Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Pagi itu ketika hendak melanjutkan pengembaraan literaturku ke Pulau Sumatera, aku sempat duduk termenung sebelum melangkah meninggalkan rumah. Tiba-tiba aku membayangkan diri menyeberangi pulau dengan berjalan di atas garis khatulistiwa laksana berjalan di atas sehelai rambut menyeberangi “sidratul muntaha”. Panas membara mendidih membumihanguskan.
“Papa belum jalan, kata bocaku memeluk dari belakang”. Aku pun tersadar dari lamunan, sambil istigfar menyebut kekuasaan-Nya : “Ya Allah, ya Rabb, hanya kepada-Mu tempat memohon dan berlindung. Lindungilah bangsaku dari segala bahaya yang mengancam indahnya bunga-bunga kebhinekaan. Lindungilah bangsaku dari segala bahaya yang mengancam persatuan dan kedamaian anak-anak negeri”.

Berdoa memohon keselamatan bangsa menjadi wajib rasanya, karena setiap masuk tahun politik, nampak dan terasa di mana-mana rakyat yang sudah terpolarisasi menjadi dua kubu akibat perbedaan pilihan politik. Saling berlomba menanam “pohon-pohon kebencian” di pekarangan rumah masing-masing. Akibatnya pot-pot bunga kebhinekaan yang selama ini sudah bermekaran memancarkan harum semerbaknya bunga silaturahmi tanpa batas tanpa syarat, kini pecah satu-satu menyisahkan puing-puing jiwa.

Kedamaian, kebersamaan, kehangatan, dan solidaritas yang selama ini menjadi warna kehidupan sosial, berubah wajah menjadi hujatan, makian, dan kedengkian yang terus bertumbuh hanya karena perbedaan pilihan politik. Terlebih di media sosial dipenuhi narasi saling menyerang.

Setiap pasca pemulihan presiden, nampaknya terjadi “karnaval kebencian” akibat pilihan politik yang berseberangan. Tidak jarang kita dengar seorang sahabat karib tiba-tiba saling memaki, menghujat dan memutus silaturahmi hanya karena perbedaan pandangan soal pilihan politik.Tengoklah halaman media sosial yang sejatinya diciptakan untuk meyambung silaturahmi yang terputus, merekatkan yang renggang, dan mendekatkan yang jauh dalam menabur cinta dan kasih sayang ke permukaan bumi, kini justru berubah menjadi gelanggang saling membantai. Orang-orang yang berseberangan pilihan politik tiada hentinya saling memaki, saling menyerang, saling menantang dengan berbagai narasi yang merendahkan penuh kebencian.

Menyikapi kondisi politik kekinian bangsa yang semakin memanas, saya jadi teringat tulisan Damhuri Muhammad (Pengajar Filsafat di Universitas Darma Persada Jakarta) di Harian Kompas berjudul “Dalam Kebencian, Cinta Tak Hilang”. Menurutnya kebencian bukan lagi hasrat individual, melainkan hasrat komunal untuk bertahan dari rasa takut. Tentu rasa takut akan kekalahan dalam pertarungan politik kekuasaan. Jika realitas politik masa lalu adalah arena pertarungan gagasan demi kemaslahatan bersama, politik masa kini semata-mata meringkus kuasa dengan karnaval kebencian sebagai kendaraannya.

Sebagai anak bangsa yang selama ini hidup dalam harmoni, bersatu dalam perbedaan dan bersama dalam keberagaman, kekhawatiranku memuncak menjadi rasa takut ketika mencoba membayangkan jangan-jangan kebencian yang berlarut-larut bisa berubah wajah menjadi suatu ideologi yang mematikan. Hal ini pernah disampaikan Niza Yanay (Penulis buku Ideology of Hatred : The Psychic Power of Discourse) yang menyikapi kondisi perseteruan tak habis-habisnya Palestina dan Israel, sebagaimana dikutip Damhuri Muhammad bahwa, “Kebencian bukan lagi sekedar hasrat yang membara dilabirin personal, melainkan kesadaran palsu yang sudah bergerak secara massal karena dikendalikan oleh sebuah kekuatan yang tak kasatmata. Akibatnya kebencian bisa saja berubah wajah menjadi ideologi”.

Sebelum menjadi ideologi, tugas kita sebagai pemilik masa depan bangsa, untuk mencabut semua “pohon-pohon kebencian” yang terlanjur tertanam di pekarangan rumah. Kita tanam kembali bunga-bunga indah kebhinekaan yang memancarkan harum semerbaknya silaturahmi kebangsaan, karena Indonesia terlalu indah untuk dikhianati. Ya Indonesia butuh negarawan untuk menjahit baju kebangsaan yang sudah terkoyak-koyak. Indonesia butuh negarawan untuk mencabut pohon-pohon kebencian di pekarangan rumah. Semoga negarawan tidak vokus menjadi hartawan yang haus kekuasaan.

*Akademisi, inspirator kebangsaan, penulis buku-buku politik, demokrasi, dan kepemimpinan.

(Visited 8 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.