Oleh: Enjela Putri Yeni

Kejadian teror terhadap Koran Tempo dan jurnalisnya, disertai dengan pernyataan tak pantas dari Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, mencerminkan kondisi darurat etika dalam komunikasi publik kita. Teror dalam bentuk simbolik yang menjijikkan—kepala babi dan tikus mati—bukan sekadar intimidasi terhadap media, melainkan upaya brutal untuk membungkam suara kritis dan independen pers. Ini adalah ancaman langsung terhadap kebebasan berekspresi dan prinsip dasar demokrasi.

Yang lebih menyakitkan adalah ketika suara resmi negara justru ikut memperkeruh suasana. Ucapan bernada bercanda seperti yang dilontarkan Hasan Nasbi bukan hanya tidak sensitif, tapi mencederai akal sehat dan empati publik. Alih-alih menjadi peneduh di tengah badai, ia justru menambah luka dan memperkeruh kepercayaan terhadap pemerintah.

Seorang pejabat publik—terutama yang bertugas di jantung komunikasi istana—harusnya mampu menjadi jembatan antara negara dan rakyat, bukan jurang pemisah yang memperburuk krisis kepercayaan. Komunikasi yang baik bukan soal pintar berkata-kata, tapi soal tahu kapan harus diam, dan kapan harus bicara dengan hati dan empati.

Kejadian ini seharusnya menjadi titik balik. Bukan hanya untuk mengevaluasi siapa yang layak menjadi juru bicara negara, tetapi juga untuk menegaskan bahwa kebebasan pers tidak bisa ditawar, dan etika komunikasi pejabat publik adalah fondasi dari demokrasi yang sehat. Kita berhak menuntut bukan hanya kecerdasan dari pejabat negara, tetapi juga keluhuran budi. []

*Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Unes Padang

(Visited 50 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Inspirasi Daerah

Inspirasi Daerah memuat narasi pemerintahan daerah seluruh Indonesia

One thought on “Darurat Etika dalam Komunikasi Publik”
  1. Tantangan juru bicara pemerintah memang cukup berat. Posisinya dependent, bukan independent. Terkadang kita boleh melakukan inovasi untuk memberikan empati, tapi paling sering kita harus bicara secara subjektif meski berlawanan hati nurani. Sependapat dengan isi artikel, apapun yang disampaikan harusnya bisa dengan lembut tanpa mencederai hati pihak lain. Semua orang harus merasa dipentingkan, meskipun kita tak mungkin bisa menyenangkan hati semua orang. We’ll never please everyone at the same time.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.