Pasangan suami istri sejatinya harus saling mendukung dalam segala hal. Ketika suami berjuang di luar rumah mencari penghidupan, istri di rumah mendoakan guna perlindungan dari Yang Maha Kuasa dan kelancaran dalam setiap aktifitas. Di dalam menghadapi masa-masa krusial, idealnya keduanya bisa saling bergandengan tangan dan memberi kekuatan satu sama lain.
Namun bagaimana jika mereka berjauhan sementara salah satu sedang berjuang hidup dan mati untuk kehidupan masa depan. Inilah yang terjadi dengan pasangan Latif dan Latifah. Keduanya dipisah jarak ribuan mil dan berbeda pulau ketika salah satu di antaranya, yaitu Latifah sedang berusaha keras menata hidup, berjuang untuk kehidupan masa depan.
Latif sedang dalam tugas yang sangat susah ditinggalkan, sementara Latifah harus berkutat dengan soal-soal ujian yang akan menentukan nasibnya. “Aku hanya bisa mengirimkan doa, dan di kondisi berjauhan, kita isi malam-malam dengan tahajud,” kata Latif sesaat sebelum bergerak meninggalkan rumah untuk sepekan ke depan, dan dijawab dengan anggukan kepala, mencoba tegar.
“Insya Allah aku akan monitor layar secara online untuk melihat perkembangan tes dan hasil saat ujian nanti,” tambah Latif, saat duduk di jok tengah mobil yang akan mengantarkannya ke bandara, subuh itu. Deru mobil meninggalkan rumah mereka sesaat setelah kalimat terakhir terdengar: Fi amanillah.
Latif sudah tahu kalau jadwal ujian Latifah jam 11.00 – 13.10 Wita. Dia sela kegiatan, dia akan berusaha untuk meluangkan waktu secara khusus untuk monitor ujian istrinya. Rupanya kondisi tidak berjalan dengan mulus. Di hari istrinya ujian, dia harus kembali dalam perjalanan ke kota lain. Dan itu diketahuinya di malam hari sebelum Latifah ujian.
Dengan agak tergesa, dia menghubungi agen travel langganan kantornya. Meminta agar perjalanan jangan di siang hari. Ternyata keadaan tidak berpihak ke mereka. Dia tidak mendapatkan jadwal penerbangan pagi, sedangkan pertemuan yang akan dihadirinya terjadwal pada malam harinya. Pilihan penerbangan hanya siang, bertepatan dengan jadwal ujian Latifah.
Tidak ada pilihan, karena jadwal keberangkatannya adalah jam 11.00 dan tiba pada jam 12.40 Wita. Akhirnya dia hanya bisa pasrah. Satu hal yang pasti, bahwa Latif dari dulu sangat percaya dengan kekuatan doa. Jadi malam itu dia menghabiskan waktu dengan sendirian di kamar, perbaiki ibadah, dan berdoa sebanyak-banyaknya.
Pagi hari sebelum meninggalkan hotel, dia menelpon Latifah dan mencoba menguatkannya. Di sela percakapan, Latif selalu menyelipkan kalimat-kalimat penyemangat, sekaligus memberikan tips-tips mengerjakan ujian. Di seberang sana, Latifah dengan nada lemah menyebut bahwa dirinya tak lagi bisa maksimal belajar, terutama pada H-1. “Perbanyak doa, dan biarkan Allah yang mengatur,” Latif tetap memberikan semangat.
Saat itu, di hati kecil Latif ada sedikit penyesalan. Harusnya dia meminta izin untuk tidak hadir di pertemuan di kota itu, dan mendelegasikan kepada yang lain. Harusnya dia berada di rumah bersama istrinya di hari-hari menjelang ujian sambil membantunya belajar. Karena sepertinya Latifah lebih mudah belajar ketika Latif berada di sampingnya, meskipun kebersamaan mereka juga sering diisi dengan pertengkaran.
Tapi sudahlah. Tak mungkin bubur berubah kembali jadi nasi. Dia menatap jalan raya yang sedikit macet, dalam taksi online. Setelah duduk di ruang tunggu, dia kembali menghubungi Latifah. Seperti biasanya. Namun pesan WhatsApp yang dikirim dari Gate 3, hanya centang 2 warna putih. Ditunggu lebih lama, tak juga berubah ke biru.
Lalu dia melihat jam di layar telepon. Tertera 10.03. “Mungkin HP sudah tersimpan dalam loker dan Latifah bersiap masuk ruang ujian. Masih 1 jam,” katanya dalam hati. Dia lalu duduk tenang, menunggu panggilan boarding. Jam 11.00 halaman ujian onlline terbuka di layar HPnya. Lima menit kemudian penumpang mulai masuk pesawat melalui garbarata. Dia bergegas di antrean depan dengan harapan masih bisa curi waktu membuka HP saat sudah duduk di seat.
Itulah yang terjadi. Di sela-sela peringatan pramugari untuk tidak menggunakan telepon genggam dalam keadaan on, dia sempat curi-curi melihat layar yang menunjukkan perkembangan ujian. Matanya menelusuri nama-nama yang bergerak ke atas, untuk menemukan nama Latifah. Dan itu dia. Matanya tertuju pada layar yang menunjukkan nama Latifah, di urutan 124 dari 140 peserta. Di kolom terakhir yang di atasnya tercantum kata total nilai, tertera angka 9.
Latif lalu meletakkan HP dalam kantong kursi, mulutnya di balik masker komat-kamit. Sesaat kemudian dia melihat lagi layar ponsel dan menemukan nama Latifah belum bergerak dari tempat semula.
Proses boarding sekitar 40 menit, dan itu dimanfaatkan benar-benar oleh Latif untuk monitor perkembangan ujian Latifah. Beberapa kali nama Latifah muncul. Ada pergerakan ke atas meski tidak terlalu signifikan. Latif sedikit lega ketika di detik terakhir sebelum pesawat take off, dia masih sempat melihat nama Latifah dan berada di nomor urut 101. Alahamdulillah, lirihnya. Seiring roda-roda hitam meninggalkan landasan pacu, Latif tak berhentu berdoa. Begitu terus, hingga dia tertidur.
Sekitar 1 jam kemudian, terdengar suara: flight attendants, prepare for arrival. Dia terbangun. Dengan rasa cemas menunggu pesawat turun dari ketinggian 3000 kaki, berharap segera tiba mendarat sehingga dia bisa mengubah mode pesawat di layar HP dari on menjadi off. Dia tahu bahwa itu bisa dilakukan setelah raganya berada di terminal building, namun sepertinya kali ini dia akan membuat pengecualian.
Yah. Rasa penasaran mengalahkan idealisme dan kepatuhan terhadap aturan. Kali ini Latif breaks the rule dengan sangat terpaksa. Dengan ragu-ragu dia menyebutnya Force Majeure, walau sanubari tak sepakat.
Melihat waktu, harusnya ujian seudah selesai. Dengan dada berdebar-debar dia menatap layar, dan berharap nama Latifah ada di urutan lebih tinggi dari terakhir dia melihatnya. Dan yang paling utama, lulus tes. Sejurus kemudian, muncul nama Latifah. Lulus.
Saat penumpang satu per satu berdiri mengambil barang bawaan di kabin, dia mencoba menelpon Latifah dengan ragu-ragu. Terdengar suara di seberang sana, optimis. Latif pun dengan bangga langsung mengucapkan selamat.
Untuk yang di Kaltim, sedang berjuang mengikuti tes P3K di Pemerintah Kabupaten Paser, Selasa 10 Desember 2024.
Ditulis di atas pesawat Super Air Jet dari I Gusti Ngurah Rai Airport menuju Soekarno Hatta, Cengkareng, 10 Desember 2024
Mantap Bro, teruslah menulis pengalaman dan kebaikan…selamat
Telah lulus keluarga dinda atas ujian P3K thn 2024…
terima kasih dukungannya. semoga sehat dan sejahtera selalu bersama keluarga