Oleh: Ruslan Ismail Mage*

“Indonesia, merah darahku, putih tulangku, bersatu dalam semangatmu. Indonesia, debar jantungku, getar nadiku, berbaur dalam angan-anganmu, kebyar-kebyar pelangi jingga. Biarpun bumi berguncang, kau tetap Indonesiaku. Andaikan matahari terbit dari barat, kau pun Indonesiaku. Tak sebilah pedang yang tajam dapat palingkan daku darimu.”

Setiap kali mendengar lirik ikonik dari lagu Kebyar-Kebyar karya Gombloh ini, dada anak-anak negeri selalu bergemuruh. Bagi siapa pun yang masih menyimpan bara nasionalisme dalam dirinya, lagu ini adalah pengingat cinta tanah air yang tanpa batas. Lagu ini tidak hanya menggetarkan jiwa, tetapi juga menjadi simbol pengorbanan tanpa pamrih demi membela negara.

Mungkin, semangat dari lagu ini pula yang merasuk ke dalam jiwa seorang nelayan bernama Kholid. Sosoknya menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap oligarki yang semakin menancapkan kuku di negeri ini. Tubuhnya kurus, dadanya tidak kekar, tetapi nyalinya bagaikan karang di tengah lautan. Ia berdiri tegak melawan kekuatan yang satu dekade terakhir menggerogoti sendi-sendi bangsa.

Nelayan yang Mengguncang Oligarki

Tidak ada yang menyangka bahwa seorang nelayan sederhana seperti Kholid mampu menghentak kesadaran publik. Ketika para pengambil kebijakan memilih menyerah, aparat keamanan hanya mengangkat bahu, dan penegak hukum sibuk berdagang keadilan, Kholid berdiri di garis depan. Kakinya menghentak bumi, suaranya menggema, dan narasinya menampar kebekuan hati nurani bangsa. Ia mengingatkan kita bahwa negara tidak boleh takluk di bawah kekuasaan oligarki.

Di ruang publik, Kholid menyuarakan hal yang banyak dari kita enggan akui: bahwa kecerdasan intelektual tidak selalu sejalan dengan atribut yang melekat pada seseorang. Ada mereka yang tampil mewah, namun miskin narasi. Ada yang bergelar tinggi, tetapi abai terhadap nilai-nilai humanisme. Sebaliknya, ada sosok-sosok sederhana seperti Kholid, yang tanpa atribut mencolok, mampu menggetarkan panggung perdebatan dengan gagasan tajam dan visi yang mengakar pada kepentingan rakyat.

Kholid hadir di saat banyak elemen bangsa memilih diam. Ketika pers tengkurap di hadapan kekuatan modal, mahasiswa memilih jalan sunyi, aktivis terjebak dalam kebisuan, dan kampus kehilangan daya kritisnya. Bahkan, kaum terdidik yang seharusnya menjadi benteng moral bangsa justru masuk angin. Dalam kondisi seperti ini, suara Kholid menjadi api yang menyala di tengah gelapnya malam.

Kholid mungkin bukan Gatotkaca yang bertulang besi berotot kawat, tetapi semangatnya melebihi tokoh pewayangan tersebut. Pekikan dan perjuangannya menggetarkan pagar laut misterius sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang. Pagar itu menjadi simbol nyata dari ketidakadilan yang berdiri kokoh atas nama kepentingan segelintir orang, sembari mengabaikan rakyat kecil.

Sebagai nelayan, Kholid tahu bahwa laut adalah sumber kehidupan, bukan arena monopoli kekuasaan. Ia paham bahwa membiarkan oligarki berkuasa berarti menutup pintu rezeki bagi ribuan keluarga nelayan lain. Dalam keteguhan itulah, Kholid menjadi ikon perlawanan rakyat. Ia mengingatkan kita bahwa negara seharusnya hadir untuk melindungi warganya, bukan menjadi alat bagi segelintir elite untuk memperkaya diri.

Simbol Perlawanan Rakyat

Kholid bukan hanya seorang nelayan; ia adalah simbol kebangkitan rakyat. Sosoknya membuktikan bahwa keberanian tidak membutuhkan kekuatan fisik luar biasa, melainkan tekad yang tak tergoyahkan. Ia berdiri sebagai cermin bahwa perjuangan bukan milik para elite, tetapi milik setiap anak bangsa yang mencintai tanah airnya.

Melalui narasi Kholid, kita diingatkan kembali pada esensi negara. Bahwa pemerintah ada untuk rakyat, bukan sebaliknya. Bahwa tanah air ini berdiri di atas perjuangan mereka yang rela mengorbankan segalanya demi keadilan. Dalam hening, saya teringat pesan lagu Gombloh: “Biarpun bumi berguncang, kau tetap Indonesiaku.”

Dan melalui Kholid, kita melihat bahwa bumi ini memang milik mereka yang berani melawan ketidakadilan. Ia bukan Gatotkaca, tetapi keberaniannya tak ubahnya baja yang menancap kokoh di lautan. Teruslah berjuang, Kholid. Semangatmu adalah lentera bagi mereka yang masih percaya pada keadilan.

*Penulis adalah akademisi, inspirator, dan penulis buku-buku tentang politik, demokrasi, dan kepemimpinan.

(Visited 20 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.