Oleh: Tammasse Balla*

Tulisan ini adalah kritik sosial atas fenomena akhir-akhir ini di masyarakat. Sebutlah si Pulan, kini ia sudah jadi Profesor. Gelar itu diperolehnya setelah puluhan tahun meniti jalan terjal akademik. Keringat dan air mata telah menjadi saksi perjuangannya. Berlembar-lembar jurnal, berjam-jam riset di laboratorium, hingga ratusan mahasiswa yang duduk di bangku kuliah menyimak penjelasannya. Gelarnya bukan sekadar nama, ada perjalanan panjang yang menyertainya.

Namun, suatu hari, undangan datang. Sebuah kartu putih dengan tulisan emas, undangan ke pesta pernikahan anak seorang sahabat lamanya. Senyumnya mengembang, mengingat masa-masa mereka berlari di halaman sekolah, berbagi mimpi di bawah pohon asam. Namun senyum itu pudar begitu matanya menangkap satu hal—tertulis di sana: Kepada Yth. Saudaraku Pulan. Tidak ada “Prof.”, tidak ada “Doktor”, hanya nama seolah-olah tak pernah mendaki tangga ilmu.

Jengkel? Tentu saja. Pulan bukan gila hormat, tapi dia tahu betul bahwa gelar ini bukan sekadar sebutan. Ini adalah penghargaan atas kerja keras, bentuk pengakuan dari dunia akademik. Menghapusnya dalam undangan, seolah-olah perjalanan panjang itu tak pernah ada, adalah kecerobohan yang tak bisa diterima begitu saja.

Bukan Pulan sendiri yang mengalami. Seorang koleganya yang lain telah menyandang gelar Doktor, mendapati undangannya bertuliskan “Drs.” Seakan-akan ia tak pernah melampaui tahap itu, sepertinya ia masih terjebak di masa lalu, sebelum gelar akademiknya benar-benar lengkap. Apakah ini sekadar kelalaian? Atau cerminan dari masyarakat yang abai pada pencapaian seseorang?

Si Pulan merenung, bertanya-tanya. Mengapa kita begitu mudah melupakan kerja keras orang lain? Mengapa kita kerap mengecilkan yang seharusnya dihormati? Ini bukan sekadar salah ketik, bukan sekadar formalitas. Ini soal penghargaan, soal memberi tempat bagi mereka yang telah mengorbankan waktu dan tenaga demi ilmu.

Di sisi lain, ada mereka yang gila gelar, yang menuntut setiap orang menyebut lengkap semua titel yang disandangnya, seakan hidupnya bergantung pada itu. Sebaliknya, ada pula yang meremehkan, menganggap semua ini hanya embel-embel tanpa makna. Bukankah seharusnya ada jalan tengah? Penghormatan yang proporsional, tanpa harus jatuh dalam kesombongan?

Pulan sadar, sahabatnya itu mungkin tak bermaksud menyinggung. Mungkin baginya, si Pulan masih Pulan kecil yang dulu duduk bersamanya di bangku kayu sekolah di kampung, berbagi mimpi dan cita-cita. Namun hidup berjalan maju, dan gelar bukan sekadar atribut. Ini adalah bagian dari perjalanan hidup, yang seharusnya diakui, bukan diabaikan.

Pulan tak jadi datang ke pesta itu. Bukan karena marah, tapi karena ia ingin menyampaikan sesuatu. Bahwasanya. nama bukan sekadar nama. Sebuah perjalanan seseorang pantas dihormati. Untuk menghargai orang lain, dimulai dari hal-hal kecil, dari selembar undangan, dari satu kata yang seharusnya tak dihapus begitu saja. []

(Visited 17 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.