Oleh: Ruslan Ismail Mage*
Banyak kejutan dan pembelajaran yang bisa dipetik dari sosoknya. Seorang nelayan sederhana dengan ciri khas sarung melingkar di lehernya, laksana tali garis khatulistiwa yang mengikat Nusantara. Kehadirannya tak hanya membawa pesan, tetapi juga energi yang membakar semangat perjuangan. Sosok ini dirindukan oleh keadilan, napasnya menghembuskan kebenaran, dan narasinya bagaikan jarum yang menjahit kembali kain nasionalisme yang telah tercabik kapitalisme.
Di tengah gelapnya masa depan bangsa yang kian terperangkap oleh oligarki, ia hadir sendiri, membawa pesan lantang: “Bangsa Indonesia memang negara kepulauan, tetapi luasnya laut menyatukan kita, bukan memisahkan kita.” Pesan ini menohok dan membuka mata. Laut bukan sekadar perairan yang membentang, melainkan perekat yang menghubungkan ribuan pulau menjadi satu kesatuan bernama Indonesia. Namun, di saat yang sama, pesan ini mengingatkan kita betapa berbahayanya jika laut, simbol persatuan itu, dikuasai oleh segelintir pihak yang kehilangan jiwa nasionalismenya.
Lalu mengapa kita, rakyat, terus menumbuhkan ketakutan terhadap penjaga kepentingan kapital yang telah kehilangan arah nasionalismenya? Bukankah sudah waktunya keberanian melawan, sebagaimana telah ditunjukkan oleh seorang nelayan bernama Kholid?
Bung Karno dan 10 Nelayan
Menyaksikan keberanian Kholid, memaknai kecerdasannya, dan merasakan semangat juangnya, saya tergerak untuk berdialog secara imajiner dengan Bung Karno. Dalam khayal saya, ia hadir sebagai Sukarno kecil di tengah bangsa yang terancam tenggelam dalam cengkeraman oligarki.
“Wahai Bung Karno,” tanyaku, “seandainya Anda masih hidup, apa yang akan dilakukan untuk melawan penjajahan gaya baru ini?”
Bung Karno terdiam sejenak, mengepalkan tangan, lalu berteriak lantang: “Aku tidak meminta 10 pemuda lagi untuk mengguncang dunia. Beri aku 10 nelayan seperti Kholid, maka aku akan mengusir penjajah gaya baru bernama oligarki!”
Pernyataan ini mengejutkan, tetapi sulit untuk disangkal. Gerakan pemuda, yang pernah menjadi pelopor perubahan di masa reformasi, kini perlahan meredup. Mahasiswa, yang dahulu menyandang gelar agen perubahan, mulai kehilangan daya juangnya. Di tengah kondisi inilah, figur seperti Kholid menjadi harapan baru.
Kholid hadir dengan keberanian yang tak terbantahkan. Ia adalah nelayan yang menolak tunduk pada ketidakadilan, yang menghadapi pagar laut sepanjang 30 kilometer di Tangerang dengan keberanian luar biasa. Pagar itu bukan sekadar penghalang fisik, tetapi simbol ketidakadilan yang diciptakan oleh sistem kapitalis untuk menindas mereka yang hidup dari laut.
Nelayan sebagai Simbol Perlawanan
Kehadiran Kholid menjadi pesan yang kuat: bahwa perjuangan tidak selalu membutuhkan senjata atau gelar akademik. Ia mewakili keberanian aktivis, kecerdasan mahasiswa, pengetahuan kaum terdidik, dan narasi kaum pergerakan. Di atas segalanya, ia menjadi suara rakyat kecil yang selama ini terpinggirkan oleh arus deras kapitalisme.
Pernyataan imajiner Bung Karno untuk “beri aku 10 nelayan seperti Kholid” bukanlah sekadar retorika. Itu adalah simbol dari kebutuhan bangsa ini akan figur-figur yang berani berdiri di garis depan, melawan ketidakadilan, dan mempertahankan kedaulatan rakyat.
Kholid telah menjadi inspirator sejati. Ia membuktikan bahwa perjuangan melawan ketidakadilan tidak memerlukan kekuatan besar, melainkan tekad yang kokoh dan keberanian tanpa batas. Dalam dirinya, kita menemukan harapan di tengah gelapnya masa depan yang terancam oleh oligarki.
Pena Melawan Diam
Kholid telah memilih jalannya: melawan. Ia tidak gentar berdiri sendirian di garis depan untuk melawan sistem yang menindas. Maka, saya sebagai penulis merasa malu jika hanya diam membisu. Saya tidak ingin menjadi bagian dari mereka yang tengkurap di bawah meja kapitalisme, yang memilih kenyamanan daripada keberanian.
Sebagai penulis, pena adalah senjata saya. Dan dengan pena ini, saya akan terus menulis untuk mendukung perjuangan Kholid. Saya akan menulis untuk mewakili keberaniannya, kecerdasannya, dan semangat juangnya. Karena menulis adalah bentuk perlawanan saya, sekecil apa pun itu, terhadap ketidakadilan yang terus merayap ke dalam setiap sendi kehidupan bangsa.
Beri aku 10 nelayan seperti Kholid, maka Indonesia akan kembali menjadi negara yang berdaulat, adil, dan makmur.
*Penulis adalah akademisi, inspirator, dan penulis buku-buku tentang politik, demokrasi, dan kepemimpinan.
Dalam lanjutan percakapan ilusi saya dgn Bung Karno berkata bahwa
” Beri aku 1 penulis seperti Bung RISMA yang hanya bersenjatakan Pena, aku runtuhkan sistem oligarki yang menguasai negeri ini.”