Oleh: Ruslan Ismail Mage*

Ketimpangan pembangunan di Indonesia bukanlah fenomena baru. Sejak masa kolonial hingga era Orde Baru, pembangunan kerap terkonsentrasi di Pulau Jawa, meninggalkan daerah-daerah lain dalam ketertinggalan. Narasi Jawa-sentris ini tidak hanya berakar pada sejarah panjang kolonialisme, tetapi juga didorong oleh faktor geografis dan strategis yang menjadikan Jawa sebagai pusat aktivitas ekonomi dan politik nasional. Namun, di balik keberpihakan ini, terbangun jurang kecemburuan sosial yang terus melebar, menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pembangunan benar-benar dirancang untuk menjangkau seluruh penjuru negeri atau sekadar melayani pusat kekuasaan?

Jawa-Sentrisme: Ketimpangan Struktural dalam Pembangunan Nasional

Pada era Orde Baru, istilah pembangunan Jawa-sentris menjadi sangat familiar di tengah masyarakat. Suatu realitas yang menunjukkan bahwa 70 persen dari total pembangunan di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa. Jika ditelusuri lebih jauh berdasarkan catatan sejarah, fenomena ini tidak lahir tiba-tiba.
Jawa-sentrisme, sebagai pola pembangunan yang hanya terpusat di Pulau Jawa tanpa memperhatikan kebutuhan pulau-pulau lainnya, sesungguhnya sudah berlangsung sejak masa kolonialisme Hindia Belanda. Pada masa itu, Pulau Jawa menjadi pusat administrasi, ekonomi, dan politik penjajah, sementara daerah-daerah di luar Jawa hanya dipandang sebagai wilayah eksploitasi sumber daya alam.
Memasuki Era Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno memulai proyek-proyek besar, seperti pembangunan Monumen Nasional (Monas) dan Gelora Bung Karno, yang semuanya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Langkah ini dilakukan di tengah situasi politik yang tidak stabil di luar Jawa, sehingga wilayah lain tetap berada di bawah bayang-bayang ketertinggalan. Pembangunan pasca kemerdekaan hingga pertengahan Era Orde Baru pun masih melanjutkan pola ini, mempertegas dominasi Jawa dalam kebijakan pembangunan nasional.

Dari berbagai literatur dan kajian akademik, konsentrasi pembangunan di Pulau Jawa ini disebabkan oleh beberapa faktor mendasar. Pertama, kondisi geografis Pulau Jawa yang sangat menguntungkan. Pulau ini memiliki jaringan transportasi yang relatif mudah dibangun dan diakses dibandingkan wilayah lain yang terfragmentasi oleh laut. Kedua, Jawa dikenal dengan banyaknya gunung berapi yang menjadikan tanahnya sangat subur, sehingga mendukung aktivitas pertanian sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Ketiga, lokasi strategis Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi semakin mempercepat arus investasi dan pembangunan infrastruktur di wilayah ini. Sebaliknya, wilayah di luar Jawa cenderung memiliki aksesibilitas rendah, topografi sulit, dan tantangan logistik yang besar, sehingga perkembangannya jauh lebih lambat.

Namun, dominasi pembangunan di Jawa lambat laun menimbulkan kecemburuan sosial di daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa. Ketidakadilan ini semakin terasa, terutama di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam, seperti Kalimantan, Sumatra, dan Papua. Mereka merasa kekayaan alam yang mereka miliki hanya dimanfaatkan untuk menopang pembangunan di Jawa, sementara daerah mereka sendiri tetap tertinggal.

Pada masa akhir Era Orde Baru, suara-suara yang menuntut pemerataan pembangunan semakin menguat. Pasca reformasi, tuntutan ini menjadi semakin vokal, dan jika tidak direspons dengan baik, potensi gejolak sosial dan disintegrasi nasional bisa saja terjadi.

Untuk mengantisipasi dinamika tersebut, pemerintahan era reformasi memperkenalkan kebijakan otonomi daerah. Kebijakan ini memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri, sesuai dengan aspirasi lokal yang berkembang.
Secara teori, otonomi daerah diharapkan mampu mengatasi ketimpangan pembangunan dengan beberapa manfaat strategis. Pertama, kebijakan ini dirancang untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan pengembangan daerah melalui pemanfaatan sumber daya lokal. Kedua, dengan kewenangan yang lebih besar, daerah diharapkan mampu memanfaatkan sumber daya lokal secara lebih efisien. Ketiga, otonomi daerah mendorong investasi di tingkat regional, yang diharapkan menciptakan multiplier effect bagi perekonomian lokal. Keempat, kebijakan ini membuka peluang partisipasi masyarakat, khususnya kelompok perempuan, dalam pengambilan keputusan publik di tingkat daerah.

Namun, pelaksanaan otonomi daerah tidak semudah yang dirancang dalam konsep. Ketimpangan pembangunan belum sepenuhnya teratasi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hingga 2023, Pulau Jawa masih menyumbang lebih dari 58 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, sementara wilayah-wilayah lain, seperti Papua dan Nusa Tenggara, hanya menyumbang kurang dari 3 persen masing-masing. Meskipun berbagai program pembangunan telah digalakkan di luar Jawa, seperti Program Tol Laut dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dampaknya masih jauh dari signifikan untuk mengurangi kesenjangan regional.

Ketidakadilan dalam pembangunan nasional ini juga memicu masalah sosial lainnya. Di beberapa daerah, seperti Papua, ketidakpuasan terhadap pola pengelolaan sumber daya alam yang dianggap hanya menguntungkan pemerintah pusat sering kali berujung pada protes dan konflik. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa pemerataan yang adil, kebijakan pembangunan justru dapat menjadi pemicu instabilitas.

Miskinnya Pelibatan Akademisi Lokal

Walaupun secara konsep, tujuan Otonomi Daerah sangat mulia, implementasi di lapangan ternyata jauh lebih kompleks dari sekadar teori. Dalam dua dasawarsa terakhir, kondisi otonomi daerah sering kali menunjukkan gejala yang jauh dari ideal. Ketimpangan pembangunan masih tetap menjadi masalah yang signifikan, dan otonomi daerah kerap kali tersandung isu-isu krusial seperti resentralisasi, korupsi kepala daerah, politik dinasti, birokrasi yang diperdagangkan, munculnya “raja-raja kecil” di daerah, hingga eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkeadilan. Ironisnya, eksploitasi ini justru lebih banyak menguntungkan kelompok elit tertentu, bukan masyarakat luas yang seharusnya menjadi subjek pembangunan.

Salah satu penyebab utama kondisi ini adalah minimnya pelibatan akademisi lokal dalam proses pengambilan keputusan dan kajian kebijakan pembangunan daerah. Tanpa masukan berbasis riset yang mendalam, pembangunan sering kali hanya menggunakan pendekatan bisnis yang cenderung mengabaikan suara-suara publik. Hasilnya, pembangunan tidak lagi menjadi sarana pemberdayaan, melainkan ajang berburu rente ekonomi bagi segelintir pihak. “Perselingkuhan” antara penguasa dan pengusaha yang sudah menjadi rahasia umum di berbagai daerah sering kali berujung pada kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Jika akademisi lokal yang kritis dilibatkan, setidaknya fenomena ini bisa diminimalisir, bahkan mungkin membuka kotak Pandora praktik politik yang merugikan tersebut.

Dalam skala nasional, situasi ini juga tidak jauh berbeda. Beberapa proyek pembangunan berskala besar kerap kali dilaksanakan tanpa kajian akademik yang memadai. Pemerintah sering kali berlindung di balik narasi “pemerataan pembangunan,” tetapi proyek-proyek tersebut ternyata tidak mempertimbangkan kebutuhan riil daerah. Salah satu contoh nyata adalah pembangunan bandara di beberapa wilayah yang kemudian mangkrak karena tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Proyek semacam ini menunjukkan bahwa label “pembangunan nasional” tidak serta-merta membenarkan absennya pelibatan akademisi lokal. Sebaliknya, keberadaan mereka sangat krusial untuk menjembatani kepentingan nasional dan kebutuhan spesifik daerah.

Salah satu contoh yang paling mencolok adalah nasib Proyek Strategis Nasional (PSN). Data menunjukkan bahwa hingga 2024, setidaknya 58 proyek strategis dengan nilai total Rp470 triliun terancam mangkrak. Proyek-proyek yang diharapkan menjadi pendorong utama perekonomian lokal dan nasional justru menjadi beban karena perencanaan yang lemah. Ketidaksesuaian antara desain proyek dengan kondisi lapangan menjadi bukti bahwa proyek ambisius tanpa landasan akademik yang kuat lebih sering menghasilkan masalah baru.

Contoh konkret lainnya adalah pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di beberapa daerah yang tidak memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan ekonomi lokal. Berdasarkan laporan Badan Kebijakan Fiskal, beberapa KEK justru mencatatkan kinerja buruk akibat kurangnya studi kelayakan yang memperhitungkan dinamika lokal. Hal ini semakin mempertegas urgensi pelibatan akademisi lokal dalam proses perencanaan dan implementasi pembangunan. Mereka tidak hanya memiliki pemahaman mendalam tentang karakteristik wilayah, tetapi juga mampu menawarkan solusi berbasis data yang relevan.

Ironi ini juga terlihat dalam pembangunan infrastruktur transportasi. Salah satu studi menunjukkan bahwa pembangunan jalan tol Trans-Sumatra, meski dianggap sebagai proyek strategis, ternyata tidak memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Hal ini dikarenakan kebijakan tersebut lebih berorientasi pada target nasional daripada kebutuhan masyarakat setempat. Lagi-lagi, absennya pelibatan akademisi lokal dalam tahap perencanaan menjadi akar masalah yang tidak bisa diabaikan.

Pelibatan akademisi lokal sebenarnya dapat menjadi tameng untuk menghindari proyek-proyek ambisius yang tidak realistis. Dengan pendekatan berbasis riset, akademisi dapat membantu pemerintah memastikan bahwa setiap proyek benar-benar relevan dengan kebutuhan masyarakat. Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa pendekatan semacam ini masih sangat minim dilakukan. Akibatnya, pembangunan kerap kali hanya menjadi simbol politik tanpa memberikan kontribusi nyata bagi pemberdayaan masyarakat lokal.

Inilah gambaran nyata dari cara mengatasi ketimpangan pembangunan yang salah kaprah. Alih-alih menjadi solusi, pembangunan tanpa kajian akademik justru menjadi beban. []

*Akademisi, penulis buku-buku politik, demokrasi, dan kepemimpinan.

(Visited 4 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.