dalam melahirkan karya-karya besar untuk peradaban bangsanya. Silakan mengejar sinta, saya mengejar cinta lewat karya-karya bukuku. Karena perselingkuhan paling nikmat adalah dengan pena, bisa mencapai klimaks berkali-kali di setiap lembaran karya bukunya. Jadi jangan memilih mandul.
*Akademisi, inspirator dan penggerak, penulis buku-buku motivasi
Dosen sama dengan Buruh?
Duh, miris nian ya Pak Dosen
Bagaimana jadinya kelak para mahasiswa, calon pemimpin bangsa ini?
Agar dosen tidak mandul dan menjadi buruh, tempatkan dosen pada pisisi top management. Seperti awal2 rezim orde baru ; doktor2 dosen Ui pada masa itu dipakai sebagai menteri. Ketua bappenas, ketua BKKBN, kepala Dolog. Di tingkat provinsi juga demikian. Perubahan kondisi RI saat itu meningkat pesat. Sandingksn dosen dengan TNI. Model penempatan pejabat masa2 awal orde baru. Sekarang banyak kalangan eksekutif dan legislatif bertitel doktor dan kiai, tetapi tidak jelas latar belakang pendidikannya bukan dosen pula. Merekalah yg banyak melakukan korupsi. Gaji dosen sudah jauh dibawah kalangan ASN lainnya. Saya lebih suka mengatakan bahwa gaji dosen mungkin sudah cukup, tetapi beberapa ASN instansi lainnys dan anggota legislatif gajinya terlalu jauh di atas dosen. Ini yg berdampak secara psikologis dan prilaku sosial yg masing2 superior dan inferior. Ini yg perlu diperbaiki oleh presiden.